Sean keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Tetesan air dari rambut basahnya pun membasahi tubuh polosnya.

Sean lalu berjalan ke arah tempat tidur, dan saat itu juga dia lantas memekik.

“Anjing! Kok lu ada di sini?!”

Daffa yang lagi duduk di tepi ranjang lantas tergelak. Sebab raut wajah Sean begitu menggemaskan. Terlebih Sean refleks menyilangkan kedua lengan di depan dadanya yang terekspos.

“Kan lu sendiri yang nyuruh gue balik ke villa.”

Sean mendesis. Sementara Daffa beranjak. Dia berjalan ke arah kopernya, mengambil handuk, lalu kembali duduk di tepi ranjang seraya menepuk sisi kosong di sebelah nya.

“Sini, duduk.”

Sean menurut. Dia duduk di samping Daffa. Pacarnya itu kemudian meletakkan handuk yang dia ambil tadi di atas kepalanya sebelum mengusap lembut rambut basahnya.

“Udah,” kata Daffa, “Pake baju sana. Abis ini kita makan bareng di luar.”

Sean mengangguk. Dia lalu berdiri, hendak beranjak guna mengambil pakaian di koper nya. Tapi baru saja selangkah, Sean udah bikin Daffa panik.

Pasalnya, handuk yang melingkari pinggang Sean tiba-tiba nyaris terlepas. Beruntung Daffa dengan sigap berdiri tepat di depan pacarnya itu. Membantu menahannya dengan cara memegangi handuk di bagian pinggang Sean.

“Kamu tuh kalo pake handuk yang bener,” kata Daffa sambil natap wajah Sean, “Kalo aja ada orang lain di sini, udah debut kali si Sean junior.”

Sean mengulum bibirnya lalu memukul pelan bahu Daffa.

“Lagian siapa juga orang lain yang mau dateng ke sini?”

“Iya, sekarang gak ada. Kalo besok-besok kamu gini juga di kamar kamu pas ada orang lain gimana?” sela Daffa.

Sean senyum. Masih dengan kedua tangan Daffa yang memegangi pinggang nya.

“Sampai kapan aku musti megangin handuk kamu?” Daffa berdeham, “Benerin.”

“Tapi kamu jangan ngeliat ke bawah ya?” pinta Sean.

“Dari tadi juga aku liat wajah kamu doang, Yan.”

Sean terkekeh. Setelahnya dia lantas memperbaiki lilitan handuk di pinggangnya. Daffa pun paham saat Sean menepuk satu tangan nya; artinya dia boleh melepas pegangan yang satu itu.

Selagi Sean sibuk melilitkan handuk di pinggangnya, Daffa gak pernah berhenti menatap wajah pacarnya. Sampai saat pandangannya turun ke bibir Sean, detak jantungnya lantas bergemuruh. Daffa terjebak dalam pesona dari bibir merah nan tipis milik Sean.

Daffa ingin mencobanya.

Daffa ingin merasakan bagaimana jika dia melumat lembut bibir di hadapannya.

“Udah, Daf.”

Sean kembali menatap Daffa. Tapi yang dia dapati adalah sorot mata serius pacarnya.

Bukan hanya, Daffa. Tapi Sean juga berakhir terjebak ketika dirinya bertukar pandang dengan pacarnya. Sengatan-sengatan kecil bagai aliran listrik di tubuh pun mulai mengganggunya. Terlebih saat Sean melihat bagaimana Daffa menjilati bibirnya yang tidak kering.

“Yan.”

“Mm?”

Daffa menelan ludah.

“Aku mau cium kamu, boleh?”

Sean mengangguk. Akal sehatnya telah diambil alih oleh hawa nafsu, begitu juga dengan Daffa yang kini telah memeluk pinggangnya.

Kedua anak manusia itu pun mengikis jarak di antara wajah mereka. Masih dengan pandangan yang tertuju ke arah bibir satu sama lain.

Sampai ketika Daffa akhirnya memiringkan wajah dengan kaku, Sean kemudian menutup mata. Hingga gak lama berselang dia bisa merasakan bagaimana bibir Daffa mengecup miliknya.

