Daffa harap-harap cemas sambil menunggu di depan pintu utama rumah Sean. Hingga gak lama berselang, Mama pacarnya itu datang. Membuka pintu untuknya, tapi dengan raut wajah heran.
“Oh, Daffa. Bareng siapa?”
“Sendiri, Tante.” Daffa lalu menelan ludah, “Sean ada?”
“Ada di kamarnya.”
Si wanita paruh baya kemudian memberi jalan untuk Daffa. Saat itu juga Daffa lantas bergegas memasuki rumah pacarnya. Dengan si wanita paruh baya berjalan di sisi kanannya.
“Om sama Ibra ke mana, Tante?”
“Mereka main tennis di luar,” jawab si wanita paruh baya, “Abis nemenin Sean ngeliat pengumuman SNM tadi langsung berangkat mereka.”
Sesampainya di ruang tengah, Mama pun menoleh ke Daffa. Menatap wajah pemuda berlesung pipi itu sejenak sebelum bersuara.
“Saya ke dapur dulu ya.”
“Silakan, Tante. Kalo gitu saya mau nyamperin Sean.”
Mama mengangguk pelan lalu melenggang meninggalkan Daffa yang seketika menautkan alis. Entah, dia merasa ada yang berbeda dari Mama pacarnya itu. Bukan hanya sekarang, tapi juga beberapa waktu terakhir saat Daffa menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah ini.
Mama Sean kelihatan gak terlalu sehat. Bahkan Daffa bisa mendengar betapa lemas suara si wanita paruh baya. Tapi Sean juga gak pernah bercerita tentang Mamanya.
Dia akan bertanya pada Sean nanti, pikir Daffa. Sebab kini, dia juga belum tau bagaimana keadaan sang pujaan hati.
Tapi dari pesan Sean tadi, Daffa lantas khawatir jika sesuatu yang gak Sean harapkan justru telah terjadi.
Buru-buru Daffa menaiki tangga menuju kamar Sean hingga sampai di depan pintu. Dia lalu mengetuknya sejenak, tapi gak ada sahutan dari dalam kamar. Bikin Daffa berinisiatif memutar kenop.
Ketika pintu terbuka, Daffa justru gak mendapati Sean di dalam kamarnya. Tapi Daffa bisa melihat laptop Sean di meja belajar masih menyala.
Daffa kemudian buru-buru menutup pintu sebelum melangkah ke arah meja belajar; duduk di kursi dengan jantung berdegup kencang. Dia lalu melihat tampilan web di sana. Dimana hasil pendaftaran SNMPTN Sean terpampang jelas.
Daffa lalu tersentak saat Sean tiba-tiba datang—setelah bersembunyi—tanpa sepengetahuannya dari arah balkon. Pacarnya itu lantas memeluk lehernya dari belakang sembari berbisik.
“Aku lulus.”
Daffa menoleh. Tersenyum bangga melihat pacarnya.
“Aku tau kamu bakal lulus. Tapi chat kamu tadi ambigu banget tau gak?” katanya.
“Sengaja, biar kamu dateng.”
Sean terkekeh, sementara Daffa lalu berdiri dari kursi. Merentangkan tangannya lebar-lebar hingga Sean dengan sigap menyambutnya.
“Selamat ya, sayang.”
“Daf, aku masih gak nyangka.”
“Aku kan udah bilang kamu pasti bakal lulus, Yan.”
Daffa kemudian mengecup puncak kepala Sean sejenak.
“Pacar aku calon dokter.”
Sean tersenyum, mendorong pelan tubuh Daffa hingga mereka kembali saling bertatapan. Setelahnya, Sean lalu mengecup bibir Daffa sekilas hingga sang empu tersenyum tipis dibuatnya.
“Katanya pengen dipeluk, tapi kok malah nyium?”
“Kapan lagi kan aku bisa cium kamu kayak gini,” kata Sean.
Dia lalu membelai pipi Daffa sembari tersenyum hambar.
“Aku seneng banget bisa keterima di jurusan sama kampus impian aku, Daf.”
