jaesweats

Sean keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Tetesan air dari rambut basahnya pun membasahi tubuh polosnya.

Sean lalu berjalan ke arah tempat tidur, dan saat itu juga dia lantas memekik.

“Anjing! Kok lu ada di sini?!”

Daffa yang lagi duduk di tepi ranjang lantas tergelak. Sebab raut wajah Sean begitu menggemaskan. Terlebih Sean refleks menyilangkan kedua lengan di depan dadanya yang terekspos.

“Kan lu sendiri yang nyuruh gue balik ke villa.”

Sean mendesis. Sementara Daffa beranjak. Dia berjalan ke arah kopernya, mengambil handuk, lalu kembali duduk di tepi ranjang seraya menepuk sisi kosong di sebelah nya.

“Sini, duduk.”

Sean menurut. Dia duduk di samping Daffa. Pacarnya itu kemudian meletakkan handuk yang dia ambil tadi di atas kepalanya sebelum mengusap lembut rambut basahnya.

“Udah,” kata Daffa, “Pake baju sana. Abis ini kita makan bareng di luar.”

Sean mengangguk. Dia lalu berdiri, hendak beranjak guna mengambil pakaian di koper nya. Tapi baru saja selangkah, Sean udah bikin Daffa panik.

Pasalnya, handuk yang melingkari pinggang Sean tiba-tiba nyaris terlepas. Beruntung Daffa dengan sigap berdiri tepat di depan pacarnya itu. Membantu menahannya dengan cara memegangi handuk di bagian pinggang Sean.

“Kamu tuh kalo pake handuk yang bener,” kata Daffa sambil natap wajah Sean, “Kalo aja ada orang lain di sini, udah debut kali si Sean junior.”

Sean mengulum bibirnya lalu memukul pelan bahu Daffa.

“Lagian siapa juga orang lain yang mau dateng ke sini?”

“Iya, sekarang gak ada. Kalo besok-besok kamu gini juga di kamar kamu pas ada orang lain gimana?” sela Daffa.

Sean senyum. Masih dengan kedua tangan Daffa yang memegangi pinggang nya.

“Sampai kapan aku musti megangin handuk kamu?” Daffa berdeham, “Benerin.”

“Tapi kamu jangan ngeliat ke bawah ya?” pinta Sean.

“Dari tadi juga aku liat wajah kamu doang, Yan.”

Sean terkekeh. Setelahnya dia lantas memperbaiki lilitan handuk di pinggangnya. Daffa pun paham saat Sean menepuk satu tangan nya; artinya dia boleh melepas pegangan yang satu itu.

Selagi Sean sibuk melilitkan handuk di pinggangnya, Daffa gak pernah berhenti menatap wajah pacarnya. Sampai saat pandangannya turun ke bibir Sean, detak jantungnya lantas bergemuruh. Daffa terjebak dalam pesona dari bibir merah nan tipis milik Sean.

Daffa ingin mencobanya.

Daffa ingin merasakan bagaimana jika dia melumat lembut bibir di hadapannya.

“Udah, Daf.”

Sean kembali menatap Daffa. Tapi yang dia dapati adalah sorot mata serius pacarnya.

Bukan hanya, Daffa. Tapi Sean juga berakhir terjebak ketika dirinya bertukar pandang dengan pacarnya. Sengatan-sengatan kecil bagai aliran listrik di tubuh pun mulai mengganggunya. Terlebih saat Sean melihat bagaimana Daffa menjilati bibirnya yang tidak kering.

“Yan.”

“Mm?”

Daffa menelan ludah.

“Aku mau cium kamu, boleh?”

Sean mengangguk. Akal sehatnya telah diambil alih oleh hawa nafsu, begitu juga dengan Daffa yang kini telah memeluk pinggangnya.

Kedua anak manusia itu pun mengikis jarak di antara wajah mereka. Masih dengan pandangan yang tertuju ke arah bibir satu sama lain.

Sampai ketika Daffa akhirnya memiringkan wajah dengan kaku, Sean kemudian menutup mata. Hingga gak lama berselang dia bisa merasakan bagaimana bibir Daffa mengecup miliknya.

Tidak mendapatkan kecupan lain dari Daffa membuat Sean lantas membuka mata. Dia lalu mendapati jika pacarnya itu justru kembali sibuk memandangi wajahnya.

Alhasil, Sean berinisiatif mengecup bibir Daffa terlebih dahulu—seperti yang dilakukan pacarnya tadi.

Senyum seketika merekah di bibir keduanya selama beberapa saat sebelum Daffa kembali memiringkan kepala. Bibirnya pun lagi-lagi menyapa milik Sean, tapi kali ini tidak hanya sekedar kecupan. Sebab Daffa sudah mencoba membuka mulutnya lalu mengulum bibir Sean.

Awalnya Sean tidak tau harus merespon seperti apa. Ini pertama kalinya buat dia, begitu pun dengan Daffa.

Sean hanya membiarkan Daffa melumat kaku bibir bawahnya. Tapi setelah menemukan ritmenya, Sean pun membalas lumatan itu. Kedua lengannya pun telah melingkari tengkuk Daffa.

Kedua anak cucu Adam itu pun saling berbagi pagutan lembut. Merasakan manisnya saliva yang seolah menjadi minuman baru mereka.

Baik itu Daffa maupun Sean sama-sama terbuai. Mereka seolah tidak lagi mengingat jika apa yang mereka lakukan ini salah. Bahkan mengingat bahwa dunia tidak ramah kepada mereka pun seakan telah hilang dari isi kepala.

Napas memburu.

Tubuh memanas.

Menimbulkan sensasi yang justru membuat Daffa juga Sean menginginkan lebih.

“Yan,” gumam Daffa setelah menghentikan lumatannya.

“Aku cium kamu sambil duduk di atas ranjang boleh?” dia meminta persetujuan.

“Kaki aku lemes,” katanya.

Sean mengangguk setuju. Sebab dia pun sama. Sejak mereka berciuman, kedua kakinya justru terasa lemas.

Daffa lalu membawa Sean hingga duduk di tepi ranjang. Dan tanpa menunggu lama, dia lantas menarik tengkuk Sean lalu menciumi bibirnya.

Tapi berbeda dari yang sebelumnya, ciuman mereka kali ini tidak lagi lembut. Nafsu telah menguasai Daffa juga Sean. Bahkan Sean nyaris tidak sadar jika dia perlahan merebahkan tubuhnya hingga terlentang. Masih sambil berciuman.

Desahan samar Sean pun menggema saat Daffa tiba-tiba beralih mengecup ceruk lehernya. Dia refleks mendongak, membuat Daffa semakin leluasa untuk menjamah spot itu.

Rasanya gila.

Daffa juga Sean pun semakin ingin yang lebih dari ini.

Sean lalu mencengkeram erat bahu Daffa saat pacarnya itu meraba-raba perutnya. Sementara bibir Daffa kini melumat area tulang selangka nya. Ketika telapak tangan Daffa bergerilya di atas putingnya, Sean lantas membusungkan dada.

“Hhh... Daffa...”

Daffa menghentikan aksinya. Membuat Sean heran. Terlebih ketika pacarnya itu tiba-tiba bangkit dengan raut wajah yang telah pucat.

“Daf—”

“Lu pake baju sekarang ya,” kata Daffa, “Gue tunggu di balkon, mau ngerokok.”

Mulut Sean setengah terbuka, tapi dia justru seketika gak bisa bersuara. Kini yang Sean lakukan hanya memandangi Daffa dari pintu balkon. Pacarnya itu berdiri di sana, membelakanginya. Pun terlihat kepulan asap yang menjadi tanda jika Daffa tengah menyesap rokok.

Semuanya terasa begitu cepat. Sean bahkan baru sadar jika Daffa kembali menggunakan sapaan lu–gue setelah tadi bersikap lembut padanya. Sean kemudian yakin jika ada yang salah.

Dan persekian detik berikutnya, ketika Sean mencoba mengingat kembali, dia lantas menyadarinya.

Sean pun tersenyum miring. Selagi matanya masih menatap sedu ke arah Daffa.

Hari udah sore. Daffa dan Sean yang tadi juga udah istirahat sejenak dengan tidur siang pun kini siap-siap buat jalan di sekitar area villa. Sekaligus buat ngeliat matahari terbenam nantinya.

“Kok gue lupa bawa bola ya,” kata Daffa yang kini jalan berdampingan dengan Sean.

Keduanya berjalan kaki meninggalkan room villa. Gak cuma mereka, beberapa tamu pun cukup banyak yang berlalu lalang. Sekedar untuk mencari udara segar, atau memboyong anak-anaknya ke lapangan serba guna yang tersedia di lingkungan villa.

“Lu sehari aja gak main futsal keknya sengsara banget ye.”

Penuturan Sean bikin Daffa terkekeh. Ia lalu merangkul pundak sahabatnya itu, natap Sean dari samping sejenak sebelum berucap.

“Tapi gue lebih sengsara kalo sehari aja gak ngeliat lu, Yan.”

Sean berpura-pura mual. Tapi setelahnya mereka tertawa.

Gak lama berselang, atensi Daffa pun lantas beralih ke arah benda yang jatuh gak jauh dari kakinya. Satu airpod berwarna putih yang Daffa duga adalah milik pejalan kaki perempuan di depan sana.

“Eh, ini punya cewek yang di depan sana gak sih, Yan?”

Sean mengangkat pundak, “Gak tau, gue gak liat tadi.”

“Kita tanyain dulu. Kali aja bener punya dia. Barang mahal nih,” tutur Daffa.

Mengangguk paham, Sean pun mengikuti langkah kaki Daffa. Mereka berdua lantas nyamperin perempuan berambut hitam sebahu itu. Dengan Daffa yang memulai percakapan mereka.

“Permisi, Kak. Ini airpod punya kakaknya bukan?”

Perempuan di samping Daffa lantas melotot lalu merogoh saku hoodie nya. Mendapati kalau airpod nya di sana hanya sebelah saja.

“Wah, iya. Itu punya saya.”

“Ini, Kak.”

“Makasih ya,” ucap perempuan tadi sambil meraih airpod nya yang disodorkan Daffa.

“Kalian tamu di villa sini?”

Daffa mengangguk, “Iya.”

“Dari Jakarta bukan?”

“Iya.”

“Sama dong,” perempuan tadi tersenyum ramah, “Kenalin, nama gue Kaila. Kalian?”

Daffa berdeham, “Gue Daffa, yang di samping gue Sean.”

“Oh,” Kaila mengangguk, “Kalian mau jalan ke mana?”

“Ke gazebo,” jawab Daffa.

“Ya udah kita bareng aja, gue juga mau ke sana sekarang.”

