Menit demi menit berlalu, dan Daffa masih berdiri di balkon villa. Memegangi rokok yang tersisa setengah. Napas nya perlahan tenang, tapi jemari Daffa masih sedikit bergetar. Bahkan untuk tetap memegang rokok rasanya amat berat.

Merasa sudah cukup lama menunggu dan berpikir Sean telah berganti baju, Daffa kemudian mematikan api di ujung gulungan bakau itu. Membuang puntungnya, lalu perlahan menoleh ke belakang.

Saat itu juga Daffa mendapati Sean justru berbaring di atas ranjang dengan pakaian yang telah melekat di tubuhnya.

Daffa pun beranjak. Dia menghampiri Sean yang memunggungi nya sembari menatap handphone. Daffa lalu duduk di tepi ranjang, memandangi pacarnya itu sejenak sebelum bersuara.

“Kok rebahan? Kan kita mau makan malem di luar.”

“Gue gak laper.”

“Loh tapi pas kita chat-an tadi lu bilang kalau lu laper.”

Sean meletakkan handphone nya di samping bantal. Dia memandangi dinding dengan tatapan kosong. Sean pun gak bersuara, bikin dia dan Daffa terjebak dalam hening sesaat.

“Sean,” panggil Daffa dengan suara tenang nya, “Kita makan dulu ya? Abis itu—”

“Kenapa, Daf?” Sean memotong ucapan Daffa.

“Lu jijik pas udah nyadar kalo lu ngelakuin hal kayak tadi bareng cowok?”

Daffa menahan napas mendengar penuturan Sean. Dia lalu menyentuh bahu pacarnya itu, tapi Sean dengan sigap menepisnya.

“Nyentuh cowok beda dari apa yang lu bayangin kan?”

Daffa diam. Membiarkan Sean menuturkan apa yang ada di dalam benak juga pikirannya.

“Lu udah tau gimana rasanya kan?” timpal Sean, “Dan lu gak bisa nerima itu kan, Daf?”

Sean lalu memeluk guling.

“Makanya lu seharusnya suka sama cewek aja,” tuturnya.

“Yan...”

“Gue capek, Daf. Mau bobo sekarang,” dia memejamkan mata, “Kita pulang besok.”

“Yan, maaf kalau gue udah nyinggung perasaan lu.”

“Gue gak bermaksud kayak gitu,” Daffa membungkuk, mengecup kepala Sean sejenak.

Dia lalu kembali menegakkan badan. Selagi matanya masih tertuju ke Sean, Daffa lantas mengusap kepala pacarnya.

“Tadi gue hampir kehilangan kendali,” katanya, “Kalau aja gue gak denger suara lu pas nyebut nama gue, mungkin gue gak bakal keinget ucapan Mama lu waktu ngasih izin.”

“Gue udah janji mau jagain lu di sini,” sambungnya, “Bukan malah ngerusak lu, Yan.”

“Kalau tadi gue gak buru-buru berhenti terus pergi...”

“Gue mungkin bakal kalah dari hawa nafsu dan udah ngelakuin hal yang lebih dari tadi ke lu.”

“Gue takut, Yan.” ucap Daffa lirih lalu menunduk, “Gue takut gak bisa mengontrol diri dan malah nyakitin lu.”

Perlahan, Sean membuka mata. Dia lalu menoleh ke Daffa, bikin pacarnya itu mengulas senyum tipis dengan tampang menyesal.

“Maaf, Yan. Maafin gue.”

Sean gak menjawab. Tapi dia lantas merentangkan kedua tangannya ke arah Daffa.

Daffa yang mengira kalau Sean pengen dibantu bangun pun lantas menarik pelan lengan pacarnya itu. Tapi sang empu justru menggeleng lalu bergumam, “Peluk.”

Daffa terkekeh. Gemas melihat tingkah Sean.

“Gue bau rokok, Yan.”

“Gak apa-apa.”

Sean menarik lengan Daffa sampai pacarnya itu berakhir membungkuk. Dia kemudian mengalungkan kedua lengan nya di tengkuk Daffa, sementara cowok berlesung pipi itu menenggelamkan wajah di ceruk lehernya.

“Gue sedih banget tadi, Daf.”

“Gue juga sedih liat lu kayak tadi,” balas Daffa, “Maaf ya?”

“Mhm.”

“Jadi pengen pulang besok?”

“Gak mau,” cicit Sean.

Daffa mengulum senyum.

“Udah gak mood makan di luar?” tanya Daffa dan dibalas anggukan pelan oleh Sean, “Mau bantu gue masak gak?”

“Iya.”

“Ya udah, bangun.”

“Bantuin.”

“Pacar siapa sih ini?” Daffa nyubit pipi Sean, “Manja.”

“Pacarnya Daffa.”

Keduanya saling berbagi senyum hangat sejenak sebelum Sean berkata.

“Jadi gini ya rasanya pacaran.”

Daffa mengangguk.

“Daf.”

“Kenapa, sayang?”

“Ngejalanin hubungan ini gak bakal mudah. Lu tau itu kan?”

“Iya,” jawab Daffa.

“Tapi lu mau janji satu hal gak sama gue?” tanya Sean lagi.

“Janji apa?”

Sean membelai pipi Daffa.

“Kalo suatu saat nanti kita harus putus, tetep jadi sahabat gue ya, Daf?”

“Gue gak mau putus sama lu.”

Penuturan Daffa bikin dada Sean sakit. Dia pun berharap demikian, tapi apa mungkin? Pikirnya sebelum kembali memeluk erat tengkuk Daffa.