Sudah jam pulang sekolah. Para siswa dan siswi pun perlahan mulai keluar dari kelas masing-masing. Gak terkecuali dengan Daffa juga Sean yang kini berjalan beriringan keluar dari kelas, menuruni tangga hingga akhirnya sampai di parkiran.

Gibran dan Radeya tidak ikut bersama Sean juga Daffa. Sebab keduanya harus tinggal di kelas guna membicarakan perihal presentasi kelompok mereka untuk esok hari.

“Ada tugas buat besok gak sih, Yan?” tanya Daffa.

“Gak ada sih seingat gue.”

“Jadi abis ini lu di rumah aja?”

“Iya,” Sean menjatuhkan pundak, “Sendiri lagi tapi.”

“Ibra ke mana?”

“Ada les di sekolah.”

“Oh.”

Daffa berpikir sejenak sambil memasangkan helm di kepala Sean. Bikin yang diperlakukan demikian refleks melotot.

“Daf, orang-orang ngeliatin kita.” gumam Sean lirih.

“Kenapa?” Daffa terkekeh, “Gak suka dibilang homo ya?”

“Daffa.”

“Candaaa.”

Daffa menipiskan bibirnya sambil mengaitkan tali helm di bawah dagu Sean.

“Helm yang ini rada-rada, lu liat sendiri kan tadi pagi?”

Daffa decakin lidah, “Udah mau diganti sama yang baru.”

Sean menghela napas. Dia sama sekali keberatan atau pun menolak perlakuan Daffa.

Hanya saja dirinya takut.

Takut jika tingkah mereka berdua sangat terbaca.

Takut jika seseorang akhirnya tahu bahwa mereka saling mendamba, namun itu salah.

“Mau ikut ke rumah gue gak?”

Sean mengangkat alisnya. Bersamaan dengan Daffa yang udah duduk di atas motor setelah memakaikan helm untuknya.

“Gue juga sendiri di rumah,” sambung Daffa.

“Mau ngapain di rumah lu?”

“Pacaran.”

Sean mukul punggung Daffa sebelum naik ke atas motor sahabatnya yang udah nyala. Sementara Daffa ketawa.

“Mau gak?”

“Ya udah.”

“Mau atau enggak, Sean?”

“Mau, Daffa.”

Daffa senyum melihat raut kesal juga gemas di wajah Sean. Setelahnya dia pun menancap gas motornya, meninggalkan area sekolah.

***

“Nih, pake.”

Sean menautkan alis. Memandangi pakaian yang saat ini ada di hadapannya.

“Daf, kok lu ngasih gue baju sama celana yang masih ada labelnya gini?” Gak pernah lu pake?” tanya Sean heran.

“Gak. Itu emang buat lu.”

“Hah?”

Daffa berdecak, “Udah cepet dipake. Gue tunggu di bawah. Abang yang nganterin makanan udah di depan.”

Pada akhirnya Sean cuma bisa mengangguk pasrah. Meski sebenarnya dia gak tau kenapa Daffa tiba-tiba ngasih dia pakaian di tangannya ini.

***

Selepas makan siang, Sean lantas duduk sejenak di sofa ruang tengah rumah Daffa. Sementara sahabatnya itu justru kembali ke kamar untuk mengambil sesuatu yang Sean pun gak tau apa.

Sampai gak lama berselang, Daffa akhirnya kembali. Nyamperin dia sambil bawa kamera DSLR kesayangannya.

“Kekenyangan lu?”

Daffa terkekeh melihat Sean memegangi perutnya.

“Iya,” Sean nunjuk kamera Daffa pake dagu, “Lu mau ngapain bawa kamera itu?”

“Emang kamera gunanya buat apa sih? Masak?” balas Daffa.

Tatapan Sean seketika berubah menjadi datar. Kakinya pun udah siap buat nendang Daffa yang berdiri di depannya, tapi sahabatnya itu udah lebih dulu menghindar sambil ketawa—begitu lepas.

Dan Sean menyukainya.

“Ayo ikut gue ke taman belakang,” ajak Daffa.

