Malam semakin larut, tapi kedua mata Sean masih aja belum bisa terpejam. Entah kenapa dia merasa gelisah. Terlebih saat mengingat kalimat yang diucapkan Daffa padanya beberapa jam silam.

“Gue gak mau pisah sama lu, Yan.”

Untaian kata itu mengusik relung hati Sean. Sebab saat mereka benar-benar telah berpisah nanti, Sean gak cuma kehilangan sahabatnya tapi juga sosok yang udah bikin sesuatu di dalam benak nya kacau hingga menyalahi kodrat yang telah ada.

Tiba-tiba saja timbul di pikiran Sean—kalau nanti Daffa pergi, mungkin kah perasaan yang salah di dalam hatinya itu juga ikut pergi?

Sejenak Sean menatap wajah damai Daffa yang udah terlelap sedari tadi. Berharap akal sehatnya bisa menampik jika pemuda di sampingnya ini bukan lah sosok yang membuatnya jatuh hati.

Tapi semakin lama Sean memandangi wajah Daffa, justru hanya rasa sakit yang dirasakan nya. Sebab Sean harus kembali disadarkan oleh sebuah fakta bahwa hatinya telah dicuri oleh sosok yang tidak patut bahkan mustahil untuk bersanding dengannya nanti.

“Maafin gue, Daf.”

Sean meminta maaf atas rasa yang amat salah di hati nya.

“Gue juga janji gak bakal bikin lu malu karena temenan sama cowok kayak gue,” lirihnya.

Sean mengulum bibir saat Daffa tiba-tiba melenguh lalu bergerak pelan. Mengubah posisi nya yang semula tidur terlentang menjadi berbaring menyamping—hingga keduanya saling berhadapan.

Mata Daffa masih terpejam. Deru napasnya amat tenang. Membuat Sean sangat ingin membelai wajah sahabatnya.

Namun baru saja tangan Sean terangkat guna menyentuh pipi Daffa, dia lantas mengurungkan niat. Sean gak mau terus-terusan menuruti kata hatinya untuk sesuatu hal yang jelas sangat salah.

Alhasil, Sean pun ikut mengubah posisi—berbaring menyamping, tapi kali ini dia membelakangi Daffa lalu mencoba memejamkan mata.

Sementara itu, Daffa yang terusik saat merasakan pergerakan di sampingnya perlahan membuka mata. Dia pun refleks tersenyum tipis ketika mendapati Sean berbaring membelakanginya. Begitu dekat, hingga membuat Daffa bisa mencium aroma manis dari tubuh Sean.

Sejenak Daffa mengangkat kepala hingga mendapati jika Sean tidur dengan tenang, pikirnya. Setelahnya, Daffa kembali mendaratkan kepala di atas bantal. Bersamaan dengan helaan napasnya.

Daffa pun mencoba untuk kembali melanjutkan tidur nya. Dia memejamkan mata dan berharap alam bawah sadar datang menjemputnya.

Sayangnya, Daffa justru tidak bisa. Alhasil, dia kembali membuka mata hingga memandangi punggung Sean.

Untuk beberapa saat, Daffa termenung. Tiba-tiba timbul sebuah pertanyaan di dalam benaknya yang membuat dadanya justru terasa sesak.

Bagaimana jika nanti Sean telah memiliki orang lain yang menjadi prioritas nya?

Daffa paham akan posisinya.

Daffa tidak berhak untuk menahan Sean agar selalu berada di sisinya.

Tapi saat ini Daffa bahkan tidak bisa membayangkannya.

Membayangkan bagaimana jika nanti Sean tak lagi bisa berada di sisinya seperti sekarang dengan leluasa.

Menelan ludahnya sekuat tenaga, Daffa kemudian mengepalkan tangan kanan nya. Mencoba menahan hasrat agar isi di dalam kepalanya tidak diproses oleh anggota tubuh nya.

Sayangnya, Daffa tidak bisa. Sebab kini satu tangannya bergerak secara perlahan, menyentuh pinggang Sean. Ia mendekap Sean dari belakang dengan penuh kehati-hatian.