“Tapi di saat yang bersamaan, aku juga sedih karena sadar kalo waktu kita buat bareng kayak gini udah gak lama lagi. Abis ini kita bakal sibuk ngejar impian masing-masing.”
Sean menghela napas.
“Dulu aku selalu bilang pengen cepet-cepet lulus, tapi hari ini aku justru masih pengen dikasih waktu buat tetep di SMA.”
“Semuanya kayak terlalu cepat, Daf. Aku belum siap buat pisah sama kamu.”
Daffa gak merespon dengan kata-kata, tapi dia lantas mempertemukan belahan bibirnya dengan milik Sean. Seolah di sana pula dia bisa menyampaikan rasa bahagia sekaligus rasa sedihnya.
Keduanya saling memagut; melumat lembut bibir satu sama lain hingga Sean terbuai. Dia pun perlahan memundurkan langkah hingga berakhir terduduk di atas ranjang. Dan dengan dorongan pelan dari Daffa, Sean lantas berbaring terlentang setelahnya. Bersamaan dengan Daffa yang mengungkungnya.
“Daffa,” bisik Sean pelan di depan bibir pacarnya, “Kita bakal baik-baik aja kan?”
Daffa mengangguk pelan sebelum kembali melumat lembut bibir Sean. Sementara Sean yang berada di bawah tubuh Daffa lantas meremas pelan bahu pacarnya.
Tapi persekian detik berikutnya, baik itu Daffa maupun Sean lantas terkejut saat pintu kamar tiba-tiba dibuka dari luar. Keduanya pun menahan napas saat melihat Mama berdiri sana. Menatap mereka dengan dua bola mata melebar sempurna.
Daffa pun buru-buru bangkit dari posisinya. Begitu juga dengan Sean yang seketika ikut berdiri di samping Daffa. Sementara Mamanya masih terdiam, namun nampak raut kecewa dan amarah di wajah pucat si wanita paruh baya.
“Ma...”
Panggil Sean lirih, sebab Mamanya tak kunjung bersuara. Dia semakin takut.
“Seharusnya Mama emang udah ngomong sama kamu jauh-jauh hari,” kata si wanita paruh baya, “Tapi Mama baru bisa memberanikan diri hari ini. Karena Mama selalu yakin kalo kecurigaan Mama salah.”
Sean menahan napasnya.
“Mama ngerasa aneh pas tau Daffa abis ngelukis kamu.”
“Mama ngerasa aneh pas kamu mesen kue buat dia.”
“Mama juga ngerasa makin aneh pas dengerin kamu sama dia ngomong pake ‘aku-kamu’ dari luar kamar waktu Mama abis bawain paket tempo hari.”
“Dan Mama selalu ngerasa aneh tiap kali kamu ngasih perhatian ke dia. Kamu tau semua tentang dia, meski pun itu hal kecil.”
“Mama cuma diam, karena Mama percaya sama kamu. Meski Mama tau, pertemanan di antara dua laki-laki gak sewajarnya se-intim itu.”
Bibir si wanita paruh baya bergetar hebat. Kedua bola matanya lantas memerah.
“Tapi yang Mama lihat hari ini justru membuktikan kalau firasat Mama beberapa waktu terakhir nyatanya benar. Firasat seorang Ibu gak pernah salah. Kamu sama dia lebih dari sekedar teman.”
“Kenapa, Sean? Kenapa kamu ngelakuin ini sama Mama?”
“Tante, saya yang salah. Bukan Sean,” ucap Daffa.
“Saya belum ngizinin kamu buat ngomong, Daffa.”
Mata si wanita paruh baya masih tertuju ke anaknya.
“Jawab Mama. Kenapa kamu kayak gini?”
Sean meneteskan air mata. Tenggorokannya sakit, hingga satu-satunya kalimat yang mampu dia ucapkan hanya,
“Aku sayang Daffa, Ma.”
“Sayang?” Mama melirik ke Daffa sejenak, “Kamu sayang sama laki-laki?”