Daffa melirik ke arah Sean yang sedari tadi terdiam. Dia lalu menepuk punggung sahabatnya pelan itu sebelum kembali melanjutkan langkah, dengan Kaila bersama mereka.

Selama dalam perjalanan menuju gazebo villa, mood Sean jadi berantakan. Pasalnya, cewek bernama Kaila itu gak henti-hentinya berceloteh, bikin dia gak punya kesempatan buat ngobrol bareng Daffa.

Sean mendengar semuanya. Dia mendengar kalau Kaila itu satu tahun lebih tua dari mereka; dia dan Daffa. Sean juga mendengar kalau Kaila calon mahasiswa baru di kampus tempat Bunda Daffa mengajar. Tapi dia sama sekali gak tertarik bergabung dalam percakapan itu.

Alhasil, sebelum sampai di tempat tujuan, Sean berkata, “Daf, gue mau ke taman. Kek nya view di sana lebih bagus.”

Tanpa mendengar respon dari Daffa—juga berpamitan ke cewek bernama Kaila itu, Sean pun berbalik. Dia pergi ninggalin Daffa yang diam-diam mengulum senyum nya.

***

Setelah bertanya ke penjaga villa, akhirnya Sean sampai juga ke taman di area bukit yang berhadapan langsung dengan view pegunungan. Dia lalu duduk pada bangku yang ada di sana. Mengatur napas sambil sesekali ngecek hp.

Gak ada chat dari Daffa. Sahabatnya itu juga gak ngejar dia pas pergi tadi.

Ngeselin, batinnya.

Tapi gak lama berselang, Sean justru dibuat kaget pas pipi nya dihinggapi dengan sesuatu yang dingin. Pas noleh, dia mendapati Daffa udah berdiri di belakangnya. Senyum tipis sambil megang dua buah minuman kaleng.

“Tadi kita lupa bawa minum,” kata Daffa sebelum duduk di samping Sean, “Jadi gue balik ke kamar dulu, ngambil ini.”

“Gue gak nanya,” ketus Sean sebelum membuka minuman nya. Menenggaknya, seolah udah gak ada lagi hari esok.

“Kok marah-marah sih?”

Daffa ketawa kecil sambil mencubit gemas pipi Sean.

“Siapa juga yang marah.”

“Tapi muka lu kusut gitu.”

“Ya karena gue capek, abis jalan naik tangga ke sini.”

Daffa mengulum bibirnya lalu mengangguk. Dia kemudian mengatur lensa dari kamera yang dibawanya sebelum mengarahkannya ke Sean.

“Yan.”

Sean menoleh. Saat itu juga suara jepretan kamera menggema. Bikin Daffa seketika senyum ngeliat hasilnya.

“Ish! Apa-apaan? Gue belum siap,” protes Sean.

“Tapi bagus kok hasilnya.”

“Mana? Coba liat.”

Daffa senyum. Dia lalu menggeser bokongnya sampai jarak duduknya dengan Sean kian menipis.

“Nih, bagus kan?”

Sean senyum, “Mhm.”

“Bagus buat di hapus,” kata Daffa yang bikin Sean natap sinis sebelum ninju bahunya. Tapi dia justru ketawa.

“Canda, Yan.”

Sean cuma nahan senyum nya sebelum kembali musatin atensi ke arah pegunungan. Begitu pun dengan Daffa yang udah memotret spot itu.

“Lu mau liat sunset di sini?”

Sean menoleh. Mendapati Daffa lagi natap wajahnya.

“Gak. Gue pengen ke tempat yang kemarin lu kirim fotonya pas lagi nyari villa.”

“Ya udah, kita ke sana sekarang. Keburu sore banget.”

Sean mengangguk setuju sebelum bangkit dari bangku. Mereka kemudian berjalan beriringan meninggalkan taman, menuju tempat berikutnya.

Beruntung Daffa dan Sean bisa sampai ke tempat yang dimaksud Sean tadi sebelum matahari terbenam. Kini keduanya udah berdiri di atas area bukit, dimana terdapat gazebo juga dua ayunan besi.

Tapi baik itu Daffa maupun Sean sama-sama memilih untuk berdiri di tepi tempat yang cukup tinggi itu. Mereka terpaku pada cahaya jingga yang sebentar lagi akan menjemput malam.

“Indah banget ya,” gumam Sean.

Daffa menoleh. Tersenyum melihat bagaimana tatapan memuja Sean pada senja.

“Iya. Indah banget.”

Dan kini, Daffa lah yang menatap Sean dengan tatapan memujanya. Sebab Sean benar-benar indah di matanya.

Sementara itu, Sean yang merasa jika udara sejuk perlahan berubah menjadi dingin menusuk lantas memeluk tubuhnya sendiri. Masih dengan pandangannya yang tertuju ke arah senja. Tapi sesaat setelahnya, Sean justru dibuat melotot ketika Daffa tiba-tiba ikut memeluk tubuhnya dari belakang.

“Daf, lu ngapain anjir?”

Sean mendesis lalu menatap khawatir ke arah lain sesaat.

“Kalo ada yang liat gimana?”

“Gak ada,” gumam Daffa.

Dia senyum tipis sebelum menyandarkan dagu nya di pundak Sean sejenak.

“Cuma ada kita di sini, Yan.”

“Ya tapi lu ngapain meluk gue?”

Daffa terkekeh. Dia lalu menunduk, sementara Sean mendongak. Alhasil tatapan mereka seketika berjumpa.

“Emang gak boleh apa meluk pacar sendiri?”

Sean mati-matian menahan gejolak di balik dadanya saat mendengar penuturan Daffa.

“Gue bukan pacar lu,” gumam Sean sebelum membuang pandangan ke arah depan.

“Terus kita apa?”

Daffa kembali menyandarkan dagunya di atas pundak Sean.

“Kita udah tau tau kalo kita saling suka. Kita juga sering cemburu kalo salah satu dari kita deket sama orang lain,” jelasnya, “Gak ada dua orang sahabat yang kayak kita, Yan.”

Sean menahan senyumnya, “Tapi lu gak pernah nembak gue, atau minimal bilang kalo lu pengen jadi pacar gue.”

“Emang itu perlu?” sela Daffa lalu ketawa kecil, “Kirain mau langsung dijalanin aja.”

Sean mendengus. Setelahnya dia lantas menyandarkan kepalanya di kepala Daffa.

“Daf.”

“Mm?”

“Kita bakal tetep kayak gini kan?” tanya Sean lirih.

Daffa memejamkan matanya sejenak. Bersamaan dengan kedua lengannya yang semakin memeluk Sean dengan begitu erat.

“Iya. Kita bakal tetep kayak gini,” tuturnya, “Perasaan gue ke lu bakal tetep kayak gini selamanya, Sean.”

Sean memaksakan senyum. Dia gak mampu lagi untuk bersuara. Matanya pun udah terasa panas. Alhasil, Sean lantas memejamkan mata. Menikmati kehangatan yang diberikan Daffa untuknya.

Tapi seberapa kuat Sean untuk menahan tangisnya, dia justru berakhir kalah. Sebab setetes air mata justru tiba-tiba menjatuhi pipinya.

“Yan, udah gelap.”

Sean kembali membuka mata saat Daffa berbisik di telinga.

“Kita balik ke villa ya?”

“Mm.”

Sean bergumam setuju sembari melepaskan tautan lengan Daffa dari tubuhnya. Dia lalu memutuskan untuk berjalan mendahului Daffa sembari menyeka pipinya.

Meski Sean tau, Daffa mungkin udah melihatnya. Melihat kalau dia menangis dalam diam.

“Sean!”

Pekikan Daffa menghentikan langkah Sean. Dia kemudian menoleh. Mendapati cowok berlesung pipi itu masih berada di anak tangga paling atas menuju tempat tadi.

“Apa?”

“Aku pengen jadi pacar kamu. Boleh?” tanya Daffa lantang.

Sean mengulum senyumnya. Tanpa mengatakan apa-apa dia lantas berbalik, kembali melanjutkan langkahnya. Sementara itu Daffa seketika bergegas menuruni tangga lalu mengejar Sean.

“Kok gak dijawab?”

Tanya Daffa lagi saat dia udah berhasil menyamai langkah Sean sembari merangkulnya.

“Emang masih perlu dijawab?” Sean melirik Daffa dengan tatapan meledek, “Kirain mau langsung dijalanin aja.”

Keduanya lantas terkekeh pelan lalu menyusuri jalanan yang telah diterangi dengan lampu tiang.

Hari yang akan menjadi awal dari rangkaian liburan bersama Sean dan Daffa pun tiba. Bahkan kini, laju mobil yang ditumpangi keduanya sudah sampai di area parkir villa—dimana mereka akan menginap selama tiga malam.

Daffa lalu menoleh. Tersenyum tipis melihat Sean nyatanya masih tertidur. Terhitung sejak mereka terjebak macet di beberapa titik menuju puncak tadi.

Daffa lantas tidak tega untuk membangunkan Sean. Sebab dia tau kalau semalam sahabatnya itu insomnia; gara-gara ikutan nyoba double shot espresso pas mereka jalan bareng ke cafe.

Sejenak Daffa merilekskan tubuhnya sendiri sebelum menatap jam di handphone nya. Masih ada sekitar dua puluh menit waktu untuk menunggu Sean bangun sebelum waktu check in.

Dan saat itu juga Daffa gak henti-hentinya menatap wajah Sean dalam diam. Sampai dia nyaris gak sadar kalau seseorang mengetuk jendela mobilnya dari luar.

Buru-buru Daffa membuka jendela di sampingnya. Menyunggingkan senyum ke arah pria paruh baya yang juga senyum ramah padanya.

“Punten, A’. Aa’ nya tamu di villa sini?” tanyanya ke Daffa.

“Oh iya, Kang.”

Daffa kemudian menunjukkan ponselnya—dimana dia udah menghubungi pihak villa beberapa waktu yang lalu.

“Saya udah reservasi, abis ini mau langsung ke resepsionis.”

Dia pun melirik ke arah Sean sekilas, “Tapi saya nunggu temen saya bangun dulu ya, Kang. Kasian dia semaleman gak tidur. Gak tega bangunin.”

“Iya, A’. Gak apa-apa,” kata si pria paru baya, “Saya tadi mikirnya si Aa’ lagi bingung nyari room atau office nya di mana, nanti bisa saya bantu.”

“Saya nginep nya di room villa sini, Kang. Di lantai tiga.”

“Sip, A’. Kalo temennya udah bangun, ke arah sana aja ya,” dia menunjukkan tempat dimana resepsionis berada.

“Iya, Kang. Makasih banyak.”

