Seperti yang udah mereka janjikan tempo hari, kini Sean udah sampai di rumah Daffa. Dia kemudian menekan bel di samping pintu sebelum seseorang akhirnya datang dan membukanya lebar-lebar.

“Eh, Sean. Udah sembuh kakinya, Yan?” tanya David.

Sean senyum ke kakak kedua Daffa itu, “Iya, Bang. Udah sejak kemarin-kemarin kok.”

“Syukurlah,” katanya, “Yuk masuk, Yan. Orang-orang lagi pada sarapan di dalem.”

“Duh gue jadi ganggu, Bang.”

“Ya elah, Yan. Lu udah kek orang baru aja. Ayo ikut ke ruang makan,” kata David.

Sean yang sedari tadi mengekor di belakang David hingga saat ini mereka udah sampai di ruang tengah pun lantas senyum lalu berkata,

“Makasih, Bang. Gue nunggu di sini aja,” tolaknya sopan.

“Daffa ada di dalem kok, Yan.”

“Gak apa-apa, Bang. Lanjutin aja sarapan—”

“Daffa capek, Yah!”

Belum sempat ucapan Sean terselesaikan, suara Daffa justru tiba-tiba menggema dari arah ruang makan. Bikin dia sama David refleks saling berbagi tatapan terkejut.

“Ayah selalu ngebiarin Kak Disty sama Bang David buat ngelakuin apa yang mereka suka, sedangkan aku?”

“Gak pernah!”

“Kalo Ayah masih nanya kenapa aku kayak gini, mending Ayah berkaca dulu sama sikap Ayah sendiri.”

“Ayah egois! Ayah gak adil!”

“Apa Ayah pikir dengan selalu dipaksa dan dikontrol kayak gini bisa bikin aku jadi lebih baik? Enggak, Yah!”

David panik mendengar suara tamparan keras dari arah keributan itu menggema. Dia kemudian bergegas ninggalin ruang tengah juga Sean yang udah menahan napasnya.

“Daf! Yah! Udah. Ada Sean di ruang tengah.”

Sean bisa mendengar bagaimana David menenangkan adik juga Ayahnya. Hingga gak lama berselang seseorang yang Sean tunggu lantas datang.

Saat itu pula dada Sean seakan ditimpa dengan sesuatu yang amat berat.

Pasalnya, pipi kanan Daffa telah berwarna merah padam. Sangat jelas kalau di ruang makan tadi dia mendapat tamparan keras dari Ayahnya.

Begitu pun dengan kedua bola matanya yang sarat akan kesedihan. Sean tau, Daffa sedang menahan tangisnya.

Tapi yang bikin Sean gak habis pikir, Daffa justru nyamperin dia sambil senyum lembut. Seolah pengen menyembunyikan fakta kalau dia lagi gak baik-baik aja.

“Kok lu gak naik ke kamar gue, Yan?” tanyanya, “Maaf ya, lu jadi denger gue teriak pagi-pagi.”

Sean gak tau harus merespon dengan apa. Dia masih panik setelah mendengar pertikaian Daffa dan Ayahnya tadi.

Sementara itu, Daffa lantas menepuk pelan pundak Sean.

“Yuk ke kamar gue,” katanya lalu menuntun Sean menaiki tangga menuju kamarnya.

“Gue belum mandi tau. Kirain lu mau berangkat ke sini jam delapan,” sambungnya.

Sean masih diam.

Hingga saat dia dan Daffa akhirnya sampai di dalam kamar cowok berlesung pipi itu, dia lantas bersuara.

“Daf,” panggilnya.

Daffa pun menoleh lalu berdiri tepat di depan Sean.

“Kalo lu gak bisa ke Gramedia hari ini gak apa-apa kok,” kata Sean, “Gue bisa nemenin lu besok atau kapan, sebisa lu.”

Daffa terdiam sejenak. Sementara matanya menatap lurus ke dalam netra gelap Sean yang memandanginya dengan raut sedu.

“Sean, jangan natap gue kayak gitu.”

Sean refleks menunduk. Dia paham, Daffa mungkin udah berpikir kalau dia lagi ngasih tatapan iba bahkan kasihan.

Persekian detik berikutnya Daffa lantas ngusap lembut puncak kepala Sean.

“Lu duduk dulu di sofa atau di tempat tidur gih,” katanya.

“Gue mandi dulu ya.”

Sebelum Daffa berbalik, Sean dengan sigap mencegat lengan sahabatnya itu. Bikin Daffa kembali natap dia.

Tapi sebelum Daffa mengeluarkan suara, Sean lantas menarik lengan cowok berlesung pipi itu hingga jatuh ke dalam dekapannya.

Sean memeluk erat tengkuk Daffa. Sesekali mengusap belakang kepala sahabatnya lalu bergumam lirih.

“Gak apa-apa, Daf.”

Pertahanan Daffa seketika runtuh. Tangisnya pecah. Bersamaan dengan kedua lengannya yang melingkar erat pada pinggang Sean.

“Jangan pergi, Yan.”

Sean mengangguk pelan.

“Gue di sini, Daf.”

Daffa sesenggukan sebelum menenggelamkan wajah sembabnya di pundak Sean.