Wanita paruh baya yang kerap disapa Ibu Anita telah duduk di kursi guru. Pengampu mata pelajaran fisika itu mulai membuka suara sebelum akhirnya menyinggung perihal hasil ulangan harian siswa dan siswi di kelas IPA-4.
“Hasil ulangan kemarin di luar ekspektasi saya,” kata si wanita paruh baya, “Saya kira di kelas ini cuma satu dua orang saja yang remedial.”
“Tapi justru cuma tiga orang yang berhasil lolos,” jelasnya.
Sean mendadak gelisah saat tatapan Ibu Anita kemudian tertuju ke arah Daffa.
“Daffa salah satunya.”
Napas Sean tertahan sejenak sebelum ia melirik Daffa.
“Gimana ulangan kemarin, Daf?”
“Alhamdulillah bikin puyeng, Bu.”
Seisi kelas tergelak atas jawaban Daffa. Tapi tidak dengan Sean yang justru waspada jika setelah ini Ibu Anita akan mengatakan hal yang dia beritahukan ke Radeya kemarin.
“Bikin puyeng apanya? Gampang gitu kok soalnya,” ucap Ibu Anita lagi.
“Soalnya emang gampang, Bu. Tapi jawabannya yang susah.”
Sekali lagi Daffa menjawab. Dan saat itu pula Sean bisa melihat kalau si wanita paruh baya di depan kelas senyum, hanya saja dengan raut ragu.
“Tapi kamu dapet nilai tujuh puluh lima loh ini.”
Ibu Anita lalu mengambil lembar jawaban Daffa. Setelahnya, dia kemudian melirik ke arah Sean.
“Apa dibantu sama Sean?”
Sean gak suka dengan suasana seperti ini. Dimana semua mata tertuju padanya juga Daffa, menatap mereka seperti pelaku kriminal yang baru saja tertangkap basah.
“Kamu ngasih liat nomor berapa aja ke Daffa, Yan?”
Sean tau, pertanyaan itu bukan candaan melainkan sarkasme yang nyata.
Sementara itu, pertanyaan Ibu Anita ke Sean bikin Daffa berang. Dia gak masalah kalau aja dirinya dituduh menyontek, tapi melihat Sean justru terkesan disudutkan lantas memicu rasa panas di dadanya. Daffa gak terima.
“Saya gak ngasih liat satu nomor pun, Bu.” jawab Sean.
Ibu Anita lagi-lagi tersenyum. Kali ini dengan tampang remeh yang bisa Sean baca.
“Oke, kalau gitu sekarang kita bahas soal ulangan kemarin dulu sebelum lanjut ke pokok bahasan berikutnya ya.”
Si wanita paruh baya kemudian menatap Daffa.
“Daffa, kerjakan nomor satu dan dua di papan tulis lalu jelaskan hasilnya dari mana.”
Ibu Anita melirik lembar jawaban Daffa sejenak sebelum kembali bersuara.
“Saya nih belum menginput nilai kamu, Daf. Saya mau melihat dulu apa jawaban kamu kemarin benar-benar hasil kerja kamu sendiri atau justru nyontek punya Sean. Bisa kan?”
“Bisa, Bu.”
“Kalau ternyata jawaban kamu nanti gak sesuai sama apa yang ada di lembar jawaban ini, gak apa-apa kan kalau kamu ikut remedial dan nilai Sean saya kurangi?”
Daffa mengeraskan rahang sebelum bilang, “Iya, Bu.”
Sean menghela napas. Matanya menatap Daffa yang kini udah berdiri dan bersiap ke depan kelas—tepatnya di depan papan tulis.
Dalam hati Sean berdoa semoga Daffa gak dipersulit oleh Ibu Anita. Dia yakin sama kemampuan yang dimiliki Daffa. Dia yakin Daffa pasti bisa.
Dan benar saja, Daffa menulis penyelesaian soal di white board dengan begitu tenang. Jawaban yang terpampang di sana pun tertata, sebagaimana mestinya.
Sampai gak lama berselang Daffa berhasil menyelesaikan dua nomor soal yang tadi diperintahkan oleh Ibu Anita. Setelahnya dia kemudian membalikkan badan, menatap teman-temannya yang masih terpaku dengan jawabannya.
Ketika tatapan Daffa bertemu dengan Sean, dia bisa melihat sahabatnya itu tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Seolah memberitahu kalau dia bisa menjelaskannya.
Sejenak Daffa menarik napas sebelum melirik Ibu Anita. Ia lalu kembali melirik ke papan tulis sebelum menjelaskan penurunan rumus hingga pada tahap hasil akhirnya.
Jelas, aksi Daffa itu bikin seisi kelas termangu. Sangat heran melihat siswa yang dikenal malas itu justru bisa menjelaskannya dengan baik.
Gak terkecuali Ibu Anita yang tadinya udah siap mencoret nilai di lembar jawaban Daffa.
“Begitu penjelasan saya, Bu.”
Setelah mendengar kalimat akhir yang diucapkan Daffa, Sean lantas bertepuk tangan keras. Bukan karena nilainya gak dikurangi, tapi karena dia bangga melihat sahabatnya.
Sekaligus sosok yang amat dicintainya dan ingin dia jaga.
“Oke, jawabannya saya terima.” kata Ibu Anita, “Silakan kembali ke tempat duduk kamu, Daffa.”
“Daffa! Lo keren!”
Teriak Gibran yang juga ikut bertepuk tangan keras diikuti semua teman kelasnya.
“Saya izin ke luar sebentar ya. Mau jawab telepon penting.”
Pamit Ibu Anita setelahnya, sebab handphone berdering.
Sementara itu, Daffa yang udah duduk di samping Sean lantas menghela napas lega. Tapi gak lama berselang dia justru dibuat kaget. Sebab tangannya yang berada di bawah meja tiba-tiba saja digenggam oleh sahabatnya.
“Gue selalu bangga sama lu.”
Gumaman Sean hampir menyerupai bisikan, tapi masih bisa Daffa dengar. Dia lalu tersenyum tipis ke arah Sean sebelum mengangguk.
“Ngapain lu berdua pake pegang-pegang tangan gitu?”
Sean dan Daffa kaget. Keduanya sama-sama gak sadar kalau Gibran tengah memergoki mereka berdua.
Ditambah lagi suaranya yang bisa dibilang cukup lantang. Bikin beberapa siswa melirik penasaran ke arah mereka.
“Emang kenapa sih? Tangan lu mau gue pegang juga?”
Sean menyela dengan nada candaan lalu melepas tautan jemarinya dengan Daffa.
“Ogah,” kata Gibran, “Kek homo aja pegang-pegang.”
Dan pada detik itu juga, sesuatu di balik dada Daffa juga Sean yang mendengar nya hancur lebur seketika.