Sementara itu, Sean yang sedari tadi belum mampu berlabuh ke alam mimpinya lantas membuka mata saat merasakan pinggang nya dipeluk oleh Daffa. Dia pun bisa merasakan bagaimana pergerakan kaku sahabatnya.

Membuat Sean berasumsi jika Daffa telah terbangun.

Ada rasa takut juga ragu dibalik dada Sean, namun pada akhir nya dia berusaha untuk memberanikan diri.

“Daf,” gumamnya.

Daffa yang mendengar suara pelan Sean dengan jelas lantas terkejut dalam diam. Tubuhnya membeku. Dia bingung harus pura-pura tidur saja, atau menyahut.

Tak mendapat respon dari Daffa, Sean kembali berucap.

“Kalo orang lain ngeliat lu meluk gue kayak gini, mereka pasti bilang kalau kita aneh.”

Dada Daffa sakit.

“Menurut lu gimana, Daf?”

“Maaf, Yan.”

Daffa hendak melepaskan dekapannya, tapi Sean justru tiba-tiba menahan lengannya.

“Kenapa lu minta maaf?”

Tenggorokan Sean sakit. Suaranya pun seketika berubah menjadi parau.

“Gue bikin lu gak nyaman.”

“Emang tadi gue bilang kalau gue gak nyaman?”

Daffa menahan napas.

“Gue cuma nanya, gimana menurut lu.” kata Sean.

“Menurut lu aneh gak kalau dua orang cowok pelukan kayak gini, Daf?” timpalnya.

Daffa mengigit bibir bawahnya sejenak. Matanya seketika memanas, berbanding terbalik dengan kedua telapak tangannya yang seperti bekuan es.

“Maaf, Yan.”

“Kenapa lu minta maaf lagi sih? Gue nanya, Daf. Jawab.”

“Gue gak mau lu pergi, Yan.”

“Siapa juga yang mau pergi tengah malam gini?”

“Gue sayang sama lu.”

Sean menahan napas. Bersamaan dengan setetes cairan asin yang jatuh dari sudut mata nya.

“Maaf, Yan. Maafin gue.”

“Gue yang aneh,” kata Daffa diikuti isakan pelan, “Maaf.”

Sean mengulum bibirnya rapat-rapat. Berusaha menahan isakan agar tidak ikut terbebas seperti Daffa.

Tapi gagal.

Pada akhirnya Sean ikut menangis hingga bahunya bergetar. Masih dengan lengan Daffa di pinggangnya.

“Ini salah, Daf.”

“Iya, gue salah.”

“Gue juga sayang sama lu,” tutur Sean, “Tapi ini salah.”

Bantal di bawah kepala Sean telah basah karena air mata. Begitu pun dengan milik Daffa yang kini tengah mencerna penuturan Sean.

“Awalnya gue pikir perasaan gue ini sebatas rasa nyaman karena lu sama gue udah temenan lama,” sambungnya.

“Tapi hari itu... Pas Radeya bilang kalo lu udah punya pacar... Gue sedih, Daf.”

“Hati gue sakit banget,” jelasnya, “Dari situ juga gue sadar kalo gue udah nyimpen perasaan yang salah ke lu.”

“Gue juga sama, Yan.”

Daffa mencoba membendung tangisnya, “Tiap kali lu diledekin sama Nana, gue kesel. Gue juga sedih kalau Nana selalu datang lebih awal buat bantuin lu,” jelasnya.

“Bahkan gue ngerasa gak rela pas liat lu ketawa karena dia.”

Daffa lalu menarik napasnya dalam-dalam sambil mengeratkan pelukannya pada pinggang Sean.

“Gue tau ini salah. Gue juga udah nyoba buat ngilangin perasaan gue ke lu,” lirihnya.

“Tapi gue gak tau kapan perasaan gue bisa ilang, Yan.”

Sean memejamkan mata nya. Tak ingin lagi melanjutkan percakapan mereka yang justru hanya membuat dadanya semakin sakit.

“Gue ngantuk, Daf.”

Sean bergumam lirih.

“Mm, lu tidur sekarang ya.”

“Mhm.”