Setelah membaca chat terakhir Sean, tanpa sadar Daffa refleks melemparkan handphone nya sembarangan ke atas ranjang. Sampai dia gak sadar kalau handphone itu masih berdenting. Daffa kemudian berlari ke luar dari kamar hingga sampai di pintu utama.
Suara gemuruh petir juga rintik hujan yang cukup deras pun seketika menyambut Daffa ketika dia membuka pintu dan kembali berlari ke arah pagar. Seolah gak peduli lagi kalau saat ini tubuhnya basah.
“Astaga, Daffa!”
Sean yang masih duduk di dalam taxi online lantas memekik sambil melotot. Kaget ngeliat pacarnya itu keluar dari rumah tanpa membawa payung atau hoodie untuk menutupi kepalanya.
“Kok lu malah ujan-ujanan sih?! Kan gue bilang bawa payung kalo mau keluar.”
Daffa cuma bisa menghela napas lega pas ngeliat Sean masih di dalam mobil. Dia kemudian sedikit membungkuk, agar kepalanya sejajar dengan jendela mobil.
“Gue kira lu bawa motor, Yan.”
“Lu bener-bener ya,” Sean lalu menoleh ke arah supir yang diam-diam senyum ngeliat Daffa, “Maaf ya, Pak.”
“Bentar ya, gue balik ke dalam dulu. Ngambil payung buat lu,” kata Daffa.
“Gak usah,” kata Sean, “Pak, makasih banyak ya.”
“Gak nunggu temennya ngambil payung dulu,Mas?” tanya si supir dan dibalas gelengan pelan oleh Sean.
“Gak usah, Pak. Entar Bapak makin lama nunggunya,” ucap Sean sebelum membuka pintu mobil.
“Udah dibayar?” tanya Daffa sebelum membiarkan Sean turun dari mobil.
“Udah tadi.”
“Kita lari abis ini ya, biar lu gak basah banget.”
Sean cuma mengangguk sebelum turun dari mobil. Daffa lalu menggenggam tangannya, menarik lengannya pelan sebelum mereka berlari ke teras rumah.
“Basah banget?” tanya Daffa sambil memandangi Sean dari ujung kepala sampai kaki.
“Gue enggak, lu tuh yang basah banget. Bikin khawatir aja kerjaannya,” Sean ngomel.
Daffa senyum. Tapi saat mengingat isi pesan Sean padanya tadi, dia lalu menepuk pundak pacarnya.
“Kita masuk dulu. Di sini dingin,” katanya dan dibalas anggukan pelan oleh Sean.
***
“Minum dulu.”
Daffa yang udah berganti baju lantas menyodorkan segelas air ke Sean. Pacarnya yang juga udah berganti baju itu terduduk di atas ranjang dengan handuk yang masih bertengger di atas kepalanya.
“Kamu kenapa gak bilang-bilang dulu kalo mau ke sini?”
Daffa menghela napas pelan. Dia lalu meraih gelas yang dikembalikan Sean setelah menghabiskan airnya.
“Kamu gak suka kalo aku dateng?” canda Sean.
“Bukan gitu, Yan.”
Daffa meraih handuk di atas kepala Sean. Menyampirkan nya di atas nakas sebelum kembali bersuara.
“Tapi di luar banyak gledek dari tadi,” katanya, “Mama sama Papa kamu bilang apa coba pas kamu minta izin?”
Sean menunduk. Bikin Daffa semakin yakin kalau ada sesuatu yang salah menimpa Sean. Dia pun seketika gugup.
“Yan, cerita sama aku.”
“Aku lagi mumet banget, Daf.”
Daffa meraih tangan Sean. Menggenggamnya erat.
“Aku butuh didengerin kamu. Aku pengen dipeluk kamu.”
Daffa mengangguk.
“Ya udah, kita ngomongnya sambil rebahan aja. Biar kamu lebih rileks,” katanya seraya menuntun Sean berbaring.
Kedua anak manusia itu pun merebahkan tubuh mereka di atas ranjang dengan posisi menyamping. Saling berhadapan sampai Daffa bisa melihat jelas bagaimana wajah murung Sean saat ini. Sementara lengannya melingkari pinggang Sean.
“Gara-gara aku diemin chat Nana... Gibran nge-chat aku.”
Sean mulai bercerita. Daffa pun seketika menyimaknya.
“Dia bilang kalo apa yang aku lakuin itu bikin Nana sedih,” sambungnya, “Aku salah, Daf.”
“Seharusnya aku dengerin kamu siang tadi yang nyuruh aku buat nge-bales chat dia.”
Tatapan Sean kosong. Dia lalu menghela napas panjang diikuti senyuman kecut.
