“Ma, aku mau nginep di rumah Daffa ya? Sekalian nemenin dia jaga rumah.”
Sean meminta izin.
Si wanita paruh baya yang semula membantu salah satu karyawannya untuk menghias kue lantas menoleh.
“Emang orang rumah Daffa ke mana, Yan?” tanyanya.
“Ke luar kota, besok Abang nya ada acara wisudaan.”
“Terus kenapa dia gak ikut?”
“Abang sama orang tuanya bakal stay tiga hari di luar kota, Ma. Daffa gak mau izin gak masuk sekolah selama itu. Udah kelas dua belas.”
“Mm,” Mama Sean bergumam pelan sambil mengangguk.
Setelahnya, wanita paruh baya itu pun melepas sarung tangannya. Dia lalu berjalan ke arah Sean yang duduk di depan meja, gak jauh darinya.
“Tapi inget, jangan kelayapan.”
“Enggak kok, Ma. Aku sama Daffa juga mau belajar.”
“Yan, Mama boleh ngomong sesuatu gak?” tanya Mama.
Sean yang mendengar itu pun seketika memusatkan atensi ke wanita paruh baya. Mama nya udah duduk di sebelah nya—natap wajah dia serius.
“Ngomong apa, Ma?”
“Kamu sama Daffa kan udah waktunya fokus belajar buat UTBK, apa dengan belajar bareng gak bikin kalian saling mengganggu gitu?” tanyanya.
Si Mama lalu menarik napas.
“Maksud Mama, kali aja salah satu di antara kalian ada yang gak bisa konsen belajar kalau ada temennya. Kan sayang...”
“Aku bisa konsentrasi kalo ada temen kok, Ma. Justru kalo ada temen jadi lebih semangat, gak bosen juga.”
“Terus Daffa?” sela si Mama.
“Aku liat Daffa juga gitu, Ma. Kita kalo belajar sama-sama fokus, gak banyak ngobrol. Jadi gak saling ganggu kok.”
Mama Sean mengangguk paham seraya menepuk pundak anaknya pelan.
“Ya udah. Gak apa-apa. Mama cuma khawatir tadi,” katanya.
Sementara itu, Sean seketika meremas jemarinya di bawah meja. Dia ingin berkata, tapi justru dihampiri rasa ragu.
“Ng... Ma?”
“Mm?”
“Aku mau pesen kue ulang tahun satu. Buat besok lusa.”
“Siapa yang ulang tahun?”
“Daffa, Ma.”
Sean menelan ludah ketika Mamanya terdiam sambil natap wajah dia lekat-lekat. Ini emang pertama kalinya dia minta dibikinin kue buat temennya. Sebelumnya dia sendiri bahkan ragu buat bilang ke Mama nya. Takut kalau si wanita paruh baya justru menyimpan curiga.
“Aku sama temen-temen yang lain mau ngasih dia kejutan,” terpaksa Sean harus bohong.
“Jadi gak usah cantik-cantik banget kuenya, Ma. Entar juga bakal dipake buat muka dia,” jelasnya yang bikin si Mama menggeleng heran.
“Anak-anak sekarang kenapa sih suka banget mubazir kue ulang tahun? Mama sedih.”
Sean ketawa pelan.
“Buat seru-seruan, Ma.”
“Tapi tetep aja loh. Itu kue dibikin pake tenaga, pake kreasi, kok dibuang-buang.”
“Ya udah, aku gak bakal pake kue buatan Mama buat nampol wajah Daffa. Janji.”
Mama Sean memicingkan mata sebelum tersenyum. Bikin Sean diam-diam menghela napas lega. Sebab gak ada pertanyaan lebih lanjut dari Mama nya.
“Mau diambil jam berapa?”
“Malem aja, Ma. Sebelum store tutup gak apa-apa.”
“Oke.”
“Ya udah, aku pulang ke rumah sekarang ya, Ma.”
“Mm, pulang sana. Kamu sama Ibra jangan lupa makan.”
“Iyaaa. Dah, Mama!”
“Hati-hati ya, sayang.”
Si wanita paruh baya gak henti-henti memandangi Sean yang perlahan melangkah, meninggalkan dapur store nya. Setelahnya dia lantas menghela napas sebelum berdiri. Kembali nyamperin karyawannya dan membantu seperti semula.
***
“Nih, udah gue siapin pocky dan kawan-kawan dari tadi.”
Sean terkekeh sebelum duduk di sofa ruang tengah rumah Daffa. Sementara di meja udah ada satu kantong cemilan yang Daffa bilang.
“Kak Disty ikut?”
“Iya, ikut. Dibilang gue sendirian di sini,” kata Daffa.
“Kenapa lu gak ikut aja sih, Daf? Sayang banget loh kalo Bang David foto kelulusan tapi adiknya malah gak ada.”
“Padahal bagus kalo ada foto anggota keluarga lengkap.”
“Anggota keluarga mereka udah lengkap kok,” jawab Daffa seraya menyandarkan punggung di badan sofa.
“Ada atau gak ada gue juga sama aja,” sambungnya.
“Jangan bilang gitu, Daf.”
“Kenapa?” Daffa ketawa ringan, “Gue gak apa-apa.”
“Kan gue punya lu, Yan.”
Sean menghela napas. Dia lalu menyandarkan kepala di bahu Daffa sambil natap ke layar telivisi di depan mereka.
“Kalo nanti gue yang wisudaan, lu harus dateng pokoknya. Gak mau tau.”
Daffa senyum. Mengacak-acak rambut Sean sebelum mengecup lembut puncak kepala pacarnya itu.
“Gue pasti dateng buat lu.”
Sean mendongak, “Janji?”
“Janji,” jawab Daffa.
Keduanya refleks saling melemparkan senyum manis sebelum Daffa tiba-tiba menyeringai usil. Dia lalu mendorong pelan tubuh Sean, mengungkungnya sampai pacarnya itu berbaring dengan lengan sofa berada di bawah kepalanya.
“Daf! Lu mau ngapain?”
“Mau nguyel-nguyel pipi lu.”
“Gak mau!”
Sekuat apapun Sean berteriak dan mendorong dada Daffa, dia tetap kalah. Alhasil, Sean cuma bisa pasrah. Sesekali ketawa karena sentuhan Daffa.
Sampai saat pacarnya itu menyejajarkan wajah mereka, Sean mati-matian menahan senyumnya. Matanya lantas tertuju ke bibir Daffa yang bikin dia refleks mengangkat sedikit kepalanya—berniat melumat bibir manis itu.
“Mau apa?” tanya Daffa.
Senyum jenaka pun terlukis di bibir penuh si cowok pemilik lesung pipi itu. Bikin Sean kembali menyandarkan kepala di lengan sofa sambil natap Daffa dengan datar.
“Mau nanem ubi.”
“Nanem ubi di mulut gue?”
Sean mendengus, “Mau nyium lu lah, beg—”
Sean gak perlu melanjutkan ucapannya. Sebab Daffa udah lebih dahulu nyium bibirnya. Dia lalu melingkarkan kedua lengannya di tengkuk Daffa selagi bibir mereka saling melumat dengan lembut.