Setelah si pria paruh baya pergi, Daffa kembali noleh ke Sean. Saat itu juga Sean tiba-tiba melenguh pelan lalu membuka mata perlahan.

“Kita udah nyampe?”

“Iya. Nih minum dulu,” Daffa menyodorkan air mineral.

Sean manut aja. Masih sambil ngumpulin kesadaran nya.

“Gue ke resepsionis dulu ya, lu tunggu di sini bentar.”

“Mhm.”

Sean bergumam. Sementara Daffa udah keluar dari mobil.

Sejenak Sean mengatur napas lalu melirik ke arah sekitar. Sampai saat tatapan nya tertuju ke bangunan villa gak jauh dari mobil, Sean melotot.

Bagaimana tidak?

Masih tersimpan jelas di memori Sean kalau bangunan yang gak jauh darinya berada ini adalah villa pilihan kedua yang pernah disarankan Daffa.

Gak lama berselang, Daffa pun datang. Kembali masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Sean yang udah memasang tampang heran.

“Daf, kok kita ada di sini?”

Daffa terkekeh, “Masih mimpi lu? Kan katanya mau liburan.”

“Kaga, anjing. Maksud gue, kenapa kita ada di villa ini?”

“Katanya lu suka, jadi ya udah gue booking villa ini—aduh!”

Daffa mendesis ketika Sean memukuli bahunya. Tapi setelahnya dia lantas ketawa.

“Gue aja yang bayar sewa villa, Yan.” kata Daffa, “Masa lu yang bayar semuanya sih? Kan kita kudu hemat.”

“Tapi gue yang ngajak lu liburan,” sela Sean, “Sejak awal kan gue cuma pengen lu nemenin gue di sini. Bukan malah ngeluarin duit juga.”

“Jajan gue selama di sini lu yang nanggung. Gimana? Adil kan?” Tawar Daffa.

“Lu nyebelin,” Sean nautin alisnya, “Terus ngapain lu kemarin ngasih gue pilihan kalo lu mau villa yang ini?”

“Kek click bait doang sih, biar lu gak ngomel kalo tau gue pilih villa mahal—aduh! Kok gue dipukul lagi, Yan?”

Sean cemberut. Tapi Daffa dengan sigap nyubit hidung sahabatnya sejenak sampai empunya mendesis kesal.

“Gue pengen lu seneng di sini, Yan. Pengen liat lu pas bangun pagi langsung natap view yang lu suka, yang bisa bikin lu bahagia.”

“Mumpung gue juga lagi ada duit, gak ada salahnya kan. Hitung-hitung traktiran dah, karena bantuan lu, nilai gue semester ini lumayan banget.”

“Lagian kapan lagi coba kita bisa liburan bareng gini,” tutur Daffa, Sean lantas diam.

“Udah ya? Gak usah mikirin ini lagi,” kata Daffa. “Mending kita masuk ke villa sekarang. Pengen rebahan gua.”

Sean hanya mengangguk patuh sebelum keluar dari mobil lalu menurunkan barang bawaan mereka.

***

“Cakep kan?”

Mulut Sean setengah terbuka ketika dia dan Daffa memasuki villa mereka di lantai tiga. Pasalnya, dia bisa melihat jalanan juga pegunungan di luar sana melalui dinding kaca transparan sekaligus pintu menuju balkon kamar.

“Kalo gini kita mau liat sunset juga bisa di villa aja, Daf.”

“Mulai lagi kan jiwa-jiwa magernya,” cibir Daffa seraya membawa kopernya juga koper Sean ke sudut ruangan.

“Jadi entar sore lu gak mau jalan terus liat sunset gitu?”

“Mau.”

Sean terkekeh lalu duduk di tepi ranjang yang berhadapan langsung dengan dinding kaca transparan.

Gak lama berselang, Daffa pun nyamperin dia. Tapi cowok berlesung pipi itu justru dengan sigap berbaring terlentang di sampingnya.

“Sean,” panggil Daffa.

Sean menoleh. Mendapati Daffa sedang menepuk-nepuk lengannya sendiri.

“Apa?”

“Bobo di sini.”

Sean mendengus, tapi setelah nya dia lantas merebahkan tubuhnya dengan lengan Daffa sebagai bantal.

Keheningan pun seketika menyelimuti keduanya. Baik itu Daffa maupun Sean sama-sama sibuk memandangi langit biru cerah di luar sana.

“Gue pengen banget punya rumah di daerah kek gini,” Daffa akhirnya bersuara.

“Banyak pohon, bisa liat gunung, sejuk,” sambungnya, “Kalo lu gimana, Yan?”

“Gue juga pengen,” katanya.

“Bagus deh,” balas Daffa, “Jadi nanti kita bisa se-rumah.”

Sean tersenyum hambar sebelum menoleh ke Daffa.

“Daf.”

“Mm?”

“Gue laper.”

“Hhh, dasar.”

Daffa menyentil kening Sean.

“Di depan tadi gue liat ada restoran, mau ke sana gak?”

“Ngapain ke restoran? Kita kan bawa makanan. Lu emang boros banget, Daf. Serius.”

“Enggak. Maksudnya, kali aja lu udah gak bisa nunggu lama,” Daffa terkekeh, “Jadi?”

“Kita makan mie instan aja dulu. Biar cepet,” kata Sean.

“Ya udah, biar gue yang masak air. Lu ambil mie yang pengen lu makan di tas gih.”

“Oke.”

***

Gak butuh waktu lama untuk Daffa menyeduh mie instan. Kini, dia dan Sean bahkan udah duduk di sofa panjang yang ada di room villa. Berteman dua cup mie instan yang tersaji di atas meja.

“Pelan-pelan, Sean.”

Daffa decakin lidah ngeliat Sean langsung nyeruput kuah mie yang masih berasap.

“Guhe hudah haher.”

Daffa tergelak mendengar ucapan gak jelas dari Sean. Sebab, Sean makan mie yang masih panas sambil ngomong.

“Lu juga makan,” ucap Sean setelah menelan mie nya.

Daffa senyum tipis, hendak memakan mie instan nya tapi harus tertunda pas ngeliat handphone Sean di atas meja menyala disertai deringan. Di sana terpampang nama Nana.

“Kenapa gak diangkat?” tanya Daffa sambil mengaduk asal mie nya sebab Sean justru diam saja, “Penting kali.”

Sean mendengus, “Gue gak mau lu tiba-tiba sedih lagi.”

Daffa tersenyum kecut. Matanya masih terfokus ke arah cup mie dengan tidak berselera.

“Lu pernah bilang kalo sejak awal kita yang salah, makanya kita juga harus siap buat ngerasa sedih bahkan sakit.”

Daffa lalu melirik Sean.

“Gue juga selalu bilang kan, gak usah ngerasa gak enak. Gue bukan pacar lu, Yan. Kalau pun gue sedih, itu urusan gue. Bukan salah lu”

“Jadiin gue pacar lu kalo gitu.”

Daffa hampir tersedak ludahnya sendiri. Dia kaget, sampai gak tau harus bereaksi apa. Daffa gak percaya dengan apa yang baru aja didengarkan nya.

“Canda,” Sean lantas melanjutkan sebelum berdiri.

Dia lalu meraih handphone nya dengan kasar. Hendak berjalan ke arah balkon. Tapi sebelum Sean menggeser pintu balkon, dia seketika noleh. Natap Daffa lekat-lekat.

“Kita emang gak ada hubungan spesial, Daf.”

“Gue bahkan gak tau arah hubungan kita bakal ke mana nantinya,” tutur Sean, “Tapi gue gak suka banget kalo lu ngomong kayak tadi.”

Daffa terdiam. Matanya menatap lurus ke arah Sean.

“Gue gak suka tiap kali lu bilang supaya gue ngerasa gak enak,” Sean melanjutkan.

“Padahal lu tau kalo gue suka sama lu,” katanya, “Harusnya lu juga udah paham kenapa gue gak pengen deket atau bahkan sekedar ngobrol sama orang lain pas kita lagi berduaan kek sekarang.”

Sean menghela napasnya kasar. Hendak melanjutkan niatnya untuk ke balkon, tapi terhenti pas Daffa bersuara.

“Gak usah diangkat, Yan.”

Belum sampai lima belas menit semenjak Sean sampai di store Mama nya, Daffa pun akhirnya datang. Masuk dan nyamperin dia yang lagi nunggu di salah satu meja, gak jauh dari meja kasir.

“Gue lama ya?”

“Kaga. Duduk aja dulu,” kata Sean, “Mama juga baru ngambilin kue punya Bu Nini di belakang. Tadi sibuk ngobrol sama customernya.”

Daffa mengangguk. Ia lalu duduk di kursi yang bersebelahan dengan Sean.

“Radeya sama Gibran ke rumah lu jam berapa entar?”

“Katanya agak sorean, kek pas ke rumah lu kemarin.”

Saat keduanya asik berbincang, Mama lantas datang sambil membawa kotak kue pesanan Bu Nini.

“Eh, Daffa. Udah dari tadi?”

Daffa senyum.

“Baru aja, Tante.”

“Yan, kok Daffa gak diambilin minum?” kata Mama.

“Gak usah, Tante. Saya sama Sean langsung balik aja abis ini. Entar yang punya kue nunggu lama,” tutur Daffa.

“Bu Nini gak buru-buru kok katanya, Daf. Kalian duduk aja bentar. Ini kuenya juga mau dikantongin dulu.”

Si wanita paruh baya kembali menatap anaknya, “Ke Mba Puji gih, minta minum sama cheesecake. Daffa gak suka kue yang manis banget kan?”

Sean lantas menurut. Dia berdiri dan menghampiri salah satu karyawan yang Mama nya sebutkan tadi. Sementara Daffa seketika menatap haru ke arah si wanita paruh baya yang kini duduk di hadapannya.

“Gimana ulangannya tadi, Daf?”

Tenggorokan Daffa seakan dicekik. Dia berusaha menahan tangisnya agar tidak tumpah. Sebab saat di rumah, gak sekalipun Bunda nya bertanya demikian.

Namun kini, Mama Sean justru menanyainya dengan senyum lembut di bibir. Bahkan sebelumnya, si wanita paruh baya sampai tau bagaimana dia gak suka dengan makanan yang terlalu manis. Daffa yakin, Sean yang udah bercerita ke Mama nya.

“Lancar, Tante.” jawab Daffa, “Berkat Sean. Kalo kemarin dia gak ngejelasin pas lagi belajar bareng, kayaknya gak bakal selesai ulangan saya.”

Mama Sean terkekeh.

“Gak kerasa ya, kalian udah mau naik kelas dua belas aja. Bentar lagi lulus SMA.”

“Iya, Tante.”

Sesaat setelahnya Sean pun datang. Meletakkan dua botol air mineral dingin juga cheesecake di atas meja.

