Daffa bolos mengikuti les tambahan. Pertemuannya dengan Sean di sekolah tadi bikin dia bener-bener gak punya semangat belajar lagi.

Kini yang dia lakukan cuma duduk termenung di ruang tengah. Menatap kosong ke arah televisi yang menyala.

“Daf, udah pulang?”

Daffa seketika menoleh saat mendengar suara Bundanya. Saat itu juga dia mendapati sang Ayah juga telah datang. Nampak jika kedua orang tuanya itu pulang bersama; atau entah bertemu di mana.

“Tumben cepet. Biasanya pulang malem,” sambungnya.

“Kamu bolos kan?” sahut Ayah.

Daffa menghela napas. Dia ngerasa udah gak punya tenaga buat ngomong ke Bundanya atau bahkan mendengar omelan Ayahnya.

Alhasil, Daffa lantas berdiri dari sofa. Hendak berjalan ke kamarnya, tapi si pria paruh baya lantas menggertak.

“Dimana sopan santun kamu, Daffa?!”

Daffa memejamkan matanya sejenak lalu berbalik badan.

“Maaf.”

Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir Daffa. Sang Bunda yang melihat gelagat anaknya pun dibuat heran.

Sementara itu, si pria paruh baya mendengus kasar. Dia pun udah siap untuk kembali melanjutkan ucapannya buat Daffa, tapi sebelum membuka mulutnya, bel pintu berbunyi.

“Kamu tetep di sini. Ayah mau ngomong sama kamu.”

Ayah lalu menoleh ke Bunda.

“Bukain pintunya dulu, Nda. Kayaknya itu bawahan Ayah yang mau bawa berkas, yang ketinggalan di kantor tadi.”

Bunda mengangguk paham sebelum meninggalkan suami dan anak bungsunya di ruang tengah. Sementara si pria paruh baya lantas mendekati Daffa yang masih berdiri.

“Bunda kamu abis ngomong sama Ayah, katanya kamu pengen lanjut kuliah di ITB.”

Daffa mengangguk pelan.

“Ayah gak bisa ngasih izin.”

Daffa menatap Ayahnya dengan tampang gak percaya.

“Kamu pikir dunia perkuliahan itu gampang?” sambung Ayah.

“Ikut les tambahan aja kamu males-malesan kalo gak diawasin, apalagi kalo udah kuliah. Ayah gak bisa percaya sama kamu kayak Bunda.”

“Pas UTBK nanti kamu gak usah milih ITB,” sambungnya, “Kamu harus tetep kuliah di kampus yang sama dengan Bunda. Seperti yang udah pernah Ayah bilang dulu.”

“Yah—”

Baru saja Daffa hendak menyela ucapan sang Ayah, dia justru tiba-tiba gak bisa bersuara. Sebab dia melihat Bunda berjalan ke ruang tengah bersama Mama Sean.

“Yah, ada Mamanya Sean. Katanya mau ngomong sama kita berdua,” ucap Bunda.

“Oh, mari silakan duduk—”

“Saya gak usah duduk,” Mama Sean memotong ucapan Ayah.

Dia lalu menatap sejenak ke arah Daffa sebelum bersuara.

“Saya gak bisa lagi nutupin ini dari Bapak dan Ibu,” katanya.

“Ini demi kebaikan Daffa, anak Bapak dan Ibu. Juga buat Sean, anak saya.”

“Maksudnya apa ya, Bu?” tanya Bunda. Dia bingung.

“Daffa dan Sean... Mereka...”

Napas Mama Sean memburu.

“Kemarin saya memergoki mereka berdua melakukan hal yang gak sepantasnya dilakukan oleh dua orang laki-laki di dalam kamar.”

Bunda bungkam. Sementara Ayah seketika menatap Daffa dengan mata berapi-api.

“Saya bahkan merasa sangat malu buat ngomong ini. Tapi saya juga udah gak tau lagi harus berbuat apa supaya anak saya bisa berhenti dari hal yang salah seperti ini.”

