Sean terbangun saat alarm handphone di samping bantal nya berdering. Dia pun seketika merasakan jika pinggangnya masih dipeluk dengan erat oleh Daffa.
Buru-buru Sean melepaskan tautan mereka sebelum bangkit. Dia kemudian menepuk pelan pundak Daffa seraya bergumam.
“Daf, bangun. Udah pagi.”
“Mm.”
“Bangun, entar kita telat.”
Daffa akhirnya membuka mata. Mendapati Sean udah duduk di sampingnya.
Dan ini mejadi kali pertama mereka bertukar tatap setelah semalam sama-sama menyatakan perasaan yang selama ini mereka pendam.
“Lu mandi duluan aja, Yan.”
Daffa masih mengumpulkan serpihan kesadarannya.
“Oke, tapi lu abis ini bangun ya. Jangan tidur lagi.”
“Mm.”
Sean kemudian bangkit dari tempat tidur sebelum mengambil handuk juga seragamnya lalu bergegas ke kamar mandi. Sementara Daffa ikut turun dari ranjang lalu keluar dari kamar.
***
Sean keluar dari kamar mandi dengan seragam lengkap. Dia kemudian mendapati Daffa duduk di tepi ranjang sambil natap handphone nya.
“Mandi buruan,” kata Sean setelah nyamperin Daffa.
“Mm,” Daffa berdiri, “Itu ada sandwich di meja, makan ya.”
Sean melirik ke arah meja yang dimaksud Daffa. Mendapati empat potong sandwich di sana.
“Lu udah, Daf?”
“Buat lu aja,” jawab Daffa, “Maaf ya gue gak tau bikin nasi goreng kayak Mama lu.”
“Eh? Gak apa-apa, Daf.”
“Gue mandi dulu ya.”
“Oke.”
Sean lalu mencuri-curi pandang ke arah Daffa yang berjalan menuju kamar mandi. Setelahnya, dia lantas duduk di sofa lalu melahap sandwich yang disediakan Daffa sembari memakai dasi.
Sampai gak lama berselang, Daffa pun kembali hanya dengan handuk melingkari pinggangnya. Bikin Sean yang semula menoleh buru-buru memalingkan muka ke arah jendela sekaligus pintu balkon.
“Kenapa gak diabisin sandwich nya, Yan? Ga enak?”
“Enak kok,” jawab Sean, “Tapi gue simpen buat lu juga.”
“Gak usah,” kata Daffa sambil mengambil pakaiannya dari lemari, “Makan yang banyak. Abis ini musti ikut upacara.”
“Justru karena abis ini musti ikut upacara makanya gue sisain juga buat lu, Daffa.”
Daffa tersenyum. Tapi Sean yang masih memalingkan muka lantas tidak melihatnya.
“Sisain satu aja, Yan.”
“Ck! Gak usah banyak bacot deh, buruan pake seragam.”
“Ini udah gue pake.”
Sean menoleh, tapi yang dia dapati—Daffa justru masih mengancingkan bajunya. Bikin dia lantas mendengus.
“Cepetan, Daf.”
“Iya, ini bentar lagi kelar.”
“Pake dasi.”
“Mm.”
“Inget topi.”
“Iyaaa.”
Senyum tipis terukir di bibir Sean ketika Daffa mempercepat kegiatannya. Memakai dasi, memasukkan topi ke dalam tas nya.
“Sini cepet sarapan.”
Daffa lagi-lagi menurut. Dia nyamperin Sean di sofa. Ikut duduk di sana sebelum buru-buru melahap satu sandwich.
“Pelan-pelan,” kata Sean, “Entar lu keselek, Daf.”
Daffa mengangguk dengan pipinya yang menggembung.
“Kok lu belum make sepatu?”
“Entar aja di bawah,” jawab Sean lalu menyodorkan air ke Daffa, “Nih, minum.”
“Pake di sini aja, Yan. Gak apa-apa,” kata Daffa sambil meraih air dari Sean, “Entar langsung naik ke motor aja.”
“Gak sopan tau.”
“Gak sopan apanya sih?” kata Daffa setelah menenggak air.
“Mama gue ngomel kalau gue pake sepatunya di kamar.”
“Kalo Bunda ngomelin lu, biar gue yang tanggung jawab.”
Sean mendengus, “Mau tanggung jawab gimana lu?”
“Gak tau sih,” jawab Daffa, “Soal nya gue tau dia gak bakal ngomelin elu, Yan.”
“Dasar,” gumam Sean.
“Cepet pake sepatu lu. Gue juga mau masang sepatu,” kata Daffa, “Lagian sepatu kita masih bersih banget. Abis dicuci kemarin,” katanya.
Pada akhirnya Sean pasrah dan menuruti ucapan Daffa yang udah lebih dahulu memasang sepatunya.
“Mana lelet banget ngiket sepatunya,” cibir Daffa yang udah selesai masang sepatu.
“Sabar anjir.”
“Mau dibantu?”
“Gak.”
Daffa senyum. Sementara matanya gak henti-henti natap wajah serius Sean.
