Hari udah sore. Daffa dan Sean yang tadi juga udah istirahat sejenak dengan tidur siang pun kini siap-siap buat jalan di sekitar area villa. Sekaligus buat ngeliat matahari terbenam nantinya.

“Kok gue lupa bawa bola ya,” kata Daffa yang kini jalan berdampingan dengan Sean.

Keduanya berjalan kaki meninggalkan room villa. Gak cuma mereka, beberapa tamu pun cukup banyak yang berlalu lalang. Sekedar untuk mencari udara segar, atau memboyong anak-anaknya ke lapangan serba guna yang tersedia di lingkungan villa.

“Lu sehari aja gak main futsal keknya sengsara banget ye.”

Penuturan Sean bikin Daffa terkekeh. Ia lalu merangkul pundak sahabatnya itu, natap Sean dari samping sejenak sebelum berucap.

“Tapi gue lebih sengsara kalo sehari aja gak ngeliat lu, Yan.”

Sean berpura-pura mual. Tapi setelahnya mereka tertawa.

Gak lama berselang, atensi Daffa pun lantas beralih ke arah benda yang jatuh gak jauh dari kakinya. Satu airpod berwarna putih yang Daffa duga adalah milik pejalan kaki perempuan di depan sana.

“Eh, ini punya cewek yang di depan sana gak sih, Yan?”

Sean mengangkat pundak, “Gak tau, gue gak liat tadi.”

“Kita tanyain dulu. Kali aja bener punya dia. Barang mahal nih,” tutur Daffa.

Mengangguk paham, Sean pun mengikuti langkah kaki Daffa. Mereka berdua lantas nyamperin perempuan berambut hitam sebahu itu. Dengan Daffa yang memulai percakapan mereka.

“Permisi, Kak. Ini airpod punya kakaknya bukan?”

Perempuan di samping Daffa lantas melotot lalu merogoh saku hoodie nya. Mendapati kalau airpod nya di sana hanya sebelah saja.

“Wah, iya. Itu punya saya.”

“Ini, Kak.”

“Makasih ya,” ucap perempuan tadi sambil meraih airpod nya yang disodorkan Daffa.

“Kalian tamu di villa sini?”

Daffa mengangguk, “Iya.”

“Dari Jakarta bukan?”

“Iya.”

“Sama dong,” perempuan tadi tersenyum ramah, “Kenalin, nama gue Kaila. Kalian?”

Daffa berdeham, “Gue Daffa, yang di samping gue Sean.”

“Oh,” Kaila mengangguk, “Kalian mau jalan ke mana?”

“Ke gazebo,” jawab Daffa.

“Ya udah kita bareng aja, gue juga mau ke sana sekarang.”

Daffa melirik ke arah Sean yang sedari tadi terdiam. Dia lalu menepuk punggung sahabatnya pelan itu sebelum kembali melanjutkan langkah, dengan Kaila bersama mereka.

Selama dalam perjalanan menuju gazebo villa, mood Sean jadi berantakan. Pasalnya, cewek bernama Kaila itu gak henti-hentinya berceloteh, bikin dia gak punya kesempatan buat ngobrol bareng Daffa.

Sean mendengar semuanya. Dia mendengar kalau Kaila itu satu tahun lebih tua dari mereka; dia dan Daffa. Sean juga mendengar kalau Kaila calon mahasiswa baru di kampus tempat Bunda Daffa mengajar. Tapi dia sama sekali gak tertarik bergabung dalam percakapan itu.

Alhasil, sebelum sampai di tempat tujuan, Sean berkata, “Daf, gue mau ke taman. Kek nya view di sana lebih bagus.”

Tanpa mendengar respon dari Daffa—juga berpamitan ke cewek bernama Kaila itu, Sean pun berbalik. Dia pergi ninggalin Daffa yang diam-diam mengulum senyum nya.

***

Setelah bertanya ke penjaga villa, akhirnya Sean sampai juga ke taman di area bukit yang berhadapan langsung dengan view pegunungan. Dia lalu duduk pada bangku yang ada di sana. Mengatur napas sambil sesekali ngecek hp.

Gak ada chat dari Daffa. Sahabatnya itu juga gak ngejar dia pas pergi tadi.

Ngeselin, batinnya.

Tapi gak lama berselang, Sean justru dibuat kaget pas pipi nya dihinggapi dengan sesuatu yang dingin. Pas noleh, dia mendapati Daffa udah berdiri di belakangnya. Senyum tipis sambil megang dua buah minuman kaleng.

“Tadi kita lupa bawa minum,” kata Daffa sebelum duduk di samping Sean, “Jadi gue balik ke kamar dulu, ngambil ini.”

“Gue gak nanya,” ketus Sean sebelum membuka minuman nya. Menenggaknya, seolah udah gak ada lagi hari esok.

“Kok marah-marah sih?”

Daffa ketawa kecil sambil mencubit gemas pipi Sean.

“Siapa juga yang marah.”

“Tapi muka lu kusut gitu.”

“Ya karena gue capek, abis jalan naik tangga ke sini.”

Daffa mengulum bibirnya lalu mengangguk. Dia kemudian mengatur lensa dari kamera yang dibawanya sebelum mengarahkannya ke Sean.

“Yan.”

Sean menoleh. Saat itu juga suara jepretan kamera menggema. Bikin Daffa seketika senyum ngeliat hasilnya.

“Ish! Apa-apaan? Gue belum siap,” protes Sean.

“Tapi bagus kok hasilnya.”

“Mana? Coba liat.”

Daffa senyum. Dia lalu menggeser bokongnya sampai jarak duduknya dengan Sean kian menipis.