Sean mengulum bibirnya. Dia lalu memberanikan diri untuk mendekat dengan Mamanya.
“Ma, maafin aku.”
“Kenapa baru sekarang kamu minta maaf?” sela sang Mama.
“Selama ini kamu bohong sama Mama. Kamu selalu pergi sama dia dan entah udah ngelakuin apa aja—tapi kamu gak pernah ngerasa bersalah sama Mama?”
“Kamu gak pernah mikirin perasaan Mama yang udah ngelahirin dan ngebesarin kamu karena laki-laki itu?”
Dada Sean sakit.
“Sean, kurangnya Mama apa?”
Sean lantas menunduk. Air mata masih mengalir deras di kedua pipinya. Dia bungkam.
“Mama selalu berusaha ngasih kamu yang terbaik. Mama juga udah berusaha jadi orang tua yang baik. Dan Mama gak pernah meminta balasan untuk itu, tapi kamu justru bikin Mama kecewa.”
“Mama udah nyekolahin kamu sampe kayak sekarang. Jadi seharusnya kamu juga udah paham gimana kodrat kamu dan aturan agama kamu.”
Sean kembali menatap Mama.
“Ma, aku sama Daffa juga gak mau kayak gini.” balas Sean, “Aku sama Daffa gak pernah sekali pun minta ke Tuhan supaya suka sama laki-laki.”
Satu tamparan keras seketika mendarat di pipi kanan Sean. Daffa yang melihat pacarnya ditampar oleh si wanita paruh baya lantas hendak menghampiri Sean, tapi sang Mama lebih dahulu bersuara.
“Jangan dekati anak saya.”
Hati Daffa hancur.
“Tolong pergi dan jangan pernah menginjakkan kaki kamu di rumah ini lagi, Daffa.”
Dan Daffa semakin merasa hancur sebab Mama Sean menyuruhnya pergi dengan begitu tenang. Tapi dia tau, wanita itu kecewa padanya.
“Maaf, Tante. Saya yang salah. Saya yang pertama kali jujur tentang perasaan saya.”
Daffa kemudian bersimpuh di depan kaki Mama Sean.
“Tampar saya. Jangan Sean.”
“Kalau dengan ditampar bisa bikin kamu sadar dan menghilang dari kehidupan anak saya, biarkan itu jadi tugas kedua orang tua kamu.”
Sean menggeleng tegas.
“Ma, jangan bilang ke Ayah sama Bundanya Daffa.”
Dia lalu ikut berlutut di depan kaki Mamanya sembari mendongak dan menangis.
“Mama gak pengen aku deket sama Daffa lagi kan? Aku bakal nurutin itu, Ma. Aku bakal nyudahin semuanya. Tapi tolong, jangan bilang ini ke Ayah sama Bundanya.”
“Sean—”
“Pergi, Daf.” Sean memotong ucapan Daffa, “Tolong.”
Dari tatapan Sean tersirat luka. Daffa bisa membacanya.
Daffa pun sudah berusaha menahan tangisnya sedari tadi, tapi kali ini dia gagal. Air matanya mengalir deras setelah mendengar ucapan Sean.
Dan Daffa tau, Sean melakukan ini untuknya. Tapi dia justru tidak melakukan apa-apa untuk pujaan hatinya, pikir Daffa.
“Pergi,” ucap Mama Sean lirih, “Saya mohon. Pergi dari sini.”
Daffa lantas berdiri sekuat tenaga, sebab kedua kakinya telah melemas. Dia lalu melirik sekilas ke arah Sean yang masih bersimpuh, tapi pacarnya lantas menunduk.
Apa ini adalah akhir dari semua yang telah mereka lewati bersama? Pikir Daffa.
Tapi kenapa harus se-menyedihkan ini? Batinnya.
Bahkan dia tidak sempat mengucap kalimat selamat tinggal kepada sang pujaan hati sebelum si wanita paruh baya menutup pintu kamar—sekaligus menutup kesempatannya untuk bertemu kembali dengan Sean.