“Disuruh ngambil minum malah bawa air mineral,” Mama Sean decakin lidah.

“Daffa kalo makan kue minum nya air mineral doang, Ma.”

Daffa cuma senyum ngeliat Ibu dan anak di hadapannya. Dia lalu dipersilahkan untuk memakan cheesecake di meja oleh Sean juga Mama nya.

Setelahnya, Sean kemudian menyodorkan handphone Mama nya.

“Nih, tadi ketinggalan di belakang kata Mba Puji. Ada yang abis nelpon juga.”

“Duh, ini dari temen Mama. Mau datang ke store bareng kenalan dia katanya, tapi belum nyampe juga.”

“Temen Tante yang di sana bukan?” tanya Daffa sambil natap pintu masuk store.

“Eh iya. Bener, Daf. Udah dateng tuh mereka.”

Mama Sean lantas berdiri. Senyum ke arah dua wanita paruh baya yang seketika nyamperin dia ke meja itu.

“Kok baru nyampe, Wid?”

Widia—wanita paruh baya yang memakai blouse biru gelap lantas menghela napas.

“Di depan macet banget tadi. Ada demo mahasiswa.”

Widia lalu melirik wanita di sampingnya, “Nih, Gin. Ini nih yang aku bilang Mamanya Sean. Yang punya store ini.”

“Salam kenal, Mba Gina.”

“Salam kenal juga, Mba. Kesampean juga nih saya datang langsung ke sini.”

“Iya, Widia sering cerita sama saya.”

Widia kemudian menatap ke arah Sean diikuti senyum.

“Eh, ada Sean. Udah pulang sekolah, Yan?”

Sean senyum, “Iya, Tante.”

“Sean sekarang udah kelas sebelas kan ya?” tanyanya.

“Iya, Tan. Kelas sebelas, udah mau naik kelas dua belas.”

“Wah seumuran dong sama anaknya Tante Gina ini,” katanya sambil mengusap bahu wanita di samping nya.

“Kalo yang duduk ini siapa?”

“Kenalin, itu Daffa. Sahabat Sean sejak SMP,” kata Mama.

Daffa lantas mengulas senyum ke arah wanita paruh baya bernama Widia juga Gina di hadapannya.

“Sean udah tau mau lanjut kuliah di mana?” wanita bernama Gina bertanya.

“Udah, Tante.”

“Wah, keren. Anak Tante malah masih bingung,” katanya. “Udah tau juga mau masuk jurusan apa?”

“Dia anaknya sih pengen masuk kedokteran katanya,” Mama Sean yang angkat bicara, “Tapi balik lagi sama rejeki anak-anak, Mba. Kita orang tua cukup ngasih dukungan sama bantu doa.”

“Iya, Mba. Bener banget.”

“Sean makin gede makin ganteng ya,” celetuk Widia.

“Duh, kalo aja aku punya anak cewek, udah aku kenalin sama Sean.” sambungnya.

Dia lalu menyikut siku Gina, “Kamu tuh, Gin. Punya anak cewek,” katanya. “Diliat-liat Sean cocok sama Jihan tau.”

Daffa yang sedari tadi diam dan menyimak percakapan wanita paruh baya di depan mejanya lantas menunduk. Dia tersenyum hambar.

“Kamu bisa besanan entar sama Mamanya Sean,” dia melanjutkan, “Jihan cantik, rajin, kalem lagi. Gak mungkin Mamanya Sean nolak Jihan jadi calon mantu.”

“Ah, kamu. Anak-anak masih kecil. Masih harus sekolah yang bener. Udah ngomongin soal mantu aja,” kata Mama Sean diikuti tawa ringan.

“Kan kalo dikenalin dari sekarang gak apa-apa,” kata wanita di samping Gina itu lalu kembali natap Sean.

“Sean, kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.

“Belum, Tante. Mau fokus sekolah dulu.”

Gina senyum lembut. Natap Mama Sean sejenak sebelum berucap, “Pasti Sean anaknya pinter terus rajin di sekolah.”

“Pinter, Gin. Orang Sean kemarin juara dua olimpiade. Anaknya juga sopan, gak pernah yang aneh-aneh.”

Widia berceloteh.

“Hebat banget dong ya,” puji Gina, “Mba juga hebat banget punya anak kayak Sean.”

“Pasti kalo urusan mantu harus diseleksi ketat dulu,” Gina terkekeh, “Sean nih tipikal cowok yang susah digapai sama cewek-cewek.”

Mama Sean hanya memberi respon senyum. Sementara Sean gak henti-henti ngelirik ke arah Daffa yang diam aja.

“Ma,” panggil Sean, “Kalo gitu aku sama Daffa pulang sekarang ya? Takut si Gibran sama Radeya udah di rumah.”

“Oh iya,” balas Mama Sean, “Itu kue Bu Nini ada di meja kasir. Kalian berdua pulangnya hati-hati.”

“Oke, Ma.”

“Saya pamit, Tante.”

“Iya, Daf. Jangan ngebut ya.”

“Siap, Tante.”

***

Sejak meninggalkan area store milik Mama nya, atensi Sean gak pernah beralih dari Daffa. Pasalnya, cowok berlesung pipi itu masih juga diam. Tatapan nya kosong.

Ketika satu tangan Daffa gak lagi memegangi stir, Sean pun perlahan menggenggam nya. Bikin Daffa lantas melirik sekilas ke arahnya.

“Lagi mikirin apa?” tanya Sean dengan suara lembutnya.

“Gue ngerasa bersalah deh, Yan.”

Sean menautkan alis.

“Ngerasa bersalah sama siapa?”

“Sama lu, sama Mama lu, semuanya.” jawab Daffa.

Bukannya mendapat titik terang atas pertanyaannya, Sean justru semakin bingung.

“Ngerasa bersalah kenapa coba?”

Daffa menipiskan bibirnya sejenak lalu menghentikan laju mobil. Sebab lampu merah di tepi jalan menyala.

“Seharusnya sekarang lu suka sama cewek cantik, baik, pinter, yang sepadan lah sama lu, Yan.” tutur Daffa.

Daffa lalu menyandarkan punggung sambil natap Sean.

“Tapi sekarang lu malah suka sama gue,” dia melanjutkan, “Gue cowok, gak pinter, gak baik juga. Gak pantes buat lu.”

“Terus kenapa lu yang ngerasa bersalah?” sela Sean.

“Gue suka sama lu karena kemauan gue sendiri kan? Bukan karena lu yang minta.”

Daffa memaksakan senyum.

“Tapi kalau aja waktu itu gue mati, pasti sekarang—”

“Daffa!”

Sean memotong ucapan Daffa. Suaranya meninggi.

“Gue gak suka kalo lu nyinggung masalah mati lagi.”

“Gue kan cuma bilang kalau, Yan. Kalau.”

“Tapi tetep aja, gue gak suka.”

Satu tangan Daffa terulur ke arah wajah Sean. Mengusap lembut pipi kanan sahabatnya itu lalu bergumam.

“Iya, gak lagi.”

Sean mendengus. Menepis pelan tangan Daffa dari wajahnya sebelum menatap ke luar jendela. Genggaman tangan mereka tadi pun seketika terlepas begitu saja.

Tapi Daffa gak mau tinggal diam. Dia gak pengen suasana hati Sean makin hancur.

Alhasil, Daffa pun kembali meraih jemari lentik Sean. Menggenggamnya erat, menciumi punggung tangannya lalu bergumam.

“Mhm, bau sambel terasi.”

“Enak aja!”

Sean lantas meninju pelan bahu Daffa dengan satu tangannya yang terbebas.

“Gue gak pernah makan sambel terasi ya, anjing.”

Daffa ketawa, “Candaaa.”

Sean senyum tipis.

“Gitu dong senyum. Kan makin cakep,” tutur Daffa.

“Jalan,” kata Sean, “Udah lampu ijo noh.”

Daffa mengangguk paham. Kembali menginjak pedal gas hingga mobil itu melaju. Membelah jalanan Ibukota.

“Daf.”

“Mm?”

“Kalo semisal kita pisah pas udah kuliah nanti...”

“..Kira-kira perasaan lu ke gue bakal hilang gak?”

Daffa melirik Sean sekilas lalu tersenyum tipis setelahnya.

“Cuma waktu yang bisa ngejawab gak sih, Yan?”

Daffa mengeratkan genggaman tangannya dengan Sean.

“Waktu yang bisa mengubah seseorang. Waktu juga yang bisa mengubah keadaan.”

“Jadi kita gak tau apa yang bakal terjadi sebelum waktunya tiba,” jelas Daffa.

Dia lalu kembali melirik Sean.

“Tapi lu pernah baca kutipan ini gak, Yan? Katanya—”

“Jangan memikirkan masa lalu, jangan memimpikan masa depan, tapi fokuskan pikiran pada masa sekarang.”

“Gue belajar dari kutipan itu.”

“Jadi sekarang gue juga cuma pengen nikmatin waktu gue sama lu, selagi kita masih bisa kayak gini,” tutur Daffa.

Sean senyum kecut.

“Kita abu-abu banget ya, Daf.”

Seperti yang udah mereka janjikan tempo hari, kini Sean, Gibran, Radeya juga Nana akhirnya sampai di rumah Daffa. Bersama dengan si tuan rumah, mereka berjalan beriringan ke arah ruang tengah. Dimana Bunda Daffa ada di sana, sedang asik menonton TV.

“Sore, Tante.”

Sean mulai menyapa, diikuti yang lainnya. Sementara itu Daffa lantas melenggang ke ruang makan, membawa lima kotak berisi nasi dan ayam geprek yang dia beli tadi.

Melihat Daffa berlalu begitu saja bikin Sean cuma bisa menghela napasnya pelan. Ia lalu kembali natap si wanita paruh baya sebelum bertanya.

“Tante udah di rumah dari tadi?”

“Iya, Yan. Tante udah di rumah sejak jam dua belas siang tadi malah.”

“Tante ga ada jadwal ngajar di kampus hari ini?” kini giliran Radeya yang bertanya.

“Ada, tapi hari ini Tante gak enak badan. Jadi izin pulang.”

Bunda kemudian menatap Nana, menyunggingkan senyum tipis lalu bertanya.

“Tante baru liat temen kalian yang cewek ini. Namanya siapa?”

“Dia Nana, Tante.” jawab Gibran, “Gak satu kelas sama kita-kita sih, tapi anaknya pengen ikut belajar bareng.”

“Soalnya ada guru besar fisika di sini,” sambungnya seraya nepuk pundak Sean.

“Izin belajar di sini ya, Tante.” ucap Nana diikuti senyum.