“Nih, bagus kan?”

Sean senyum, “Mhm.”

“Bagus buat di hapus,” kata Daffa yang bikin Sean natap sinis sebelum ninju bahunya. Tapi dia justru ketawa.

“Canda, Yan.”

Sean cuma nahan senyum nya sebelum kembali musatin atensi ke arah pegunungan. Begitu pun dengan Daffa yang udah memotret spot itu.

“Lu mau liat sunset di sini?”

Sean menoleh. Mendapati Daffa lagi natap wajahnya.

“Gak. Gue pengen ke tempat yang kemarin lu kirim fotonya pas lagi nyari villa.”

“Ya udah, kita ke sana sekarang. Keburu sore banget.”

Sean mengangguk setuju sebelum bangkit dari bangku. Mereka kemudian berjalan beriringan meninggalkan taman, menuju tempat berikutnya.

Beruntung Daffa dan Sean bisa sampai ke tempat yang dimaksud Sean tadi sebelum matahari terbenam. Kini keduanya udah berdiri di atas area bukit, dimana terdapat gazebo juga dua ayunan besi.

Tapi baik itu Daffa maupun Sean sama-sama memilih untuk berdiri di tepi tempat yang cukup tinggi itu. Mereka terpaku pada cahaya jingga yang sebentar lagi akan menjemput malam.

“Indah banget ya,” gumam Sean.

Daffa menoleh. Tersenyum melihat bagaimana tatapan memuja Sean pada senja.

“Iya. Indah banget.”

Dan kini, Daffa lah yang menatap Sean dengan tatapan memujanya. Sebab Sean benar-benar indah di matanya.

Sementara itu, Sean yang merasa jika udara sejuk perlahan berubah menjadi dingin menusuk lantas memeluk tubuhnya sendiri. Masih dengan pandangannya yang tertuju ke arah senja. Tapi sesaat setelahnya, Sean justru dibuat melotot ketika Daffa tiba-tiba ikut memeluk tubuhnya dari belakang.

“Daf, lu ngapain anjir?”

Sean mendesis lalu menatap khawatir ke arah lain sesaat.

“Kalo ada yang liat gimana?”

“Gak ada,” gumam Daffa.

Dia senyum tipis sebelum menyandarkan dagu nya di pundak Sean sejenak.

“Cuma ada kita di sini, Yan.”

“Ya tapi lu ngapain meluk gue?”

Daffa terkekeh. Dia lalu menunduk, sementara Sean mendongak. Alhasil tatapan mereka seketika berjumpa.

“Emang gak boleh apa meluk pacar sendiri?”

Sean mati-matian menahan gejolak di balik dadanya saat mendengar penuturan Daffa.

“Gue bukan pacar lu,” gumam Sean sebelum membuang pandangan ke arah depan.

“Terus kita apa?”

Daffa kembali menyandarkan dagunya di atas pundak Sean.

“Kita udah tau tau kalo kita saling suka. Kita juga sering cemburu kalo salah satu dari kita deket sama orang lain,” jelasnya, “Gak ada dua orang sahabat yang kayak kita, Yan.”

Sean menahan senyumnya, “Tapi lu gak pernah nembak gue, atau minimal bilang kalo lu pengen jadi pacar gue.”

“Emang itu perlu?” sela Daffa lalu ketawa kecil, “Kirain mau langsung dijalanin aja.”

Sean mendengus. Setelahnya dia lantas menyandarkan kepalanya di kepala Daffa.

“Daf.”

“Mm?”

“Kita bakal tetep kayak gini kan?” tanya Sean lirih.

Daffa memejamkan matanya sejenak. Bersamaan dengan kedua lengannya yang semakin memeluk Sean dengan begitu erat.

“Iya. Kita bakal tetep kayak gini,” tuturnya, “Perasaan gue ke lu bakal tetep kayak gini selamanya, Sean.”

Sean memaksakan senyum. Dia gak mampu lagi untuk bersuara. Matanya pun udah terasa panas. Alhasil, Sean lantas memejamkan mata. Menikmati kehangatan yang diberikan Daffa untuknya.

Tapi seberapa kuat Sean untuk menahan tangisnya, dia justru berakhir kalah. Sebab setetes air mata justru tiba-tiba menjatuhi pipinya.

“Yan, udah gelap.”

Sean kembali membuka mata saat Daffa berbisik di telinga.

“Kita balik ke villa ya?”

“Mm.”

Sean bergumam setuju sembari melepaskan tautan lengan Daffa dari tubuhnya. Dia lalu memutuskan untuk berjalan mendahului Daffa sembari menyeka pipinya.

Meski Sean tau, Daffa mungkin udah melihatnya. Melihat kalau dia menangis dalam diam.

“Sean!”

Pekikan Daffa menghentikan langkah Sean. Dia kemudian menoleh. Mendapati cowok berlesung pipi itu masih berada di anak tangga paling atas menuju tempat tadi.

“Apa?”

“Aku pengen jadi pacar kamu. Boleh?” tanya Daffa lantang.

Sean mengulum senyumnya. Tanpa mengatakan apa-apa dia lantas berbalik, kembali melanjutkan langkahnya. Sementara itu Daffa seketika bergegas menuruni tangga lalu mengejar Sean.

“Kok gak dijawab?”

Tanya Daffa lagi saat dia udah berhasil menyamai langkah Sean sembari merangkulnya.

“Emang masih perlu dijawab?” Sean melirik Daffa dengan tatapan meledek, “Kirain mau langsung dijalanin aja.”

Keduanya lantas terkekeh pelan lalu menyusuri jalanan yang telah diterangi dengan lampu tiang.