Sean yang semula lagi sibuk ngerjain contoh soal di meja belajar seketika noleh ketika pintu kamarnya diketuk.

“Iya!” sahutnya.

Gak lama berselang, pintu kamarnya pun dibuka dari luar. Saat itu juga Sean lantas tersenyum sumringah. Sebab Daffa udah berdiri di sana, mengangkat satu tangannya yang menenteng kantong kresek Indomaret.

“Aku bawain cemilan.”

Sean selalu berbunga-bunga ketika Daffa menggunakan sapaan aku-kamu, terlebih secara langsung kayak gini.

“Kan aku udah bilang gak usah bawa apa-apa, Daf.”

Daffa nyamperin Sean. Dia lalu meletakkan kantongan itu di atas meja belajar.

“Tapi aku pengen liat kamu ngemil, Yan.” balas Daffa.

“Aku udah kenyang, Daf.”

“Buat besok kan bisa.”

Sean pun cuma bisa senyum dan terkekeh pas pacarnya itu membungkuk lalu meluk lehernya dari belakang. Daffa kemudian mengecup sebelum nguyel-nguyel pipi kirinya.

“Kamu kok suka banget sih sama pipi aku?” tanya Sean.

“Soalnya kek squishy,” jawab Daffa, “Pengen aku gigit.”

Daffa melepaskan pelukannya di leher Sean. Dia lalu natap buku di atas meja belajarnya sejenak diikuti senyum tipis.

“Deg-degan gak buat besok?”

Sean menggeleng, “Gak sih.”

“Berarti kamu bakal lulus.”

“Dih, tau darimana coba?”

“Waktu mau tes olimpiade dulu kamu juga gak deg-degan kan? Terus kamu lolos.”

“Itu kebetulan doang.”

Daffa ketawa kecil. Dia lalu memijat pelan pundak Sean.

“Aku yakin kamu bakal lulus.”

Sean senyum, “Makasih ya.”

“Mm, sekarang kamu istirahat ya? Besok musti bangun pagi.”

Sean mengangguk patuh. Dia lalu berdiri, membereskan buku-bukunya, sementara Daffa udah lebih dulu duduk di tempat tidur sambil bersandar di kepala ranjang.

“Papa kamu masih di luar kota, Yan?” tanya Daffa.

Sean yang kini duduk di tepi ranjang pun mengangguk.

“Iya, katanya besok siang baru nyampe di sini.”

“Padahal besok tanggal merah ya, tapi Papa kamu malah ga bisa istirahat full.”

Sean mengangguk setuju. Setelahnya dia lantas mengikis jarak dengan Daffa, membungkuk lalu menyandarkan kepala di dada pacarnya itu.

“Daf.”

“Hm?”

“Kamu bener-bener udah yakin mau kuliah di ITB?”

“Iya,” jawab Daffa, “Tapi kek mustahil gak sih kalo aku bisa lulus, Yan?” dia ketawa kecil.

“Kamu bisa kok,” kata Sean lalu mendongak, “Kemarin pas ikut try out UTBK nilai kamu tinggi tau, Daf.”

Sean kemudian memeluk erat pinggang Daffa. Masih dengan tatapan yang terarah ke wajah pacarnya itu.

“Tapi kalo kamu lulus, aku bakal gimana ya nanti?”

Daffa gak merespon dengan kata-kata, tapi dia mengusap lembut puncak kepala Sean.

“Aku belum bisa bayangin gimana hari aku tanpa kamu.”

“Aku setia kok,” kata Daffa yang bikin Sean mendengus.

“Aku gak bahas masalah kamu bisa setia atau enggak, Daf.”

Sean menghela napas, “Tapi keknya aku bakal kesepian banget kalo gak ada kamu.”

“Kita udah terbiasa apa-apa selalu bareng. Jadi pas pisah nanti, pasti rasanya aneh.”

Daffa menipiskan bibirnya. Dia lalu membelai pipi Sean dan menatapnya lekat-lekat.

“Kamu gak mau aku pergi?”

Sean menelan ludah.

Jelas Sean gak mau ngeliat Daffa pergi. Tapi dia lebih gak mau lagi kalau Daffa terus aja dikekang oleh orang tuanya sendiri.

