Sean duduk termenung di meja belajarnya, menatap ke arah kalender yang ada di sana lalu menghela napas.

Sudah sebulan lebih dia gak tau gimana kabar Daffa.

Sudah sebulan lebih juga dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, mendapat pengawasan hingga Sean harus selalu berusaha terlihat baik-baik saja—meski dirinya tidak lah demikian. Sebab semenjak Mama tau tentang seksualitasnya, wanita paruh baya itu kerap tumbang.

Dan gak sekali dua kali Mama membahas tentang kematian jika Sean gak segera berubah.

Sean gak mau hal itu terjadi. Sean gak mau Mama pergi.

Sejenak Sean mengulum bibirnya sebelum meraih paket yang sama sekali belum pernah dia buka. Paket yang dulu diantarkan oleh Mama ke kamarnya hingga si wanita paruh baya mendengar percakapannya dengan Daffa.

Sean lalu membuka paket itu. Tersenyum miring melihat tumbler custom dengan inisial “DS” yang sudah dia pesan jauh-jauh hari itu masih terbungkus rapi. Tumbler yang seharusnya dia berikan pada Daffa esok hari; saat pengumuman SBMPTN.

Tapi rencana itu kini sudah menjadi angan-angan belaka. Sebab dia gak akan bisa bertemu lagi dengan Daffa.

Sean menghela napas. Dia lalu kembali membungkus tumbler custom tadi sebelum membuangnya ke tempat sampah di bawah meja.

Gak ada lagi harapan.

Gak ada lagi yang bisa Sean lakukan selain mencoba untuk mengubur perasannya ke Daffa dalam-dalam.

Meski Sean gak pernah tau bagaimana sang waktu akan memperlakukannya kelak, tapi dia hanya ingin terbiasa.

Terbiasa tanpa Daffa.

Terbiasa untuk menunjukkan ke Mama dan Papanya kalau dia akhirnya udah berubah.

Juga terbiasa untuk bisa menyembunyikan segala kesedihannya.

“Sean.”

Sean lalu menoleh hingga mendapati Mama berdiri di ambang pintu kamarnya. Si wanita paruh baya membawa paper bag yang sudah jelas Sean tau isinya apa.

“Kamu lagi ngapain di situ?”

“Tadi abis baca buku, Ma.”

“Sini, Mama mau ngomong.”

Sean mengangguk patuh. Dia lalu menghampiri sang Mama yang duduk di tepi ranjang.

“Ini hp baru buat kamu.”

Sean lalu meraih paper bag yang disodorkan Mamanya.

Setelah sebulan lebih Sean cuma bisa ngeliat hp lamanya sesekali pas lagi ngecek info di grup fakultas—pun dengan pengawasan Mama, akhirnya kini Sean bisa pegang hp lagi.

“Di situ udah ada nomor baru kamu. Nanti minta ke temen biar nge-invite ulang ke grup fakultas di situ,” kata Mama.

“Makasih, Ma.”

“Tapi ingat janji kamu, Sean.”

Sean seketika mengerti arah pembicaraan Mamanya.

“Ketika Mama udah ngasih hp ini, berarti Mama juga ngasih kamu kepercayaan lagi.”

Si wanita paruh baya lalu menggenggam tangan Sean.

“Sekarang Mama mau lihat gimana hati nurani kamu...”

“Kalau emang kamu sayang sama Mama dan Papa, kamu gak akan pake hp itu buat hal yang gak seharusnya kamu lakukan.”

Dan yang Mama maksud adalah menghubungi Daffa.

Sean paham.

“Mama tau kamu kesulitan semenjak Mama nyita hp kamu. Mama juga kasian.”

“Tapi Mama ngelakuin semua ini buat kamu, Yan. Mama gak mau kamu terjerumus makin jauh dalam hal yang salah.”

“Jadi tolong, kali ini jangan bikin Mama kecewa lagi. Ya?”

“Mama udah cukup sakit. Mama gak pernah ngerasa baik-baik aja semenjak kejadian itu. Rasanya Mama mau mati kalo keinget lagi.”

Sean mengangguk lemah.

“Iya, Ma. Aku janji.”

“Mama pegang janji kamu.”

Sean memeluk tubuh Mama.

“Maafin aku, Ma.”

Si wanita paruh baya meneteskan air mata.

“Maafin Mama juga, Yan.”