Ketika Sean akhirnya telah selesai mengikat tali sepatunya, dia pun mendongak. Mendapati Daffa lagi natap dia lekat-lekat.
“Sean.”
“Apa?”
Daffa menelan ludah. Terlihat ragu untuk melanjutkan apa yang ingin dia ucapkan.
“Gue...”
“..Boleh nyium pipi lu gak?”
Sean melotot. Dia kaget.
Sementara itu, akal sehat Daffa yang udah kembali lantas bikin dia pengen banget jedotin kepalanya.
Sean kemudian menghindari tatapan Daffa sebelum bergumam, “Kita telat, Daf.”
“Eh iya,” kata Daffa lalu bangkit dari sofa, “Ayo.”
Daffa pun mempersilahkan Sean untuk jalan keluar dari kamar terlebih dahulu. Dia lalu memukul pelan kepala nya sendiri sambil mendesis.
***
Upacara usai. Setiap barisan pun mulai dibubarkan. Tapi Sean lantas dibuat bingung pas Daffa tiba-tiba berlari terlebih dahulu—dan gak langsung masuk ke kelas. Tanpa nunggu dia atau pun bilang pengen ke mana.
Alhasil, Sean pun cuma bisa menghela napas pelan sebelum jalan bareng Radeya juga Gibran ke arah kelas.
Sesampainya di kelas, Sean kemudian duduk di kursinya. Selagi seisi kelas gaduh buat mengutus satu orang untuk ke kantin—guna membeli air minum, Sean lantas meraih handphone nya. Mengetik pesan singkat buat Daffa.
Tapi sebelum Sean menekan opsi kirim pesan, seseorang tiba-tiba nyamperin dia sambil manggil namanya.
“Sean.”
“Loh, Na? Tumben ke sini pagi-pagi,” kata Sean.
Nana senyum malu-malu sebelum menyodorkan paper bag juga sebotol air mineral yang dibawanya. Sementara Sean yang ngeliat itu lantas mengangkat alisnya heran.
“Gue bawa ini buat lu, Yan. Diterima ya?” pinta Nana.
“Cie cie cieee!”
“Asik! Sean dikasih hadiah!”
“Oh, ini pacarnya Sean?”
Seisi kelas semakin gaduh. Seolah kompak ngeledekin Sean. Nana yang berdiri di depan meja Sean pun lantas menunduk malu-malu. Sementara itu, Sean yang masih kaget sekaligus bingung lantas termangu.
Tapi setelahnya, Sean lalu melirik ke arah pintu kelas. Dimana Daffa tengah berdiri di sana sembari membawa dua botol air mineral dingin.
Daffa kemudian masuk ke kelas dan berdiri di depan meja Radeya lalu berucap.
“Nih, minum.”
“Wets! Emang paling ngerti nih temen gue yang satu ini,” kata Radeya, “Makasih, Daf.”
Tanpa merespon ucapan Radeya, Daffa pun berbalik. Kembali berjalan ke luar kelas tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sean yang masih natap dia dengan raut sedu nya.
Dan di sini Daffa sekarang. Berdiri di depan tembok pembatas sambil natap kosong ke arah lapangan di bawah—sebab kelasnya ada pada lantai dua gedung.
Dia masih bisa mendengar bagaiman kegaduhan yang ada di dalam kelas. Sangat jelas jika teman-temannya masih meledek Sean.
Sampai gak lama berselang, kegaduhan itu ditutup dengan teriakan seseorang.
“Sean! Anterin Nana ke depan dong, gimana sih?!”
Saat itu pula Daffa sadar kalau Nana udah keluar dari kelasnya—diantar oleh Sean. Bahkan dia juga mendengar percakapan dua orang yang tidak jauh di belakangnya itu.
“Makasih, Sean.”
“Gak. Seharusnya gue yang bilang makasih,” balas Sean.
“Gue balik ke kelas dulu ya.”
“Oke,” kata Sean. Dia lalu melirik ke arah Daffa yang berdiri memunggungi kelas.
Setelah Nana angkat kaki dari tempat nya, Sean bergegas nyamperin Daffa. Dia menelan ludah lalu berdeham sebelum mulai bersuara.
“Nana ngasih gue paper bag tadi, gak tau isinya apa. Katanya masih buat balas budi pas gue pinjemin hoodie waktu olimpiade kemarin.”
Daffa menghabiskan air mineralnya yang tersisa. Setelahnya, dia lalu menoleh ke Sean dan berkata,
“Lu gak perlu jelasin ke gue, Yan. Gue bukan pacar lu.”
Daffa tersenyum hambar.
“Lu mau deket sama siapa pun, itu hak lu kok.”
“Tapi gue tau perasaan lu,” ucap Sean, “Lu pikir gue se-tega itu?”
“Gue gak apa-apa,” kata Daffa meski rasa ngilu di dadanya justru berkata sebaliknya.
“Sejak awal perasaan gue udah salah, Yan. Apa yang mau gue harepin? Ga ada kan?”
Daffa lalu meremukkan botol plastik di tangannya sebelum membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya, dia kemudian menoleh ke Sean.
“Gak mau masuk ke kelas?”