“Dunia sempit banget ya.”

“Dunia gak sempit, Daf. Tapi emang kita yang ketiban sial.”

Kedua anak manusia yang saat ini lagi duduk di atas tempat tidur lantas terkekeh pelan. Masih dengan tatapan yang tertuju ke arah balkon, melihat derasnya rintik hujan di luar sana membasahi bumi.

“Dari sekian banyaknya villa, kenapa coba Nana di sini juga?” Daffa geleng-geleng kepala, “Tuhan kayaknya ngasih kita peringatan, Yan.”

“Mm.”

Sean yang menyandarkan kepalanya di bahu Daffa lantas mendongak. Mengulas senyum pas pacarnya itu juga ikut memandanginya.

“Daf.”

“Apa, sayang?”

Sean mendengus mendengar respon dari Daffa barusan.

“Sayang sama lu—itu dosa terindah yang pernah gue lakuin semenjak hidup di dunia.”

Hening sejenak, sebelum Daffa membelai pipi Sean.

“Emang lu pernah bikin dosa apa coba?” tanya Daffa, “Lu baik sama orang, lu berbakti sama kedua orang tua lu, lu juga sayang sama adek lu.”

“Justru kayaknya gue deh yang udah bikin lu ngelakuin dosa, Yan.” Daffa senyum hambar, “Maaf gue jadi bawa pengaruh buruk buat lu.”

“Lu ngomong apa sih?” Sean semakin memeluk erat lengan Daffa, “Udah, jangan dibahas.”

Daffa mengangguk lalu mengecup puncak kepala Sean sejenak. Tapi setelahnya dia justru memicingkan mata. Kembali memandangi wajah pacarnya dengan raut curiga.

“Kenapa?” tanya Sean.

“Tadi kamu abis chat-an sama Nana kan?” balas Daffa.

Dan entah kenapa, Sean selalu saja merasakan sengatan-sengatan kecil di sekujur tubuhnya ketika Daffa mulai menggunakan sapaan “Aku-Kamu” kepadanya.

“Iya,” jawab Sean.

“Ngomong apa aja dia sama kamu?”

Sean menahan senyum. Dia lalu meraih handphone nya, membuka pesan Nana dan menunjukannya ke Daffa.

“Tuh, baca. Aku gak flirting kan sama dia,” tutur Sean.

“Tapi dia flirting sama kamu,” Daffa nautin alisnya kesal, “Ini maksudnya apa? Jodoh?”

“Canda doang dia, Daf.”

“Dia gak bercanda, tapi lagi ngode. Kamu pura-pura gak peka apa gimana sih, Yang?”

Sean lantas ketawa ngeliat Daffa tiba-tiba ngomel.

“Kok malah ketawa? Pacar kamu lagi ngambek nih.”

“Ngambek kenapa lagi sih?” Sean noyor kepala Daffa.

“Ya karena kamu dialusin sama cewek,” jawab Daffa.

“Alusin aku juga makanya.”

“Dih? Berarti kamu suka dialusin?” Daffa nyubit pipi Sean, “Jawab. Kamu suka?”

Sean terkekeh. Dia lalu memeluk erat tengkuk Daffa sebelum berbisik, “Iya, suka kalo kamu yang ngalusin.”

Daffa udah nyoba buat nahan dirinya, tapi dia gak bisa. Dia terlampau gemas, sampai pundak Sean jadi sasarannya.

“Daffa! Jangan digigit. Geli.”

Sean memukul bahu Daffa. Setelahnya mereka kembali saling bertukar tatapan sejenak lalu tertawa ringan.

Keduanya hanya ingin seperti ini. Jika tidak bisa selamanya, maka cukup sebentar saja. Hanya berdua, saling berbagi cerita, canda juga tawa tanpa harus bersembunyi dari siapa-siapa.

“Daf, ke taman yuk.”

“Kan lagi ujan, sayang.”

“Makanya ayo kita ke sana mumpung lagi ujan,” Sean cengengesan, “Aku pengen main ujan-ujanan.”

“Gak boleh. Entar kamu sakit.”

“Enggaaak. Gak bakal.”

“Emang lagi pengen banget?”

Sean mengangguk antusias.

“Ya udah kita ke swalayan dulu tapi, beli jas ujan.”

“Ck! Kalo pake jas ujan, gak main ujan-ujanan namanya.”

“Kamu umur berapa sih hm?”

Daffa nguyel-nguyel pipi Sean, “Kamu udah kelas berapa sampe pengen banget main ujan-ujanan di luar?”

“Sayang, boleh ya?”

“Gak,” Daffa membuang pandanganya dari Sean.

“Ya udah, kalo kamu gak mau nemenin, aku pergi sendiri.”

Daffa menyeringai, “Pergi aja, orang kunci villa ada sama aku. Mau lewat mana coba?”

Sean mendesis. Dia lalu meraba-raba saku bagian depan dari celana Daffa. Tapi gak dapetin apa-apa di sana.

Sean lalu mencoba buat bikin Daffa berdiri supaya dia bisa menjangkau saku belakang celana pacarnya itu, tapi Daffa justru berbaring terlentang di atas ranjang.

Keduanya pun sama-sama tertawa, masih dengan Sean yang berusaha buat bikin Daffa ngasih kunci ke dia. Hingga akhirnya Sean lantas duduk di perut Daffa sambil menggelitik pinggangnya.

“Bentar,” Daffa ketawa, “Kamu bikin si dacil tertekan, Yang.”

Sean pun menghentikan aksinya yang lagi gelitikin pinggang Daffa dengan alis saling bertautan heran.

“Dacil apaan?”

“Daffa cilik.”

Pandangan Daffa lalu turun ke bagian selatan tubuhnya yang tidak sengaja diduduki oleh Sean. Saat itu pula tawa Sean kembali meledak.

Setelahnya, Sean kemudian menjatuhkan tubuh di atas tubuh Daffa. Dia pun lantas menenggelamkan wajah di ceruk leher pacarnya itu. Masih dengan sisa tawanya.

“Daf, bentar aja.” gumam Sean, “Aku pengen liat ujan.”

“Kan bisa liat ujan di balkon.”

“Pengennya di luar.”

Sean lalu menyejajarkan wajahnya dengan Daffa.

“Ya?” pintanya, “Bentar aja.”

“Cium aku dulu,” kata Daffa.

Dan hanya dalam sekejap mata, Sean tiba-tiba ngecup bibirnya. Gak cuma sekali, tapi tiga kali dengan tempo yang cepat. Sampai Daffa seketika merasakan sensasi geli di perutnya.

“Tapi pake payung ya?” Daffa mengusap punggung Sean, “Amit-amit kalau kamu sakit, entar apa kata Mama kamu.”

“Ya udah, iya.”

“Janji ya, gak boleh bikin kepala sama badan basah?”

“Janji, Daffa.”