Gak ada balasan dari Sean.

Daffa cuma bisa memandangi chat terakhir yang dia kirim ke sahabatnya itu. Ia lalu melempar handphone asal di atas tempat tidurnya sebelum merebahkan tubuh di sana.

Lagi pula Sean harus nge-balas gimana? Batinnya.

Mereka gak pacaran. Rasa di antara keduanya pun sudah jelas sangat salah. Jadi Daffa gak punya hak buat cemburu.

Tapi kenapa rasanya sakit?

Melihat bagaimana perhatian Sean tercurah ke orang lain; khususnya Nana yang sangat jelas menyimpan rasa ke sahabatnya itu membuat dada Daffa sesak. Dia gelisah.

Sejenak Daffa mengatur deru napasnya lalu menutup mata. Dia lelah, gak cuma fisik dan pikiran tapi juga hatinya.

Sampai gak lama berselang, Daffa berakhir ketiduran.

Sekitar lima puluh menit semenjak Daffa tertidur pulas, seseorang lantas masuk ke dalam kamarnya. Duduk di tepi ranjang lalu mengusap pelan kepala Daffa.

Sentuhan itu pun membuat sang empu kamar terusik. Lalu saat membuka mata secara perlahan, Daffa seketika mendapati Sean.

“Kata Bang David lu belum makan siang,” ucap Sean.

“Ke bawah gih, gue bawain ayam rica-rica tadi. Bang David udah makan duluan.”

“Entaran.”

Daffa bergumam sebelum mengubah posisi menjadi berbaring menyamping, membelakangi Sean.

“Ya udah, kalo lu ga mau diganggu. Gue pulang aja.”

Sean berdiri. Kakinya pun telah melangkah sejengkal, tapi harus terhenti ketika lengannya tiba-tiba ditahan oleh Daffa. Sahabatnya itu udah duduk di tepi ranjang.

Persekian detik berikutnya, Sean dibuat kaget pas Daffa menarik lengannya. Bikin dia kembali mendekat ke tempat tidur—tepat di depan Daffa.

Dan pada detik itu juga Daffa beralih melingkarkan kedua lengan di pinggangnya. Daffa memeluk lalu menyandarkan kepala di perut ratanya.

“Jangan pulang, Yan.”

Daffa bergumam. Ia kemudian mendongak, menatap Sean.

“Jangan pergi.”

“Makanya jangan ngambek kalo gak mau gue pulang.”

“Gue gak ngambek.”

“Terus kenapa muka lu cemberut kek gini? Tadi juga lu madep belakang pas liat gue dateng,” Sean ngomel.

Sean lalu menepuk pundak Daffa, “Dah, cuci muka lu gih. Abis ini ke ruang makan.”

“Mm.”

***

Daffa dan Sean kini berjalan beriringan menuruni tangga hingga sampai di lantai dasar. Keduanya hendak meneruskan langkah ke ruang makan, tapi terhenti pas ketemu David.

“Yan, makasih banyak ya. Enak banget ayamnya.”

“Sama-sama, Bang.”

David lalu beralih natap adiknya, “Daf, lu sama Sean jagain rumah ya. Gue mau ke luar bentar, kalo Bunda nanya bilang aja ketemu temennya.”

“Mm.”

Daffa cuma menjawab dengan gumaman sebelum ngajak Sean segera ke ruang makan. Sementara David lantas melenggang ke luar rumah.

“Emang mama lu bikin banyak, Yan?”

Daffa udah duduk di depan nasi juga lauk yang dibawa Sean dari rumahnya.

“Iya, banyak. Mana yang makan pedes di rumah gue cuma Mama sama Ibra.”

Daffa mengangguk paham. Dia lalu tersenyum sebelum meraih handphone nya, membuka kamera dan bilang,

“Yan, liat ke kamera.”

“Lu mau ngapain?”

“Mau pamer kalo abis dibawain lauk sama lu.”

Sean mendengus, “Jangan.”

“Kalo lu mau pamer, foto aja lauknya. Terus gak usah bilang kalo itu dari gue.”

Senyum di bibir Daffa seketika luntur. Pundaknya yang semula berdiri tegak pun perlahan melemas.

Sean yang menyadari hal itu lantas menghela napasnya.

“Daf...”

“Risih banget ya kalo sering dibilang—kek homo?”

“Enggak gitu,” jawab Sean.

“Tapi kalo orang lain ngeliat gue bawain lu lauk kayak gini, mereka bisa aja curiga.”

“Apalagi Radeya sama Gibran. Gue gak pernah bawain mereka lauk kek gini. Padahal kalo dipikir mereka sahabat gue juga kan, kayak elu.”

“Lu mau mereka tau kalo—”

“Apa yang aneh sih dari bawain temen lu makanan?”

“Tadi Bang David bilang sesuatu pas ngeliat lu bawa lauk ini?” timpal Daffa.

“Bang David beda, Daf. Dia udah biasa liat gue bawa makanan ke rumah lu karena Bunda kalian jarang masak.”

Sean menarik napas sejenak.

“Daf, mungkin menurut lu gak aneh. Tapi kita gak tau apa yang dipikirin orang lain.”

“Sekarang kita harus sadar kalo pertemanan di antara cowok gak se-intim ini.”

“Dan kita beda,” lirih Sean.

Daffa diam. Tatapannya kosong.

“Lu ngerti gak sih maksud gue?” Sean nautin alis kesal.

“Ini bukan cuma buat gue, Daffa. Tapi buat lu juga.”

“Iya, ngerti.”

“Sampe lu ngambek lagi, gue beneran pulang sekarang.”

“Siapa yang ngambek sih?”

Daffa memalingkan wajahnya dari Sean sebelum mulai melahap nasi dan lauknya.

Ayam rica-rica bikinan Mama Sean enak, sesuai seleranya yang suka makanan pedas.

Tapi rasa sesak di dadanya justru bikin Daffa gak berselera buat makan.

“Kalo gak enak, gak usah dimakan. Emang gue maksa lu buat makan itu?”

Nada bicara Sean terdengar kesal di telinga Daffa. Bikin dia berhenti makan sejenak sebelum noleh ke sahabatnya.

“Gue sedih, Sean.”

“Gue sedih karena cuma bisa ngeliat orang yang gue suka dideketin sama orang lain...”

“Gue gak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk bilang ke dunia kalo gue juga suka sama lu aja, gue gak bisa.”

“Terus sekarang, ketika gue cuma pengen ngabisin waktu berdua sama lu, kita harus sembunyi-sembunyi gini.”

“Apa gue gak boleh sedih?”

Mulut Sean setengah terbuka. Kedua matanya pun menatap Daffa dengan raut gak terima.

“Lu pikir gue gak sedih, Daf?”

Nada suara Sean sedikit meninggi. Napasnya pun mulai tak beraturan.

“Bukan cuma lu. Gue juga.”

“Terus siapa yang mau lu salahin? Tuhan?” timpalnya.

Sean menggeleng lemah.

“Kita yang salah, Daf.”

“Kita yang salah karena mencintai hal yang gak seharusnya kita cintai.”

“Makanya kita juga harus siap buat ngerasa sedih bahkan sakit. Karena kita yang salah.”

Mata Sean lantas memanas. Suaranya tiba-tiba bergetar.

“Kalo lu gak mau tersiksa karena ngerasa sedih...”

“Berhenti suka sama gue.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Sean berdiri dari kursi.

“Gue pulang,” katanya lalu berjalan meninggalkan Daffa.