Si wanita paruh baya pun mengangguk pelan. Meski masih ingin melanjutkan obrolan dengan anak muda di hadapannya, tapi Daffa tiba-tiba datang dan berkata,

“Ke ruang makan gih, udah gue siapin makanan lu pada.”

“Daf, Bunda juga abis masak. Kamu panasin lauknya gih.”

“Eh gak apa-apa, Tante. Ini kita dibeliin makan sama Daffa aja udah gak enak,” kata Gibran yang bikin Radeya sama Sean berlagak mual.

“Buruan dah ke ruang makan. Udah keburu sore banget.”

“Tante gak ikut makan?” tanya Sean.

“Tante masih kenyang, Yan. Kalian aja ya yang makan.”

Sean mengangguk.

“Kalo gitu Tante istirahat. Biar badannya enakan.”

Melihat perlakuan Sean ke Bunda Daffa bikin Nana diam-diam mengulum senyum. Dia begitu kagum.

Sean benar-benar tipikal cowok yang sopan dan sayang sama orang tua.

Persis seperti tipenya, pikirnya.

Sementara itu, Daffa lantas menuntun teman-temannya untuk berjalan ke ruang makan. Mempersilahkan mereka untuk duduk sesuai dengan varian geprek yang disukainya—sebab sebelum nya Daffa telah bertanya.

Di meja persegi itu Daffa duduk berdampingan dengan Sean. Berhadapan dengan Radeya juga Gibran di seberang. Sementara Nana berada di tengah kedua sisi.

“Makasih ya, Daffa.”

Daffa lantas mengangguk mendengar ucapan Nana.

“Tuh, liat Nana. Dia ngucap makasih dulu loh,” sindir Sean sambil natap Radeya dan Gibran yang udah makan.

“Biarin, Yan. Mereka udah kelaperan,” kata Daffa.

Nana yang sedari tadi merhatiin ayam geprek milik Sean pun kembali bersuara.

“Sean, lu ayam geprek nya pake keju doang? Gak pake sambel?” tanyanya.

“Mm. Si Sean ga suka makan pedes,” Gibran menyahut.

Nana bergumam paham sebelum mulai menyantap makanan di hadapannya.

“Lu juga makan,” tutur Daffa sebelum memberikan timun dari gepreknya kepada Sean.

“Mau gue ambilin kecap manis gak?” tanyanya.

“Gak usah, Daf.”

Daffa mengangguk lalu meraih kotak lain yang ada di meja. Membukanya lalu menyodorkannya pada Sean.

“Nih, gue beliin jamur crispy. Tumben loh tadi masih ada.”

Sean melirik sekilas ke arah Radeya, Gibran, juga Nana. Sangat jelas kalau ketiganya diam-diam mengamati tingkah Daffa. Alhasil, Sean lantas menginjak pelan kaki Daffa di bawah meja. Ngasih tanda supaya Daffa gak perlu terang-terangan perhatian.

Tentu supaya temen-temen mereka gak merasa aneh atau bahkan curiga kalau aja ada apa-apa di antara mereka.

“Sean doang yang dibeliin?”

Pertanyaan Radeya bikin tubuh Sean panas dingin.

“Iya, dia suka soalnya.”

“Gue juga suka,” sela Gibran.

“Ya udah lu makan bareng dia. Susah amat,” kata Daffa.

“Udah, udah, lu pada makan deh buruan. Makin sore kita mulai belajar nya, makin malem juga lu pulang nanti.”

Sean menengahi sekaligus menghindari obrolan yang bisa saja menjurus tentang perlakuan Daffa padanya.

Terlebih, dari ekor matanya Sean bisa menyadari kalau Nana masih merhatiin dia—juga Daffa.

***

Agenda belajar bersama akhirnya terlaksana selepas makan bersama tadi. Seperti sekarang. Daffa, Sean, Gibran, Radeya juga Nana udah duduk di meja persegi yang ada di teras belakang. Dengan buku, pulpen juga penggaris di hadapan mereka.

“Yan, kalo yang ini gimana?”

Entah udah ke-berapa kali Nana bertanya. Bahkan gak sekali dua kali Nana dengan berani dempetin badannya ke Sean yang duduk di tengah-tengah mereka berdua.

Jujur saja Daffa geram. Terlebih lagi dia tau kalau Nana itu juara umum di sekolah. Rasanya gak masuk akal kalau hal sederhana aja Nana gak tau dibanding dia yang punya otak pas-pasan.

“Jadi kalo udah diginiin langsung diubah kan satuannya?” tanya Nana lagi.

“Iya, itu udah bener kok.”

Nana mengangguk paham. Setelahnya dia merhatiin wajah Sean lalu terkekeh.

“Ya ampun, Yan. Lu udah mandi keringet,” katanya.

Nana lalu mengeluarkan tisu dari dalam tasnya.

“Tuh, di pelipis lu.”

Sean pun menyeka keringat di pelipisnya dengan tisu.

“Masih adaaa.”

Nana mendesis gemas sebelum mengambil tisu lain. Dia lalu membantu mengelap keringat Sean. Bikin Radeya lantas berdeham setelahnya.

“Hadeh, jadi obat nyamuk dah kita-kita di sini liat lu bedua.”

“Gue ke sini mau belajar ye, bukan mau ngeliat orang uwu-uwuan,” timpal Gibran.

Sean pun mendengus. Tapi baru aja dia hendak bersuara, Daffa tiba-tiba bangkit dari posisinya. Menimbulkan suara decitan kursi yang cukup keras, bikin dia kaget.

“Gue mau ke Indomaret dulu, beli minum sama es krim. Lu pada pengen apa?” tanyanya.

“Apa aja deh. Kan lu yang bayar,” Gibran cengengesan.

Daffa cuma ngangguk pelan, gak ngomong apa-apa lagi sebelum ninggalin tempat itu.

Gak ada balasan dari Sean.

Daffa cuma bisa memandangi chat terakhir yang dia kirim ke sahabatnya itu. Ia lalu melempar handphone asal di atas tempat tidurnya sebelum merebahkan tubuh di sana.

Lagi pula Sean harus nge-balas gimana? Batinnya.

Mereka gak pacaran. Rasa di antara keduanya pun sudah jelas sangat salah. Jadi Daffa gak punya hak buat cemburu.

Tapi kenapa rasanya sakit?

Melihat bagaimana perhatian Sean tercurah ke orang lain; khususnya Nana yang sangat jelas menyimpan rasa ke sahabatnya itu membuat dada Daffa sesak. Dia gelisah.

Sejenak Daffa mengatur deru napasnya lalu menutup mata. Dia lelah, gak cuma fisik dan pikiran tapi juga hatinya.

Sampai gak lama berselang, Daffa berakhir ketiduran.

Sekitar lima puluh menit semenjak Daffa tertidur pulas, seseorang lantas masuk ke dalam kamarnya. Duduk di tepi ranjang lalu mengusap pelan kepala Daffa.

Sentuhan itu pun membuat sang empu kamar terusik. Lalu saat membuka mata secara perlahan, Daffa seketika mendapati Sean.

“Kata Bang David lu belum makan siang,” ucap Sean.

“Ke bawah gih, gue bawain ayam rica-rica tadi. Bang David udah makan duluan.”

“Entaran.”

Daffa bergumam sebelum mengubah posisi menjadi berbaring menyamping, membelakangi Sean.

“Ya udah, kalo lu ga mau diganggu. Gue pulang aja.”

Sean berdiri. Kakinya pun telah melangkah sejengkal, tapi harus terhenti ketika lengannya tiba-tiba ditahan oleh Daffa. Sahabatnya itu udah duduk di tepi ranjang.

Persekian detik berikutnya, Sean dibuat kaget pas Daffa menarik lengannya. Bikin dia kembali mendekat ke tempat tidur—tepat di depan Daffa.

Dan pada detik itu juga Daffa beralih melingkarkan kedua lengan di pinggangnya. Daffa memeluk lalu menyandarkan kepala di perut ratanya.

“Jangan pulang, Yan.”

Daffa bergumam. Ia kemudian mendongak, menatap Sean.

“Jangan pergi.”

“Makanya jangan ngambek kalo gak mau gue pulang.”

“Gue gak ngambek.”

“Terus kenapa muka lu cemberut kek gini? Tadi juga lu madep belakang pas liat gue dateng,” Sean ngomel.

Sean lalu menepuk pundak Daffa, “Dah, cuci muka lu gih. Abis ini ke ruang makan.”

“Mm.”

***

Daffa dan Sean kini berjalan beriringan menuruni tangga hingga sampai di lantai dasar. Keduanya hendak meneruskan langkah ke ruang makan, tapi terhenti pas ketemu David.

“Yan, makasih banyak ya. Enak banget ayamnya.”

“Sama-sama, Bang.”

David lalu beralih natap adiknya, “Daf, lu sama Sean jagain rumah ya. Gue mau ke luar bentar, kalo Bunda nanya bilang aja ketemu temennya.”

“Mm.”

Daffa cuma menjawab dengan gumaman sebelum ngajak Sean segera ke ruang makan. Sementara David lantas melenggang ke luar rumah.

“Emang mama lu bikin banyak, Yan?”

Daffa udah duduk di depan nasi juga lauk yang dibawa Sean dari rumahnya.

“Iya, banyak. Mana yang makan pedes di rumah gue cuma Mama sama Ibra.”

Daffa mengangguk paham. Dia lalu tersenyum sebelum meraih handphone nya, membuka kamera dan bilang,

“Yan, liat ke kamera.”

“Lu mau ngapain?”

“Mau pamer kalo abis dibawain lauk sama lu.”

Sean mendengus, “Jangan.”

“Kalo lu mau pamer, foto aja lauknya. Terus gak usah bilang kalo itu dari gue.”

Senyum di bibir Daffa seketika luntur. Pundaknya yang semula berdiri tegak pun perlahan melemas.

Sean yang menyadari hal itu lantas menghela napasnya.

“Daf...”

“Risih banget ya kalo sering dibilang—kek homo?”

“Enggak gitu,” jawab Sean.

“Tapi kalo orang lain ngeliat gue bawain lu lauk kayak gini, mereka bisa aja curiga.”

“Apalagi Radeya sama Gibran. Gue gak pernah bawain mereka lauk kek gini. Padahal kalo dipikir mereka sahabat gue juga kan, kayak elu.”

“Lu mau mereka tau kalo—”

“Apa yang aneh sih dari bawain temen lu makanan?”

“Tadi Bang David bilang sesuatu pas ngeliat lu bawa lauk ini?” timpal Daffa.

“Bang David beda, Daf. Dia udah biasa liat gue bawa makanan ke rumah lu karena Bunda kalian jarang masak.”

Sean menarik napas sejenak.

