Tatapan Sean yang semula tertuju ke layar handphone lantas beralih. Pasalnya, Daffa tiba-tiba saja merebut benda itu dari genggamannya.
“Gak usah dibaca lagi.”
Daffa kemudian meletakkan handphone pacarnya di samping bantal. Sebab kini mereka sedang terduduk di tepi ranjang Sean.
Sejenak Daffa terdiam sambil meraih kedua tangan Sean. Menggenggamnya, lalu menatap lurus ke dalam biner legam pacarnya lekat-lekat.
“Kamu kepikiran?”
Sean seketika mengerti arah pembicaraan Daffa. Bukan tidak lain karena informasi yang diberikan Gibran tadi.
“Gak kok,” jawab Sean, “Aku... Cuma rada kaget aja tadi.”
Sorot mata Daffa seketika berubah menjadi sedu. Tanpa diberitahu, dia sebenarnya bisa membaca ketakutan di wajah Sean saat ini.
“Semuanya bakal baik-baik aja,” ucap Daffa, “Kita bakal baik-baik aja, Sean.”
Napas Sean tercekat ketika dia mendengar suara lirih Daffa. Tapi sebisa mungkin, dia berusaha tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala.
“Aku janji bakal lebih hati-hati lagi kalau mau ngasih kamu perhatian di tempat umum.”
Daffa menelan ludah.
“Apa aku juga perlu jauhin kamu di depan orang lain supaya mereka gak curiga?”
Sean decakin lidah.
“Kamu ngomong apa sih, Daf? Gak. Aku gak mau kamu gitu.”
Daffa menghembuskan napasnya lalu menunduk.
“Justru kalo kamu tiba-tiba jauhin aku, orang lain bakal curiga kalo kita ada apa-apa.”
“Aku cuma gak mau kamu ada dalam masalah kalau semisal kita ngalamin hal yang sama.”
“Gak akan,” tegas Sean.
“Lagian si anak IPS itu yang bego, mau ciuman malah di kelas. Kan ada toilet, kamar, atau dimana kek selain kelas.”
Daffa senyum tipis sebelum mengangguk setuju. Sean yang melihat lesung pipi pacarnya pun meletakkan ujung telunjuknya pada cekungan di pipi Daffa itu.
“Aku suka liat ini.”
“Lesung pipi aku?”
“Mm.”
“Kenapa? Kamu pengen punya juga?” tanya Daffa.
Sean menggeleng.
“Terus kenapa? Kok suka?”
“Soalnya lesung pipi kamu itu setia banget nemenin senyum kamu,” jawab Sean. “Pengen deh jadi lesung pipi kamu.”
“Biar kamu selalu nemenin aku pas senyum?”
“Mm. Tapi aku juga pengen kok selalu nemenin kamu kalau lagi cemberut, Daf.”
Daffa seketika ketawa lantang mendengar penuturan Sean. Dia lalu merentangkan tangannya lebar-lebar yang kemudian disambut dengan pelukan erat oleh Sean.
Dalam pelukan itu keduanya gak bersuara. Hanya saling berbagi kehangatan yang seakan bisa menyampaikan bagaimana mereka sama-sama gak ingin melepaskan.
“Daf, perasaan abis makan tadi kamu bilangnya pengen ke kamar buat belajar deh.”
Sean terkekeh, “Kok sekarang kita malah kek Teletubbies?”
Daffa ikut terkekeh sebelum melepaskan pelukan mereka.
“Kamu ambil meja lesehan yang ada di samping lemari sana,” perintah Sean, “Kita belajarnya melantai aja ya?”
“Oke.”
Tanpa diperintah dua kali, Daffa pun menuruti ucapan sang pujaan hati. Sementara Sean yang masih duduk di tepi ranjang gak henti-henti memandangi pacarnya itu.
“Udah nih, Yan.” kata Daffa setelah menyiapkan meja di samping tempat tidur Sean.
Cowok berlesung pipi itu kemudian duduk bersila di depan kaki Sean—dengan posisi membelakangi pacarnya. Dia sibuk ngeluarin buku dari tas yang dia bawa.
Tapi sesaat setelahnya, Daffa dibuat membeku ketika Sean tiba-tiba membungkuk lalu memeluk leher nya dari belakang. Bahkan pacarnya itu berhasil mencuri satu kecupan ringan di pipinya sebelum menyandarkan dagu di pundaknya.
“Daf.”
“Hm?”
Daffa noleh, nahan senyum ngeliat Sean natap dia dalam jarak yang begitu dekat.
“Temenin aku ke dapur. Tadi lupa ngambil camilan sama minum buat dibawa ke sini.”
“Tumben minta ditemenin?” Daffa nyubit pipi kiri Sean, “Biasanya selalu sendirian. Aku bagian nitip doang.”
“Waktu itu kan aku masih jomblo, sekarang beda.”
Daffa terkekeh pelan.
