“Halo?”

“Lu pergi ke mana sih, anjir?”

Daffa menjauhkan handphone dari telinganya sejenak. Suara melengking dari seberang sana bikin dia cuma ngehela napas lalu geleng-geleng.

“Disuruh ke tempat fotocopy aja lama bener,” sambungnya.

“Gue lagi di parkiran. Abis ngambil kenang-kenangan buat wali kelas gue,” jawab Daffa lalu nutup pintu mobil.

“Buset, dikasih kado. Ibu kos lu kira-kira dikasih juga gak?”

Daffa senyum, “Ibu kos gue, apa anaknya sih yang mau?”

“Gue sama Ibu gue lah.”

“Iya, entar gue traktir soto.”

“Setan, soto doang.” jawab cewek di seberang sana, “Gue sama Ibu gue udah sampe kek mata-mata yang jaga rahasia kalo lu nge-kos di tempat Ibu gue ya, Daf. Masa kenang-kenangannya soto doang?”

“Berarti lu pamrih, Sar.”

“Hahaha! Canda,” katanya. “Ya udah buruan ke ruang kepsek sini. Bawa fotocopy SKHU lu.”

“Mm,” gumam Daffa sebelum mematikan telpon dari Sarah.

Dia lalu berbalik. Hendak berjalan meninggalkan area parkir. Tapi baru aja beberapa langkah, Daffa lantas dibuat mematung. Sebab seseorang, atau lebih tepatnya pemilik dari mobil di sebelah mobilnya datang hingga kini berhadapan dengannya. Jarak mereka berdiri pun hanya terpaut beberapa jengkal saja.

Daffa gak tau kalau mobil yang terparkir di samping mobilnya adalah milik Sean. Bikin dia seketika menahan napas saat tatapan mereka bertemu pada satu poros.

Ini menjadi kali pertama mereka bertemu semenjak gak pernah lagi mencari tau kabar satu sama lain. Dan Daffa bisa merasakan betapa sedu atmosfer di antara mereka.

Waktu dan semesta ternyata belum puas mempermainkan dirinya dan Sean, pikir Daffa.

Tapi persekian detik berikutnya, Sean buru-buru menundukkan pandangan. Dia lalu melanjutkan langkah, melewati Daffa yang masih berdiri di tempat semula.

Ketika Sean hendak membuka pintu mobilnya, dia lantas menghela napas pelan. Dia gak mau mengingkari janjinya pada Mama, tapi dia juga merasa perlu mengatakan satu kalimat lagi ke Daffa.

Dan Sean rasa, ini adalah kesempatan paling terakhirnya. Sebelum mereka akhirnya harus terpisah; bukan hanya tentang tempat kuliah tapi juga tentang rasa.

“Daffa.”

Mendengar Sean memanggil, Daffa seketika menoleh. Dia pun mendapati Sean senyum tipis ke arahnya. Tapi hal itu justru bikin Daffa makin sesak. Sebab kini bibir Sean mengulas senyum, namun tatapannya sarat akan luka

“Makasih udah nepatin janji lu buat lulus di ITB,” ucap Sean.

Tungkai Daffa seakan dipukul dengan beban yang berat. Dia nyaris menyerah hingga ingin menjatuhkan tubuhnya saja. Tapi di saat yang bersamaan, dia juga ingin berlari ke arah Sean lalu memeluknya erat.

Tapi Daffa segera sadar, dia gak boleh ngelakuin itu. Dia gak boleh menghampiri Sean.

“Daffa!”

Sean lantas melirik ke arah sumber suara sejenak, dimana seseorang baru saja meneriakkan nama Daffa.

Dan Sean udah tau sejak tempo hari dari Nana—juga grup angkatan sekolah kalau sosok berambut hitam itu adalah Sarah; cewek yang sekarang ini disebut-sebut punya hubungan spesial dengan Daffa.

“Pacar lu udah nunggu,” ucap Sean, “Gue cabut duluan ya.”

Mata Daffa berkaca-kaca. Bahkan untuk mengatakan tidak kepada Sean—dia udah gak berhak. Sekujur tubuhnya pun seketika semakin terasa lemas. Terlebih ketika Sean akhirnya masuk ke dalam mobilnya lalu membuat kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan parkiran sekolah mereka. Juga meninggalkannya yang hanya mampu meneteskan air mata.