“Daf, mungkin menurut lu gak aneh. Tapi kita gak tau apa yang dipikirin orang lain.”

“Sekarang kita harus sadar kalo pertemanan di antara cowok gak se-intim ini.”

“Dan kita beda,” lirih Sean.

Daffa diam. Tatapannya kosong.

“Lu ngerti gak sih maksud gue?” Sean nautin alis kesal.

“Ini bukan cuma buat gue, Daffa. Tapi buat lu juga.”

“Iya, ngerti.”

“Sampe lu ngambek lagi, gue beneran pulang sekarang.”

“Siapa yang ngambek sih?”

Daffa memalingkan wajahnya dari Sean sebelum mulai melahap nasi dan lauknya.

Ayam rica-rica bikinan Mama Sean enak, sesuai seleranya yang suka makanan pedas.

Tapi rasa sesak di dadanya justru bikin Daffa gak berselera buat makan.

“Kalo gak enak, gak usah dimakan. Emang gue maksa lu buat makan itu?”

Nada bicara Sean terdengar kesal di telinga Daffa. Bikin dia berhenti makan sejenak sebelum noleh ke sahabatnya.

“Gue sedih, Sean.”

“Gue sedih karena cuma bisa ngeliat orang yang gue suka dideketin sama orang lain...”

“Gue gak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk bilang ke dunia kalo gue juga suka sama lu aja, gue gak bisa.”

“Terus sekarang, ketika gue cuma pengen ngabisin waktu berdua sama lu, kita harus sembunyi-sembunyi gini.”

“Apa gue gak boleh sedih?”

Mulut Sean setengah terbuka. Kedua matanya pun menatap Daffa dengan raut gak terima.

“Lu pikir gue gak sedih, Daf?”

Nada suara Sean sedikit meninggi. Napasnya pun mulai tak beraturan.

“Bukan cuma lu. Gue juga.”

“Terus siapa yang mau lu salahin? Tuhan?” timpalnya.

Sean menggeleng lemah.

“Kita yang salah, Daf.”

“Kita yang salah karena mencintai hal yang gak seharusnya kita cintai.”

“Makanya kita juga harus siap buat ngerasa sedih bahkan sakit. Karena kita yang salah.”

Mata Sean lantas memanas. Suaranya tiba-tiba bergetar.

“Kalo lu gak mau tersiksa karena ngerasa sedih...”

“Berhenti suka sama gue.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Sean berdiri dari kursi.

“Gue pulang,” katanya lalu berjalan meninggalkan Daffa.

Sean merebahkan tubuhnya di atas ranjang setelah mengganti pakaian. Rapat OSIS yang tadi berlangsung selama dua jam bikin dia merasa kelelahan sekarang.

Sayangnya, niat hati ingin tidur siang—jelang sore hari nya harus Sean urungkan. Pasalnya, pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dari luar.

Dan saat menoleh, Sean mendapati Daffa di sana. Berdiri di ambang pintu sembari memegang benda persegi berwarna putih yang Sean duga adalah kanvas.

“Hm, pantes dari tadi gue manggil di bawah tapi yang nongol malah Ibra. Ternyata lu lagi di sini. Abis bobo ya?”

“Tadinya mau bobo, tapi lu tiba-tiba dateng.” kata Sean.

“Lu ngapain bawa gituan?”

Daffa gak menjawab. Dia justru senyam- senyum sambil jalan nyamperin Sean lalu duduk di tepi ranjang.

“Ini buat lu.”

“Hah?”

Sean nautin alisnya heran. Setelahnya dia lantas bangun dan duduk di samping Daffa.

Saat itu juga Daffa membalik kanvas yang dibawa nya. Menunjukkan sisi dimana lukisan realis terpampang di sana. Dan Sean gak bodoh untuk tau kalau sosok yang menjadi objek adalah dirinya.

“Daf, lu yang ngelukis ini?” tanya Sean sambil mengambil alih lukisan dari Daffa.

“Iya,” jawab Daffa.

Sejenak Sean terdiam. Matanya menjelajahi setiap detail yang tergambar jelas.

“Ini... Gue kan, Daf?”

“Mm, pas lu foto-foto sama bunga mawar di rumah gue.”

Sean senyum tipis.

“Suka gak?” tanya Daffa.

“Gue ngerjain itu seminggu lebih tau. Spesial buat lu.”

Alis Sean refleks bertautan. Sementara matanya lantas memicing ke arah Daffa.

“Jadi ini yang bikin lu ilang-ilangan seminggu terakhir?”

Daffa cengengesan, “Iya.”

Sean mendengus. Kembali memandangi lukisan di hadapannya lalu bergumam.

“Gue suka banget, Daf.”

“Lu emang jago kalo soal gambar. Tapi gue gak tau kalo lu juga pinter banget ngelukis kayak gini,” pujinya.

“Itu lukisan pertama gue.”

“Becanda lu?”

Mata bulat Sean melotot.

“Serius,” kata Daffa, “Jadi dimaklumi ya kalo masih banyak kurangnya, Yan.”

“Tapi lu ngelukis gue kayak gini tuh dalam rangka apa coba?” Sean heran, “Kemarin lu juga ngasih gue pakaian.”

“Pakaian itu hadiah dari gue buat lu karena udah menang olimpiade,” katanya, “Gue baru sempet beli kemaren.”

Daffa memaksakan senyum sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Terus lukisan ini...”

“Gue cuma bisa ngasih ini buat nunjukin kalo lu berharga banget buat gue.”

Sean diam. Sementara sesuatu di balik dadanya lantas berdesir saat mendengar penuturan Daffa.

“Apalagi lu gak suka bunga mawar,” Daffa terkekeh, “Jadi anggap aja simbol perasaan gue ke lu lukisan ini, bukan mawar kek orang-orang.”

“Lu cheesy banget sih, Daf.”

Sean mengulum senyumnya.

“Aneh ya?” Daffa mengusap tengkuk, “Maaf, Yan. Selama ini gue belum pernah deketin cewek, apalagi cowok. Jadi...”

“Iya, iya, gue tau.”

Sean terkekeh lalu bangkit dari posisinya. Ia kemudian berjalan ke arah tembok yang gak jauh dari meja belajarnya. Natap spot kosong di sana sejenak lalu noleh ke Daffa.

“Kalo lukisannya gue gantung di sini bagus gak sih, Daf?”

“Mm, bagus.”

“Ya udah, lu pegangin ini dulu. Gue mau ke gudang, nyari palu sama paku.”

Daffa pun menurut. Lukisan juga udah ada di tangannya, selagi Sean ke lantai dasar.

Sampai gak lama berselang, si empu kamar akhirnya datang. Membawa palu juga paku.

“Sini, biar gue yang masang.”

Sean mengangguk. Dia lalu mengambil alih lukisan tadi, sementara Daffa menarik kursi meja belajar. Naik di atasnya, lalu menanam paku pada tembok dengan palu.

“Sini, Yan.”

Sean pun menyodorkan lukisannya ke arah Daffa. Sahabatnya itu kemudian menggantung nya pada paku sebelum dia turun dari kursi.

“Gitu kan? Apa miring?”

“Gak. Udah bagus kok, Daf.”

“Mm, oke.”

Daffa bergumam lalu meletakkan palu di atas meja belajar Sean. Sementara si empu kamar kembali duduk di tepi ranjang.

Alhasil, Daffa pun nyamperin Sean setelahnya. Membuat mereka berakhir duduk berdampingan di sana sambil menatap lurus ke lukisan.

“Daf.”

“Hm?”

Daffa noleh ke Sean yang nyatanya udah natap dia.

“Gue kira... Kemarin lu kek ilang-ilangan gitu buat jaga jarak dari gue tau.”

“Kok lu mikir gitu, Yan?”

“Ya bisa aja kan?” kata Sean, “Bukannya kita sama-sama tau kalo perasaan kita salah?”

“Jadi gue udah mikir, kalo lu mungkin gak pengen apa yang kita rasain ini makin dalam. Makanya lu batesin interaksi sama gue,” jelasnya.

Daffa mendengus pelan diikuti senyum simpulnya.

“Enggak lah, Yan.”

“Gue gak bisa chat-an lama sampe gak pernah ke rumah lu karena emang lagi nge-buru waktu doang kok buat beresin lukisan itu,” katanya.

“Lagian gue juga gak bisa kali, lama-lama gak gangguin lu.”

Sean senyum hambar.

“Tapi, Daf. Kalo emang nanti lu harus membatasi interaksi sama gue buat ngilangin perasaan lu, bilang dulu ya?”

“Bilang ke gue kalau lu gak bisa nge-chat atau gak bisa sering datang ke sini lagi.”

Sean lalu memalingkan wajah sebelum menunduk. Menatap jemarinya yang bertautan.

“Jangan bikin gue kangen,” gumamnya lirih, tapi masih bisa didengar oleh Daffa.

“Lu kangen sama gue, Yan?”

Sean decakin lidahnya sebelum ngelirik Daffa sinis.

“Ya lu mikir coba,” dia mulai ngomel, “Yang biasanya lu rajin nge-chat sama nginep terus tiba-tiba ngilang.”

“Lu pikir gue gak ngerasa ada yang hilang apa?” jelas Sean.

Daffa ketawa ringan. Begitu pun dengan Sean yang kembali natap ke lukisannya. Membuat Daffa melakukan hal yang serupa.

Tapi gak lama berselang, Sean lantas menoleh. Memandangi wajah Daffa lekat-lekat dari samping.

“Daf.”

“Mm?” gumam Daffa lalu memalingkan wajah ke Sean.

Dan pada detik itu juga kedua bola mata Daffa seketika melotot. Sebab Sean tiba-tiba menciumi pipi kanannya.

“Itu hadiah lu karena gak remedial fisika,” kata Sean.

Daffa terdiam. Masih berusaha menetralisir gemuruh jantungnya. Tapi persekian detik berikutnya, Sean lagi-lagi menciumi pipinya. Kali ini di sisi kiri.

“Kalo yang itu hadiah karena lu udah ngelukis gue.”

Kedua anak manusia itu pun sama-sama menunduk. Bersama rona merah di pipi yang menjalar sampai telinga.

Baik itu Daffa maupun Sean tiba-tiba salah tingkah. Bahkan untuk saling menatap mata satu sama lain saja, mereka seakan udah gak bisa.

“Ng... Gue mau balikin palu,” Sean buka suara lalu berdiri.

“Gue mau sekalian ambil minum. Lu pengen apa?”

Sebisa mungkin Sean memberanikan diri buat melirik Daffa. Tapi ketika cowok berlesung pipi itu ikut meliriknya, dia malah natap ke arah lain. Salah tingkah.

“Apa aja deh.”