“Jadi saya mohon supaya Bapak sama Ibu juga berusaha membuat Daffa berhenti. Tolong awasi Daffa supaya gak lagi berada di sekitar anak saya,” pinta Mama Sean.

“Ini semua salah. Mereka udah ada di jalan yang salah.”

Mama lalu menatap Daffa. Dia kemudian berjalan mendekati pemuda berlesung pipi itu.

“Dan kamu...”

“Kamu bisa bikin anak saya suka sama kamu, jadi kamu juga pasti bisa kan bikin Sean gak suka lagi sama kamu?”

“Buat Sean benci sama kamu. Buat dia melupakan kamu.”

Mama mulai meneteskan air mata diikuti isakan pelan.

“Tolong jangan hubungi Sean lagi atau bahkan Ibra. Saya mohon.”

Daffa menunduk.

Dia gak mampu melihat air mata dari si wanita paruh baya yang selama ini selalu peduli dan memberikan perhatian padanya. Daffa seketika merasa bersalah.

Sementara itu, Mama Sean pun berbalik dan berucap.

“Saya permisi,” tuturnya sebelum berjalan tergesa meninggalkan kediaman itu.

“Daffa,” panggil Ayah, “Apa semua yang dibilang sama Mamanya Sean tadi benar?”

Daffa menelan ludah sebelum menatap Ayahnya yang kini udah berdiri di hadapannya.

“Iya,” jawabnya lirih.

Satu tamparan keras seketika mengenai pipinya. Pelakunya pun gak lain adalah Ayahnya.

“Belum puas kamu bikin Ayah malu?!”

“Ayah! Udah!”

Bunda berteriak saat sang suami kembali memberikan tamparan lain di pipi Daffa.

“Kamu bener-bener anak yang gak berguna!”

Bunda dengan sigap memeluk Daffa saat suaminya itu lagi-lagi hendak menamparnya.

“Ayah, cukup.” pinta Bunda, “Daffa salah, tapi semuanya gak bakal selesai kalau Ayah main tangan kayak gini.”

Napas Ayah tersengal-sengal.

“Pergi kamu dari sini.”

“Yah,” panggil Bunda lirih.

“Sekarang kamu bebas mau ngelakuin apa aja yang kamu mau,” sambung Ayah, “Pergi jauh dari sini dan jangan pernah berani untuk kembali.”

“Kamu bukan anak saya lagi.”

Si pria paruh baya kemudian melenggang pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Bunda juga Daffa yang masih berdiri di tempat semula.

Daffa kemudian menatap Bundanya lekat-lekat. Nampak raut kecewa di wajah si wanita paruh baya. Dengan sekuat tenaga, Daffa pun bergumam lirih, “Maaf, Nda.”

Perlahan Daffa menuntun lengan Bunda agar pelukan si wanita paruh baya terlepas. Setelahnya, Daffa lalu bergegas ke kamar. Mengambil koper dan memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke sana—meski dia sendiri belum tau akan pergi ke mana nantinya.

“Daffa.”

Daffa menoleh saat mendengar suara lirih Bundanya. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu, menatapnya sejenak sebelum menghampirinya di depan lemari.

“Biar Bunda bantu.”

Daffa mengulum bibirnya yang bergetar hebat, sebab dia melihat Bundanya meneteskan air mata dalam diam sembari memasukkan pakaian ke dalam kopernya.

“Bunda juga udah gak mau nganggap aku anak Bunda lagi?” tanya Daffa lirih.

Bunda mengusap kasar kedua pipinya. Dia lalu kembali menatap Daffa, membingkai wajah putra bungsunya sebelum berkata.

“Kamu tetep anak Bunda.”

Daffa menunduk, “Maaf, Nda.”

Bunda menggeleng.

“Seharusnya Bunda yang minta maaf,” kata si wanita paruh baya.