“Apa hubungannya coba gak jomblo lagi sama ditemenin ke dapur, hm?” tanya Daffa.
“Ya karena aku udah punya pacar, jadi aku pengen manja-manjaan sama pacar aku. Pengen ditemenin ke dapur, ditemenin belajar. Ga boleh?”
“Hahaha! Boleh. Ya udah ayo.”
Daffa berdiri. Dia lalu menjulurkan satu tangan ke arah Sean yang masih duduk. Tapi bukannya ikut berdiri, Sean justru menarik pelan lengan Daffa. Bikin pacarnya itu refleks membungkuk.
Daffa pun cuma bisa nahan senyum pas Sean mengalungkan lengan di tengkuknya. Setelahnya, Sean kemudian bergumam.
“Daf, kita lagi di kamar.”
“Emang tadi aku bilang kalau kita lagi di atas genteng?”
Sean mendesis kesal seraya menjewer daun telinga Daffa. Sementara pacarnya ketawa.
“Emang kenapa kalo kita lagi di kamar?” tanya Daffa.
“Gak bakal ada yang ngeliat kalo kamu nyium aku di—”
Sebelum Sean menyelesaikan ucapannya, Daffa sudah lebih dahulu mengecup bibirnya. Mereka lalu refleks menutup mata, bersamaan dengan bibir Daffa yang bergerak. Melumat pelan bibir Sean.
“Udah,” bisik Daffa setelah mengakhiri ciuman singkat mereka, “Entar malah gak jadi belajar kalo kita asik pacaran.”
Sean terkekeh. Mengangguk setuju dengan ucapan Daffa.
“Ayo, katanya mau ke dapur.”
“Ayo.”
“Ayo ayo doang tapi gak berdiri juga lu, squishy.”
“Sengaja, biar lu kesel.”
Daffa menipiskan bibir sambil micingin matanya. Setelahnya dia nguyel-nguyel pipi Sean dan gelitikin pinggangnya.
“Daf, ampun! Udah!”
“Cepet berdiri.”
Sean kalah. Dia pun bangkit dari tempat tidurnya sebelum melangkah beriringan dengan Daffa. Mereka keluar dari kamar di lantai dua hingga berakhir di dapur—yang ada di lantai dasar rumah Sean.
“Daf, ambil minum di kulkas.”
Sean yang lagi ngeluarin camilan dari laci nakas pantry bersuara, dan Daffa yang mendengarnya pun menurut.
“Kamu pengen minum apa?”
“Di situ masih ada kopi yang dibeli Papa semalem gak?”
“Gak boleh minum kopi.”
Sean menoleh ke Daffa sejenak, “Ish, kenapa lagi?Kemarin aku dilarang minum boba, sekarang kopi juga?”
“Entar kamu malah insomnia lagi kayak waktu itu, Yang.”
“Kak Sean.”
Pundak Sean refleks terangkat saat mendengar suara Ibra. Daffa yang lagi berdiri di depan kulkas pun sama kagetnya. Sebab Ibra tiba-tiba datang ke dapur.
“Oh? Udah bangun lu?” Sean berusaha menutupi rasa gugupnya, “Kenapa, Ra?”
“Gue ke store dulu ya.”
“Ngapain?” tanya Sean.
“Besok wali kelas gue ulang tahun. Mau mesenin kue.”
“Wali kelas lu siapa, Ra?”
Kini Daffa yang bertanya. Meski sejujurnya kaki dia masih lemas karena gugup.
“Bu Gaby, Kak.”
“Guru kesayangan Daffa tuh,” celetuk Sean, “Ya udah pergi sana, keburu magrib entar.”
“Kalo nanti tiba-tiba ujan, ambilin cucian Mama ya.”
“Iyaaa.”
“Bye, Kak Sean. Kak Daffa.”
“Hati-hati.”
“Oke!”
Sepeninggal Ibra, Daffa dan Sean lantas saling berbagi tatapan panik.
“Tadi Ibra denger kita gak ya?” bisik Daffa setelah dia nyamperin Sean, “Mana aku manggil kamu—Yang.”
“Gak tau,” Sean mendesis, “Tapi kayaknya enggak deh.”
“Soalnya Ibra pas ngobrol sama kita juga gak keliatan canggung kan?” kata Sean.
“Mm,” gumam Daffa setuju.
“Aku panik banget tadi.”
“Aku juga.”
Keduanya sama-sama menghela napas panjang. Tapi setelahnya Daffa justru terkekeh, bikin Sean heran.
“Kenapa?”
“Kita udah kek maling aja ya, sembunyi-sembunyi gini.”
Sean lantas senyum kecut.
“Tapi kalo dipikir-pikir, kita emang gak jauh beda sama maling,” katanya, “Jadi maling itu perbuatan dosa dan gak disukai sama masyarakat...”
“...Kita juga gitu kan, Daf?”