“Padahal aku sendiri yang bilang kalo di kelas dua belas ini seharusnya kita bikin kenangan indah aja bareng temen-temen kita, tapi justru aku juga yang bikin temen aku marah dan kecewa.”
“Gibran marah sama kamu? Alasannya?” tanya Daffa.
“Iya. Pas abis nge-chat aku, dia nge-block nomor aku.”
“Tapi kenapa dia harus marah? Masalah dia apa?”
“Karena aku bikin cewek yang udah dia suka dan sayang sejak lama sedih, Daf.”
Daffa menautkan alisnya. Sedikit kaget mendengar ucapan Sean barusan.
“Gibran suka sama Nana.”
Daffa mendengus. Hendak membalas ucapan Sean, tapi pacarnya itu menambahkan.
“Tadi aku udah nge-chat Nana. Aku ngomong ke dia alasan aku. Semuanya.”
Sean lalu menatap lurus ke dalam netra madu pacarnya.
“Sampai saat dia nanya apa aku lagi suka sama cewek atau gak, aku jawab enggak.”
“Dan tau gak dia bales apa?” Sean senyum kecut, “Katanya, aku lagi gak suka sama cewek atau emang gak suka cewek?”
Daffa mengeraskan rahang. Tapi Sean yang bisa melihat amarah di wajah pacarnya lantas membelai pipi Daffa.
“Aku gak tersinggung pas baca itu. Aku gak apa-apa.”
“Tapi aku tiba-tiba takut, Daf. Aku takut Nana bisa ngeliat kalo aku gak tertarik ke cewek.”
“Aku takut dia bisa ngeliat kalo yang aku suka itu kamu.”
Sean menelan ludah.
“Meski pun dia bilang itu cuma bercanda, tapi aku khawatir kalo sampai hubungan kita ketahuan juga.”
Sean lalu ikut memeluk pinggang Daffa cukup erat.
“Kita harus gimana kalo itu bener-bener terjadi, Daf?”
Mata Sean berkaca-kaca.
“Apa sebaiknya kita emang harus berhenti sampai di sini aja sebelum terlambat?”
Daffa menggeleng, “Kamu jangan bilang gini lagi, Sean.”
“Kita bakal baik-baik aja,” sambungnya, “Aku sama kamu bakal baik-baik aja.”
“Tapi, Daf... Kita gak tau apa yang bakal kita hadapi nanti.”
Bibir Sean bergetar.
“Lingkungan keluarga kamu aja udah cukup bikin kamu terluka selama ini,” katanya.
“Terus gimana nanti kalau kamu harus dihakimi lagi karena hubungan kita?”
“Kamu liat kan gimana perlakuan orang-orang ke anak IPS yang kemarin?”
Tenggorokan Sean sakit.
“Mereka dipergunjingkan, mereka diledek abis-abisan, kamu pas dengerin itu bahkan hampir kelepasan.”
Sean mendekatkan wajahnya dengan Daffa. Mempertemukan kening mereka sebelum berbisik.
“Aku mikirin kamu, Daf. Aku gak mau kamu ngerasain sakit atau terluka lagi nanti.”
Setetes air mata perlahan jatuh dari sudut mata Sean.
“Kalo Nana emang udah tau seksualitas aku, gak apa-apa. Aku gak peduli dia mau bilang ke orang lain atau gimana.”
“Tapi jangan sampai dia tau kalo kamu juga suka sama aku. Jangan sampai dia tau kalo kamu itu pacar aku...”
“Biar aku aja yang sakit kali ini. Kamu jangan lagi, Daf.”
Sean kemudian beralih menenggelamkan wajah sembabnya di ceruk leher Daffa lalu bergumam lirih.
“Aku gak sanggup melepas kamu. Tapi kalo itu demi kebaikan kamu, aku rela.”
Daffa ikut meneteskan air mata. Penuturan Sean justru semakin membuatnya tidak ingin melepaskan pacarnya.
Sean bukan manusia.
Sean adalah malaikat yang diciptakan Tuhan untuknya.
Malaikat yang selalu ingin menjaganya supaya dia tetap hidup dan baik-baik saja.
“Sean.”
Panggil Daffa sebelum menangkup wajah sosok terkasihnya dengan satu tangan. Sampai akhirnya tatapan mereka berjumpa.
“Kita sama-sama jatuh cinta sejak awal kan?” tanyanya. Sean mengangguk pelan.
“Kalau kamu emang masih sayang sama aku, kita harus tetap mempertahankan ini.”
“Aku juga gak mau kamu terluka, Yan. Gak mau.”
“Jadi kalau pun di akhir nanti kita harus terluka, kita bakal ngerasain itu sama-sama.”
Sean gak mampu lagi menahan tangisnya. Dia terisak pelan sebelum kembali memeluk Daffa dengan erat.