“Selama ini Bunda gak pernah mencurahkan kasih sayang ke kamu. Sampai akhirnya Sean yang justru bikin kamu merasa disayangi. Bunda salah, Daf.”

Dada Daffa semakin terasa sesak mendengar penuturan Bundanya.

“Kamu udah masukin semua barang-barang yang pengen kamu bawa ke koper?”

Daffa mengangguk lemah.

Bunda lalu meraih satu tangan Daffa. Meletakkan buku tabungan beserta kartu ATM di telapak tangan putra bungsunya.

“Kamu bawa ini,” katanya, “Ini tabungan Bunda buat kamu sejak kamu masih kecil.”

Air mata Daffa menetes.

Wanita paruh baya itu kemudian dengan sigap menyeka pipi sembab Daffa.

“Jangan nangis. Anak Bunda jelek kalo lagi cengeng.”

“Kamu pake itu aja dulu buat nyari kos-an sementara, buat makan, buat jajan sama buat keperluan yang lain.”

“Bunda pengen aku pergi?”

Bunda mengangguk.

“Ini kesempatan kamu,” kata si wanita paruh baya, “Bunda udah berusaha ngomong ke Ayah kalo kamu pengen kuliah di luar kota, di ITB, tapi Ayah tetep gak setuju.”

“Dan mungkin ini jalan supaya kamu bisa mewujudkan keinginan kamu itu.”

Bunda menangkup wajah Daffa.

“Kurang lebih dua Minggu lagi udah UTBK kan?” tanya Bunda, Daffa pun mengangguk.

“Belajar yang bener. Kamu harus bisa lulus di ITB. Ya?” tutur Bunda, “Bunda bakal biayain kamu sampe lulus. Bunda juga bakal nyamperin kamu ke sana sesekali nanti.”

Daffa semakin gak bisa membendung tangisnya. Dia lalu memeluk erat sang Bunda, bikin wanita paruh baya itu juga ikut menangis sembari mengusap punggungnya.

“Jaga diri kamu baik-baik.”

Daffa mengangguk.

“Kabarin Bunda tiap hari.”

Daffa menenggelamkan wajahnya di pundak sang Bunda. Dia menangis tersedu-sedu.

“Udah, udah. Kamu harus pergi sekarang,” kata Bunda lalu melepaskan dekapan Daffa, “Entar Ayah kamu keluar dari kamar.”

Wanita paruh baya itu lalu merogoh saku cardigannya, mengeluarkan kunci mobil lalu menyodorkannya ke Daffa.

“Kamu bawa mobil Bunda.”

“Tapi, Nda... Kalo Ayah marah sama Bunda gimana?”

“Bunda bisa ngatasin itu sendiri. Kamu gak usah ikutan mikir,” katanya sembari menghapus jejak air mata di pipi Daffa.

“Cari kos-an yang bagus. Makan apapun yang pengen kamu makan. Jaga kesehatan.”

Bunda lalu mengecup kedua pipi Daffa bergantian, “Ayo, Bunda anterin ke depan.”

Daffa menahan lengan Bundanya. Dia pun kembali mendekap erat wanita paruh baya itu, masih dengan isak tangis pilunya.

Selama ini dia selalu menganggap bahwa sang Bunda tidak pernah memikirkannya. Bunda tidak pernah mengajaknya berbicara dan terkesan tidak memedulikannya. Bunda hanya mementingkan urusan pekerjaan hingga waktu untuknya nyaris tidak ada.

Tapi kini, justru Bundanya lah yang menjadi malaikat pelindungnya. Bunda selalu memikirkannya. Bunda peduli tentangnya.

“Daffa...”

Bunda berbisik di samping telinga Daffa.

“Maafin Bunda karena belum bisa jadi orang tua yang sempurna buat kamu ya, sayang.”

Daffa menggeleng dalam pelukan Bunda.

“Bunda sayang kamu.”