Sean berdeham, “Jadi kalo gue bawain air bekas cuci piring, lu mau minum gitu?”

Daffa nahan senyum sebelum mendongak, menatap Sean.

“Sebahagia lu aja, Yan.”

Sean senyum sebelum jalan ke meja belajarnya lalu mengambil palu. Setelahnya, dia buru-buru ke luar dari kamar. Meninggalkan Daffa yang masih mesem-mesem.

Setelah merasa kalau Sean udah cukup jauh, Daffa lantas memegangi kedua pipinya. Senyumnya makin lebar, sampai cekungan di kedua pipi nya kian dalam.

Daffa lalu beralih memegangi dadanya. Dia menarik napas lalu menghembuskan nya pelan sebelum menjatuhkan tubuh di atas ranjang Sean.

Kalau aja seseorang lagi ngeliatin dia, pasti udah disangka orang gila, pikirnya.

Bagaimana tidak?

Daffa natap lurus ke arah langit-langit kamar sambil cengengesan. Setelahnya, dia kemudian mengambil bantal lalu menutupi wajah nya.

Jatuh cinta memang punya banyak rasa, batin Daffa.

Dan Daffa suka dengan yang satu ini. Tapi Daffa gak pernah tau, kapan—juga bagaimana rasa cinta yang manis ini bakal berakhir nantinya.

Taeyong melenguh pelan saat mendengar ketukan dari arah pintu kamarnya. Ia lalu membuka mata, mendapati cahaya sang surya telah berkunjung bahkan masuk ke dalam kamarnya melalui celah dari tirai jendela.

Lagi, ketukan itu menggema. Namun Taeyong yang hendak bangkit dari posisinya justru mendesis. Pasalnya rasa sakit di kepala tiba-tiba mendera. Pun sensasi perih di ulu hati nya yang kian menjadi-jadi.

Sudah sejak semalam ia merasa tidak enak badan. Tapi tak pernah terpikirkan oleh Taeyong jika keadaannya akan berakhir seperti ini.

Namun mengingat jika sang suami akan pulang ke rumah, Taeyong lantas memaksakan diri untuk bangkit. Dia tersenyum, begitu manis. Terlebih saat rentetan pesan manis Jaehyun semalam hingga pagi buta tadi lantas mengisi kepalanya.

Ia ingin memeluk suaminya.

Taeyong kemudian berjalan sempoyongan ke arah pintu. Berusaha mengimbangi tubuhnya agar tidak terjatuh. Setelahnya, jemari Taeyong lalu memegangi kenop sebelum memutarnya.

Sayangnya, ketika pintu terbuka Taeyong justru tidak mendapati suaminya. Melainkan Doyoung, sang sepupu yang kini menatapnya dengan raut wajah panik.

“Taeyong, wajah lu pucat banget!” Doyoung histeris.

“Lu sakit?” timpalnya.

Taeyong menggeleng lemah.

“Gak tau. Sejak semalam gue gak enak badan,” katanya.

“Tapi lu jangan bilang ke Jaehyun ya, Doy?” ia menambahkan, “Gue gak mau dia khawatir.”

Sejenak Doyoung memandangi wajah sepupunya. Tak mengeluarkan sepatah kata yang justru membuat Taeyong merasa heran.

“Lu kenapa dah?” Taeyong mendesis, “Doy, sekarang udah jam berapa sih?”

“Jam sepuluh pagi, Yong.”

“Jam sepuluh?”

Taeyong lagi-lagi mendesis pelan lalu menyandarkan tubuhnya di ambang pintu. Dia tiba-tiba merasa pusing.

“Tadi pas masuk ke sini lu gak ketemu, Jaehyun?” tanyanya.

“Seharusnya jam segini dia udah nyampe. Tapi kok dia gak ada di samping gue ya?”

Doyoung tak mampu lagi menahan dirinya. Dia lalu menarik pelan lengan Taeyong, menuntun sepupunya itu untuk duduk di atas tempat tidur.

“Yong,” Doyoung mengusap pelan bahu Taeyong, “Gue tau ini berat, tapi lu harus ikhlas.”

“Ikhlas apaan sih maksud lu?”

Setetes air mata seketika jatuh dan membasahi pipi Doyoung. Setelahnya, ia lantas membawa tubuh sang sepupu ke dalam dekapannya.

“Yong, Jaehyun udah gak ada.”

“Jaehyun udah pergi sebulan yang lalu,” ucapnya lirih.

“Maksud lu apa sih?”

Taeyong mendorong pelan tubuh Doyoung hingga tautan mereka terlepas.

“Semalem sama pagi tadi gue masih chat-an sama Jae—”

Penuturan Taeyong terhenti sebelum ia menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya. Ia termenung selama beberapa saat lalu meraih handphone di atas nakasnya.

Dengan tangan yang telah bergetar hebat, Taeyong lantas membuka pesan pada kontak suaminya. Hingga ia mendapati jika chat terakhir yang ada di sana adalah pesannya satu bulan silam.

Dimana Taeyong masih enggan percaya bahwa sang suami telah pergi.

Enggan percaya bahwa Jaehyun menjadi salah satu korban penyerangan anggota kelompok bersenjata tak dikenal saat dalam perjalanan menuju bandara setelah dinas luar kotanya selesai.

Enggan percaya bahwa belahan jiwanya telah mengingkari janji mereka untuk berlibur bersama ke Lombok pada akhir tahun.

Taeyong lalu mencoba memeriksa pesannya pada Johnny, namun nyatanya pesan terakhir yang ada di sana adalah Johnny berkata bahwa Jaehyun, suaminya telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Saat itu pula tangis Taeyong pecah. Bersamaan dengan Doyoung yang kembali memeluknya dengan erat.

Nyatanya semalam ia bermimpi. Bermimpi bahwa Jaehyun masih di sini dan menepati janji untuk segera kembali.

Namun Taeyong merasa semua itu begitu nyata.

Bahkan setiap kalimat yang Jaehyun katakan pada pesannya masih ia ingat.

Bagaimana Jaehyun berkata bahwa ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya.

Bagaimana Jaehyun berkata bahwa ia harus tetap hidup bahagia, tersenyum dan tertawa.

Dan bagaimana Jaehyun berkata bahwa di keabadian nanti, suaminya itu ingin agar mereka bertemu kembali.

Tangis Taeyong pun kian menjadi-jadi, membuat Doyoung semakin memberi pelukan yang begitu erat.

Hingga tak lama berselang Taeyong merasakan sakit, tidak hanya di kepala dan dadanya tapi juga di sekujur tubuhnya. Dan dalam hitungan detik saja, pengelihatannya meremang.

“Doy...”

Taeyong bergumam lirih.

“Gue pengen ketemu Jaehyun.”

Setelah mengucap kalimat itu, kesadaran Taeyong pun hilang.

Sudah jam pulang sekolah. Para siswa dan siswi pun perlahan mulai keluar dari kelas masing-masing. Gak terkecuali dengan Daffa juga Sean yang kini berjalan beriringan keluar dari kelas, menuruni tangga hingga akhirnya sampai di parkiran.

Gibran dan Radeya tidak ikut bersama Sean juga Daffa. Sebab keduanya harus tinggal di kelas guna membicarakan perihal presentasi kelompok mereka untuk esok hari.

“Ada tugas buat besok gak sih, Yan?” tanya Daffa.

“Gak ada sih seingat gue.”

“Jadi abis ini lu di rumah aja?”

“Iya,” Sean menjatuhkan pundak, “Sendiri lagi tapi.”

“Ibra ke mana?”

“Ada les di sekolah.”

“Oh.”

Daffa berpikir sejenak sambil memasangkan helm di kepala Sean. Bikin yang diperlakukan demikian refleks melotot.

“Daf, orang-orang ngeliatin kita.” gumam Sean lirih.

“Kenapa?” Daffa terkekeh, “Gak suka dibilang homo ya?”

“Daffa.”

“Candaaa.”

Daffa menipiskan bibirnya sambil mengaitkan tali helm di bawah dagu Sean.

“Helm yang ini rada-rada, lu liat sendiri kan tadi pagi?”

Daffa decakin lidah, “Udah mau diganti sama yang baru.”

Sean menghela napas. Dia sama sekali keberatan atau pun menolak perlakuan Daffa.

Hanya saja dirinya takut.

Takut jika tingkah mereka berdua sangat terbaca.

Takut jika seseorang akhirnya tahu bahwa mereka saling mendamba, namun itu salah.

“Mau ikut ke rumah gue gak?”

Sean mengangkat alisnya. Bersamaan dengan Daffa yang udah duduk di atas motor setelah memakaikan helm untuknya.

“Gue juga sendiri di rumah,” sambung Daffa.

“Mau ngapain di rumah lu?”

“Pacaran.”

Sean mukul punggung Daffa sebelum naik ke atas motor sahabatnya yang udah nyala. Sementara Daffa ketawa.

“Mau gak?”

“Ya udah.”

“Mau atau enggak, Sean?”

“Mau, Daffa.”

Daffa senyum melihat raut kesal juga gemas di wajah Sean. Setelahnya dia pun menancap gas motornya, meninggalkan area sekolah.

***

“Nih, pake.”

Sean menautkan alis. Memandangi pakaian yang saat ini ada di hadapannya.

“Daf, kok lu ngasih gue baju sama celana yang masih ada labelnya gini?” Gak pernah lu pake?” tanya Sean heran.

“Gak. Itu emang buat lu.”

“Hah?”

Daffa berdecak, “Udah cepet dipake. Gue tunggu di bawah. Abang yang nganterin makanan udah di depan.”

Pada akhirnya Sean cuma bisa mengangguk pasrah. Meski sebenarnya dia gak tau kenapa Daffa tiba-tiba ngasih dia pakaian di tangannya ini.

***

Selepas makan siang, Sean lantas duduk sejenak di sofa ruang tengah rumah Daffa. Sementara sahabatnya itu justru kembali ke kamar untuk mengambil sesuatu yang Sean pun gak tau apa.

Sampai gak lama berselang, Daffa akhirnya kembali. Nyamperin dia sambil bawa kamera DSLR kesayangannya.

“Kekenyangan lu?”

Daffa terkekeh melihat Sean memegangi perutnya.

“Iya,” Sean nunjuk kamera Daffa pake dagu, “Lu mau ngapain bawa kamera itu?”

“Emang kamera gunanya buat apa sih? Masak?” balas Daffa.

Tatapan Sean seketika berubah menjadi datar. Kakinya pun udah siap buat nendang Daffa yang berdiri di depannya, tapi sahabatnya itu udah lebih dulu menghindar sambil ketawa—begitu lepas.

Dan Sean menyukainya.

