Sean lantas berjongkok ketika upacara telah usai—sebab siswa dan siswi kelas dua belas justru diharuskan untuk tetap pada barisan. Pasalnya, kepala sekolah ingin memberikan wejangan tambahan.
Matahari pun semakin tinggi, tapi Sean cuma membiarkan cahaya sang surya mengenai wajahnya. Dia merasa udah terlampau capek untuk mencari tempat berteduh.
Tapi gak lama berselang, Sean seketika mendongak saat seseorang tiba-tiba berdiri di depannya. Senyum pun lantas menghiasi bibirnya, sebab dia melihat Daffa di sana. Melipat lengan di depan dada sambil menghalau cahaya matahari yang sedari tadi membuatnya berkeringat.
Awalnya Daffa pura-pura menatap ke arah lain, tapi sesaat setelahnya dia lantas melirik Sean. Ikut tersenyum sebelum bertanya, “Haus?”
Sean pun mengangguk sebagai jawaban.
“Kasian.”
Respon Daffa membuat Sean berdecih. Dia lalu membuang pandangan ke arah lain sambil berusaha menahan senyum. Tapi saat tatapan Sean seketika bertemu sorot mata Nana—yang entah sejak kapan tengah memerhatikan nya dari barisan kelasnya, dia seketika menelan ludah.
Beruntung kepala sekolah yang sedari tadi membuat para siswa menunggu kembali naik ke podium. Menginstruksikan agar mereka memerhatikan. Alhasil, Sean bisa buru-buru berdiri dan menghindari tatapan Nana padanya tadi.
***
“Siapa di sini yang udah punya pacar? Angkat tangan.”
Seisi kelas gaduh. Saling menunjuk dan meledek saat mendengar pertanyaan Pak Bisma, guru Bahasa Indonesia mereka—sekaligus wali kelas di kelas dua belas sekarang.
Berbeda dengan teman-temannya, Sean dan Daffa cuma bisa tersenyum tipis. Diam-diam saling melirik sebelum kembali memusatkan atensi ke depan kelas. Dimana Pak Bisma yang sesekali menyelipkan guyonan saat mengajar ikut tersenyum melihat siswanya.
“Gak apa-apa. Saya juga waktu masih SMA dulu pacaran kok,” katanya.
“Istri saya juga temen SMA saya malah,” jelas Pak Bisma.
“Widiiih, tips langgengnya dong, Pak!” seru Maya.
“Heh, Maya! Gak usah sok-sokan minta tips, lu jomblo.”
Bukan Gibran kalau gak menyela setiap ucapan Maya. Bikin mereka kembali saling menatap sambil meledek.
“Kalau dibilang langgeng sih, gak juga.”
Pak Bisma senyum, seolah mengingat kembali betapa manisnya kisah kasih dirinya bersama sang istri di SMA.
“Saya sempet kok putus nyambung sama istri dulu.”
“Ihiiiyyy!”
Seisi kelas kembali berseru.
“Putusnya karena apa, Pak?” tanya Radeya penasaran.
“Kami putus gara-gara gak direstuin orang tuanya,” Pak Bisma terkekeh, “Waktu itu saya semester tiga, masih kuliah. Orang tuanya bilang gak mau punya menantu yang masa depannya gak jelas.”
“Dulu orang tuanya nganggap kalau saya kuliah di jurusan pendidikan Bahasa Indonesia itu cuma buat nambah ijazah. Apalagi jadi PNS itu susah.”
“Mereka mau anaknya pacaran sama yang berseragam. Istri saya dulu calon perawat soalnya.”
“Mungkin ini ya, biar kayak yang di drama Korea itu.”
Seisi kelas kembali tertawa.
“Terus gimana sampai akhirnya bisa balikan dan nikah, Pak?” celetuk Daffa.
“Jadi gini,” Pak Bisma berdeham, “Sebelum saya mengucap kata putus ke istri saya dulu, saya bilang...”
“Saya akan kembali setelah membenahi diri dan punya sesuatu untuk dibanggakan.”
“Saya punya tujuan yang jelas untuk ke depannya. Saya ingin sukses lalu menikahi kamu,” tuturnya. “Kalau kamu mau pacaran sama orang lain abis ini, gak apa-apa. Silakan.”
“Saya akan bersaing secara sehat dengan siapa pun itu nantinya. Asal lawan saya seimbang,” jelasnya, “Artinya, dia juga punya tujuan yang jelas untuk meminang kamu.”
“Lalu setelah kami putus, dia benar-benar pacaran dengan pria yang diperkenalkan oleh kedua orang tuanya.”
“Tapi kemudian, ternyata pria ini gak punya tujuan yang jelas. Pria ini malah gak bisa ngasih jawaban kapan dia akan menikahi istri saya dulu.”
“Dan saat itu lah Bisma Abimana datang membawa kepastian,” ucapnya jenaka.
“Saya udah jadi PNS, punya usaha sendiri, punya rumah dan punya kendaraan sendiri. Saya membuktikan kalau saya serius ingin meminang dia.”
“Jadi orang tuanya udah nerima Bapak waktu itu?”
“Iya, saya diterima.”
“Aih, mertua bapak matre.”
Gumaman Maya seketika bikin seisi kelas dan gak terkecuali Pak Bisma ketawa.
“Waktu saya masih SMA dulu, saya juga berpikiran begitu.”
“Tapi dengan semakin bertambahnya usia, saya akhirnya sadar—mereka gak matre. Mereka cuma pengen yang terbaik buat anaknya.”
“Gak ada satu pun orang tua yang pengen liat anaknya menderita. Dibalik setiap sikap orang tua, pasti mereka mikirin kebaikan anaknya.”
Sean menoleh ke Daffa. Dia melihat pacarnya itu nunduk. Sean paham, Daffa terlalu lemah jika telah menyangkut tentang kedua orang tua.
“Jadi anak-anakku sekalian, yang saat ini atau besok-besok punya pacar dan kalian gak tau hubungan itu bakal dibawa ke mana. Minta putus aja udah.”
Kini Sean yang menunduk. Entah kenapa ucapan Pak Bisma bikin dadanya ngilu.
“Jangan buang-buang waktu buat orang yang gak bisa ngasih kepastian,” katanya.
“Karena segala sesuatu itu pasti punya tujuan. Iya kan?”
“Kalian sekolah, ada tujuan.”
“Kalian makan aja ada tujuan, biar kenyang. Iya kan?”
“Bapak sekarang intermezo kayak gini juga punya tujuan loh, biar kalian gak bosen kalau bahas Subjek, Objek dan Predikat mulu di kelas.”
Siswa dan siswi di kelas itu kembali tertawa. Tapi tidak dengan Daffa juga Sean yang masih sibuk dengan pikiran di dalam kepala mereka berdua.