Tidak mendapatkan kecupan lain dari Daffa membuat Sean lantas membuka mata. Dia lalu mendapati jika pacarnya itu justru kembali sibuk memandangi wajahnya.

Alhasil, Sean berinisiatif mengecup bibir Daffa terlebih dahulu—seperti yang dilakukan pacarnya tadi.

Senyum seketika merekah di bibir keduanya selama beberapa saat sebelum Daffa kembali memiringkan kepala. Bibirnya pun lagi-lagi menyapa milik Sean, tapi kali ini tidak hanya sekedar kecupan. Sebab Daffa sudah mencoba membuka mulutnya lalu mengulum bibir Sean.

Awalnya Sean tidak tau harus merespon seperti apa. Ini pertama kalinya buat dia, begitu pun dengan Daffa.

Sean hanya membiarkan Daffa melumat kaku bibir bawahnya. Tapi setelah menemukan ritmenya, Sean pun membalas lumatan itu. Kedua lengannya pun telah melingkari tengkuk Daffa.

Kedua anak cucu Adam itu pun saling berbagi pagutan lembut. Merasakan manisnya saliva yang seolah menjadi minuman baru mereka.

Baik itu Daffa maupun Sean sama-sama terbuai. Mereka seolah tidak lagi mengingat jika apa yang mereka lakukan ini salah. Bahkan mengingat bahwa dunia tidak ramah kepada mereka pun seakan telah hilang dari isi kepala.

Napas memburu.

Tubuh memanas.

Menimbulkan sensasi yang justru membuat Daffa juga Sean menginginkan lebih.

“Yan,” gumam Daffa setelah menghentikan lumatannya.

“Aku cium kamu sambil duduk di atas ranjang boleh?” dia meminta persetujuan.

“Kaki aku lemes,” katanya.

Sean mengangguk setuju. Sebab dia pun sama. Sejak mereka berciuman, kedua kakinya justru terasa lemas.

Daffa lalu membawa Sean hingga duduk di tepi ranjang. Dan tanpa menunggu lama, dia lantas menarik tengkuk Sean lalu menciumi bibirnya.

Tapi berbeda dari yang sebelumnya, ciuman mereka kali ini tidak lagi lembut. Nafsu telah menguasai Daffa juga Sean. Bahkan Sean nyaris tidak sadar jika dia perlahan merebahkan tubuhnya hingga terlentang. Masih sambil berciuman.

Desahan samar Sean pun menggema saat Daffa tiba-tiba beralih mengecup ceruk lehernya. Dia refleks mendongak, membuat Daffa semakin leluasa untuk menjamah spot itu.

Rasanya gila.

Daffa juga Sean pun semakin ingin yang lebih dari ini.

Sean lalu mencengkeram erat bahu Daffa saat pacarnya itu meraba-raba perutnya. Sementara bibir Daffa kini melumat area tulang selangka nya. Ketika telapak tangan Daffa bergerilya di atas putingnya, Sean lantas membusungkan dada.

“Hhh... Daffa...”

Daffa menghentikan aksinya. Membuat Sean heran. Terlebih ketika pacarnya itu tiba-tiba bangkit dengan raut wajah yang telah pucat.

“Daf—”

“Lu pake baju sekarang ya,” kata Daffa, “Gue tunggu di balkon, mau ngerokok.”

Mulut Sean setengah terbuka, tapi dia justru seketika gak bisa bersuara. Kini yang Sean lakukan hanya memandangi Daffa dari pintu balkon. Pacarnya itu berdiri di sana, membelakanginya. Pun terlihat kepulan asap yang menjadi tanda jika Daffa tengah menyesap rokok.

Semuanya terasa begitu cepat. Sean bahkan baru sadar jika Daffa kembali menggunakan sapaan lu–gue setelah tadi bersikap lembut padanya. Sean kemudian yakin jika ada yang salah.

Dan persekian detik berikutnya, ketika Sean mencoba mengingat kembali, dia lantas menyadarinya.

Sean pun tersenyum miring. Selagi matanya masih menatap sedu ke arah Daffa.