“Aku gak bilang gitu.”

“Tapi kalo aku nyuruh kamu milih, kamu mau aku pergi atau gak?” tanya Daffa.

Sean terdiam sejenak. Dia lalu beralih memeluk leher Daffa, menghirup wangi parfum di tubuh pacarnya sejenak sambil menutup matanya.

“Aku mau kamu pergi...”

“Aku mau kamu bisa ngelakuin hal yang kamu suka kali ini, Daf.”

“Mungkin bakal berat buat aku, buat kamu juga. Tapi emang gini kan siklus kehidupan? Mau gak mau kita emang harus bisa terbiasa.”

Daffa mengulum bibirnya saat mendengar penuturan Sean. Bersamaan dengan kedua lengannya yang memeluk erat pinggang Sean.

Tapi gak lama berselang, ketukan pintu kamar dari luar bikin dua anak manusia itu seketika melepas tautannya. Setelahnya, Sean pun bergegas ke sumber suara, membuka pintunya hingga mendapati sang Mama.

“Ada kiriman paket.”

“Oh? Makasih, Ma.” ucap Sean, “Tapi kok aku gak denger kurir manggil tadi? Aku juga gak dichat tumben.”

“Soalnya pas kurir tadi baru buka hp, Mama lagi di depan juga, ketemu sama Bu Ayana. Jadi sekalian aja Mama minta paket kamu.”

Sean mengangguk paham. Tapi setelahnya, dia lantas menahan napas ketika mendapati si Mama melirik ke dalam kamarnya sejenak.

“Ya udah, Mama ke bawah sekarang. Inget, jangan tidur kemaleman, Yan.”

“Iya, Ma.”

Sean baru bisa bernapas lega setelah melihat wanita paruh baya itu berbalik. Dia pun langsung menutup pintu sebelum menatap pacarnya.

“Abis beli apa?” tanya Daffa.

“Kepo deh.”

Sean berucap jenaka sebelum memasukkan paket yang dibawanya ke dalam lemari.

“Emang isinya apa sih? Kok gak dibuka paketnya?”

“Ih, suka-suka aku lah mau buka paketnya kapan.”

Daffa menipiskan bibir sambil melipat lengan di depan dada. Sementara Sean justru ketawa kecil ngeliat Daffa.

“Aku nanya baik-baik loh.”

“Aku juga jawabnya baik-baik kan?” balas Sean sebelum kembali duduk di samping pacarnya, “Penasaran yaaa?”

“Gak sih, biasa aja.”

Sean mendesis. Dia kemudian menggelitik pinggang Daffa sampai empunya ketawa.

“Yan, udah. Entar Mama kamu denger aku ketawa.”

“Biarin. Biar kamu diomelin.”

Sean masih menggelitik pinggang Daffa. Tapi gak lama berselang, Daffa pun menahan lengannya, dengan sigap mengungkungnya. Begitu cepat, bikin Sean gak sempat untuk berontak.

“Mau ngapain?” tanya Sean.

Daffa senyum usil, “Emang enaknya ngapain, Yan?”

“Enaknya bobo.”

“Kamu bobo abis ini. Gosok gigi sama cuci kaki dulu gih.”

“Aku udah gosok gigi.”

“Ya udah, sekarang cuci kaki.”

“Ish!”

“Kok malah bilang ish?”

Sean merentangkan kedua lengannya ke arah Daffa.

“Cium dulu,” ucap Sean setengah berbisik.

Daffa yang melihat tingkah pacarnya pun senyum gemas. Dia membungkuk, sementara Sean memeluk tengkuknya.

“Mau dicium aja apa mau dicium banget?” bisik Daffa.

Sean mengulum senyum.

“Mau dicium banget.”

Mendengar jawaban Sean, Daffa lantas mengikis jarak wajah mereka. Tapi sebelum apa yang mereka inginkan terealisasikan, handphone Sean tiba-tiba berdenting.

“Siapa?”

Daffa bertanya dengan nada rendah saat Sean meraih handphonenya, guna melihat siapa yang mengirim pesan.

“Ibra.”