“Ayo ikut gue ke taman belakang,” ajak Daffa.

“Ngapain?”

“Ikut aja.”

“Gue males gerak, Daffa.”

Daffa menghela napas.

“Gimana gue bisa ngajak lu nge-date di luar kalo pas di rumah aja lu males gerak?”

Sean manyun.

“Apa? Mau bilang apa lagi?”

Daffa senyum lalu mencubit pipi kiri Sean, “Sini, buruan.”

Sean mendesis. Setelahnya, dia pun bangkit dan mengikuti langkah kaki Daffa yang menuntunnya ke taman belakang rumah sahabatnya.

Bunda Daffa sangat menyukai tanaman—sama seperti Mama nya. Alhasil, Bunda Daffa pun menjadikan area di belakang rumah nya sebagai taman. Cukup luas dan rindang.

“Yan, buruan berdiri di sana.”

Sean mendengus saat Daffa menunjuk ke arah kumpulan tanaman bunga mawar merah milik Bundanya yang rindang.

“Lu mau fotoin gue di depan bunga mawar?” tanya Sean.

“Iya,” jawab Daffa santai.

“Enggak ah, apa-apaan.”

Sean tidak membenci bunga. Hanya saja, baginya bunga terlalu identik dengan wanita.

Sementara dia adalah pria.

“Kenapa lagi sih, Yan?”

“Gue bukan cewek, Daf.”

“Emang tadi gue bilang kalau lu cewek?” tanyanya.

“Enggak, tapi masa gue foto sama bunga. Kek cewek aja.”

Daffa senyum lembut.

“Yan, lu tau gak filosofi bunga mawar dianggap sebagai lambang kasih sayang?”

“Gak tau, tapi pernah denger.”

Daffa mengangguk.

“Sebegitu indahnya mawar sampai dianggap bisa jadi lambang kasih sayang tau.”

“Dan kasih sayang itu gak pernah memandang kalo lu cewek atau pun cowok.”

Daffa lalu menatap ke arah tanaman mawar Bunda nya.

“Tapi di balik keindahan nya, mawar punya duri. Bikin siapa pun yang mau nyentuh atau ngambil dia musti berani dan hati-hati,” katanya.

“Seakan itu ngasih kesan kalo sesuatu yang indah gak selalu mudah buat digapai.”

Daffa kembali natap Sean.

“Dan bagi gue, lu itu kayak mawar, Yan. Lu indah, tapi lu gak mudah buat gue gapai.”

“Bahkan mungkin gak bakal pernah,” suara Daffa lirih.

“Jadi gue boleh ya fotoin lu sama mawar? Sekali aja, Yan.”

Penuturan Daffa terlalu dalam. Sampai-sampai Sean kembali merasakan sensasi sesak di dadanya. Namun berusaha untuk dia tahan.

“Lu kok jadi serius gini sih?” Sean berdeham, “Ya udah.”

Daffa tersenyum lega pas ngeliat Sean akhirnya jalan ke spot yang dia tunjuk tadi. Sean berdiri di sana, menatap lurus ke arahnya yang udah ngatur lensa kamera supaya hasil dari fotonya sempurna.

“Gue foto sekarang ya, Yan.”

“Satu...”

“Dua...”

“Tiga...”

Suara jepretan kamera pun menggema bersamaan dengan senyum Daffa yang semakin mengembang.

“Udah?” tanya Sean.

“Iya, udah.”

“Mau liat.”

Daffa terkekeh sebelum berlari ke arah Sean. Dia lalu menunjukkan hasil jepretannya tadi.

“Suka gak fotonya?”

“Suka,” jawab Sean, “Sekali lagi boleh gak, Daf?”

Daffa ketawa.

“Tadi aja gak mau.”

“Ya udah kalo gak boleh.”

“Boleh, Sean. Boleh.”

Kedua anak manusia itu pun melanjutkan kegiatan mereka. Yang tadinya direncakan hanya sekali justru berujung menjadi berkali-kali jepretan.

Dan hari ini, Sean akhirnya jatuh cinta pada bunga untuk pertama kalinya karena Daffa.

Wanita paruh baya yang kerap disapa Ibu Anita telah duduk di kursi guru. Pengampu mata pelajaran fisika itu mulai membuka suara sebelum akhirnya menyinggung perihal hasil ulangan harian siswa dan siswi di kelas IPA-4.

“Hasil ulangan kemarin di luar ekspektasi saya,” kata si wanita paruh baya, “Saya kira di kelas ini cuma satu dua orang saja yang remedial.”

“Tapi justru cuma tiga orang yang berhasil lolos,” jelasnya.

Sean mendadak gelisah saat tatapan Ibu Anita kemudian tertuju ke arah Daffa.

“Daffa salah satunya.”

Napas Sean tertahan sejenak sebelum ia melirik Daffa.

“Gimana ulangan kemarin, Daf?”

“Alhamdulillah bikin puyeng, Bu.”

Seisi kelas tergelak atas jawaban Daffa. Tapi tidak dengan Sean yang justru waspada jika setelah ini Ibu Anita akan mengatakan hal yang dia beritahukan ke Radeya kemarin.

“Bikin puyeng apanya? Gampang gitu kok soalnya,” ucap Ibu Anita lagi.

“Soalnya emang gampang, Bu. Tapi jawabannya yang susah.”

Sekali lagi Daffa menjawab. Dan saat itu pula Sean bisa melihat kalau si wanita paruh baya di depan kelas senyum, hanya saja dengan raut ragu.

“Tapi kamu dapet nilai tujuh puluh lima loh ini.”

Ibu Anita lalu mengambil lembar jawaban Daffa. Setelahnya, dia kemudian melirik ke arah Sean.

“Apa dibantu sama Sean?”

Sean gak suka dengan suasana seperti ini. Dimana semua mata tertuju padanya juga Daffa, menatap mereka seperti pelaku kriminal yang baru saja tertangkap basah.

“Kamu ngasih liat nomor berapa aja ke Daffa, Yan?”

Sean tau, pertanyaan itu bukan candaan melainkan sarkasme yang nyata.

Sementara itu, pertanyaan Ibu Anita ke Sean bikin Daffa berang. Dia gak masalah kalau aja dirinya dituduh menyontek, tapi melihat Sean justru terkesan disudutkan lantas memicu rasa panas di dadanya. Daffa gak terima.

“Saya gak ngasih liat satu nomor pun, Bu.” jawab Sean.

Ibu Anita lagi-lagi tersenyum. Kali ini dengan tampang remeh yang bisa Sean baca.

“Oke, kalau gitu sekarang kita bahas soal ulangan kemarin dulu sebelum lanjut ke pokok bahasan berikutnya ya.”

Si wanita paruh baya kemudian menatap Daffa.

“Daffa, kerjakan nomor satu dan dua di papan tulis lalu jelaskan hasilnya dari mana.”

Ibu Anita melirik lembar jawaban Daffa sejenak sebelum kembali bersuara.

“Saya nih belum menginput nilai kamu, Daf. Saya mau melihat dulu apa jawaban kamu kemarin benar-benar hasil kerja kamu sendiri atau justru nyontek punya Sean. Bisa kan?”

“Bisa, Bu.”

“Kalau ternyata jawaban kamu nanti gak sesuai sama apa yang ada di lembar jawaban ini, gak apa-apa kan kalau kamu ikut remedial dan nilai Sean saya kurangi?”

Daffa mengeraskan rahang sebelum bilang, “Iya, Bu.”

Sean menghela napas. Matanya menatap Daffa yang kini udah berdiri dan bersiap ke depan kelas—tepatnya di depan papan tulis.

Dalam hati Sean berdoa semoga Daffa gak dipersulit oleh Ibu Anita. Dia yakin sama kemampuan yang dimiliki Daffa. Dia yakin Daffa pasti bisa.

Dan benar saja, Daffa menulis penyelesaian soal di white board dengan begitu tenang. Jawaban yang terpampang di sana pun tertata, sebagaimana mestinya.

Sampai gak lama berselang Daffa berhasil menyelesaikan dua nomor soal yang tadi diperintahkan oleh Ibu Anita. Setelahnya dia kemudian membalikkan badan, menatap teman-temannya yang masih terpaku dengan jawabannya.

Ketika tatapan Daffa bertemu dengan Sean, dia bisa melihat sahabatnya itu tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Seolah memberitahu kalau dia bisa menjelaskannya.

Sejenak Daffa menarik napas sebelum melirik Ibu Anita. Ia lalu kembali melirik ke papan tulis sebelum menjelaskan penurunan rumus hingga pada tahap hasil akhirnya.

Jelas, aksi Daffa itu bikin seisi kelas termangu. Sangat heran melihat siswa yang dikenal malas itu justru bisa menjelaskannya dengan baik.

Gak terkecuali Ibu Anita yang tadinya udah siap mencoret nilai di lembar jawaban Daffa.

“Begitu penjelasan saya, Bu.”

Setelah mendengar kalimat akhir yang diucapkan Daffa, Sean lantas bertepuk tangan keras. Bukan karena nilainya gak dikurangi, tapi karena dia bangga melihat sahabatnya.

Sekaligus sosok yang amat dicintainya dan ingin dia jaga.

“Oke, jawabannya saya terima.” kata Ibu Anita, “Silakan kembali ke tempat duduk kamu, Daffa.”

“Daffa! Lo keren!”

Teriak Gibran yang juga ikut bertepuk tangan keras diikuti semua teman kelasnya.

“Saya izin ke luar sebentar ya. Mau jawab telepon penting.”

Pamit Ibu Anita setelahnya, sebab handphone berdering.

Sementara itu, Daffa yang udah duduk di samping Sean lantas menghela napas lega. Tapi gak lama berselang dia justru dibuat kaget. Sebab tangannya yang berada di bawah meja tiba-tiba saja digenggam oleh sahabatnya.

“Gue selalu bangga sama lu.”

Gumaman Sean hampir menyerupai bisikan, tapi masih bisa Daffa dengar. Dia lalu tersenyum tipis ke arah Sean sebelum mengangguk.

“Ngapain lu berdua pake pegang-pegang tangan gitu?”

Sean dan Daffa kaget. Keduanya sama-sama gak sadar kalau Gibran tengah memergoki mereka berdua.

Ditambah lagi suaranya yang bisa dibilang cukup lantang. Bikin beberapa siswa melirik penasaran ke arah mereka.

“Emang kenapa sih? Tangan lu mau gue pegang juga?”

Sean menyela dengan nada candaan lalu melepas tautan jemarinya dengan Daffa.

“Ogah,” kata Gibran, “Kek homo aja pegang-pegang.”

Dan pada detik itu juga, sesuatu di balik dada Daffa juga Sean yang mendengar nya hancur lebur seketika.