“Ngapain?”

“Ikut aja.”

“Gue males gerak, Daffa.”

Daffa menghela napas.

“Gimana gue bisa ngajak lu nge-date di luar kalo pas di rumah aja lu males gerak?”

Sean manyun.

“Apa? Mau bilang apa lagi?”

Daffa senyum lalu mencubit pipi kiri Sean, “Sini, buruan.”

Sean mendesis. Setelahnya, dia pun bangkit dan mengikuti langkah kaki Daffa yang menuntunnya ke taman belakang rumah sahabatnya.

Bunda Daffa sangat menyukai tanaman—sama seperti Mama nya. Alhasil, Bunda Daffa pun menjadikan area di belakang rumah nya sebagai taman. Cukup luas dan rindang.

“Yan, buruan berdiri di sana.”

Sean mendengus saat Daffa menunjuk ke arah kumpulan tanaman bunga mawar merah milik Bundanya yang rindang.

“Lu mau fotoin gue di depan bunga mawar?” tanya Sean.

“Iya,” jawab Daffa santai.

“Enggak ah, apa-apaan.”

Sean tidak membenci bunga. Hanya saja, baginya bunga terlalu identik dengan wanita.

Sementara dia adalah pria.

“Kenapa lagi sih, Yan?”

“Gue bukan cewek, Daf.”

“Emang tadi gue bilang kalau lu cewek?” tanyanya.

“Enggak, tapi masa gue foto sama bunga. Kek cewek aja.”

Daffa senyum lembut.

“Yan, lu tau gak filosofi bunga mawar dianggap sebagai lambang kasih sayang?”

“Gak tau, tapi pernah denger.”

Daffa mengangguk.

“Sebegitu indahnya mawar sampai dianggap bisa jadi lambang kasih sayang tau.”

“Dan kasih sayang itu gak pernah memandang kalo lu cewek atau pun cowok.”

Daffa lalu menatap ke arah tanaman mawar Bunda nya.

“Tapi di balik keindahan nya, mawar punya duri. Bikin siapa pun yang mau nyentuh atau ngambil dia musti berani dan hati-hati,” katanya.

“Seakan itu ngasih kesan kalo sesuatu yang indah gak selalu mudah buat digapai.”

Daffa kembali natap Sean.

“Dan bagi gue, lu itu kayak mawar, Yan. Lu indah, tapi lu gak mudah buat gue gapai.”

“Bahkan mungkin gak bakal pernah,” suara Daffa lirih.

“Jadi gue boleh ya fotoin lu sama mawar? Sekali aja, Yan.”

Penuturan Daffa terlalu dalam. Sampai-sampai Sean kembali merasakan sensasi sesak di dadanya. Namun berusaha untuk dia tahan.

“Lu kok jadi serius gini sih?” Sean berdeham, “Ya udah.”

Daffa tersenyum lega pas ngeliat Sean akhirnya jalan ke spot yang dia tunjuk tadi. Sean berdiri di sana, menatap lurus ke arahnya yang udah ngatur lensa kamera supaya hasil dari fotonya sempurna.

“Gue foto sekarang ya, Yan.”

“Satu...”

“Dua...”

“Tiga...”

Suara jepretan kamera pun menggema bersamaan dengan senyum Daffa yang semakin mengembang.

“Udah?” tanya Sean.

“Iya, udah.”

“Mau liat.”

Daffa terkekeh sebelum berlari ke arah Sean. Dia lalu menunjukkan hasil jepretannya tadi.

“Suka gak fotonya?”

“Suka,” jawab Sean, “Sekali lagi boleh gak, Daf?”

Daffa ketawa.

“Tadi aja gak mau.”

“Ya udah kalo gak boleh.”

“Boleh, Sean. Boleh.”

Kedua anak manusia itu pun melanjutkan kegiatan mereka. Yang tadinya direncakan hanya sekali justru berujung menjadi berkali-kali jepretan.

Dan hari ini, Sean akhirnya jatuh cinta pada bunga untuk pertama kalinya karena Daffa.