Daffa menekan bel rumah Sean, sampai gak lama berselang seseorang lantas datang dan menghampirinya. Saat itu juga tubuh Daffa menegang. Sebab Mama Sean lah yang membuka pintu.

“Pagi, Tante.”

Si wanita paruh baya mengulas senyum tipis.

“Masuk, Daf. Sean ada di dalam, lagi sarapan sama Papanya.”

Daffa berdeham. Masih ada kecanggungan juga rasa takut ketika dia berbincang dengan Mama Sean seperti sekarang.

“Saya gak usah masuk, Tante. Saya cuma mau balikin ini,” katanya sambil menyodorkan airpod Sean, “Ketinggalan di apartemen saya semalem. Kali aja Sean udah mau make.”

“Kalau gitu saya permisi. Maaf udah ganggu waktu sarapannya,” pamit Daffa.

Tapi sebelum dia berbalik, si wanita paruh baya berkata.

“Daf, sarapan bareng di sini ya?” Mama menahan lengan Daffa, “Saya yang minta.”

Alhasil, Daffa cuma bisa menuruti. Dia mengangguk pelan sebelum mengikuti langkah kaki Mama hingga sampai di ruang makan.

“Eh, Daf. Sini, ikut sarapan.”

Papa Sean menyambut Daffa dengan senyum dan sapaan ramahnya. Sekarang Daffa pun semakin paham kenapa dahulu Sean selalu dihantui rasa bersalah hingga depresi. Sebab kedua orang tuanya se-hangat ini. Tapi Sean—juga dirinya justru membuat kedua orang tua itu terluka.

“Daffa balikin ini,” kata Mama sambil meletakkan airpod di hadapan Sean, “Punya kamu.”

“Astaga. Buru-buru amat lu bawain ini, Daf?” kata Sean.

Daffa senyum tipis.

“Lu gak bisa jauh-jauh dari airpod soalnya,” katanya.

“Ayo duduk, Daf.”

Daffa kemudian duduk pada kursi kosong di sebelah Sean.

“Ibra gak di rumah?” tanyanya.

“Ada kok di kamarnya,” jawab Sean, “Semalem tu anak abis begadang keknya. Tadi gue bangunin gak gerak-gerak.”

“Biarin aja. Nanti dia juga bakal bangun,” kata Papa, “Ibra masih culture shock semenjak masuk dunia kerja.”

Si pria paruh baya lalu memandangi Daffa.

“Daf.”

“Iya, Om?”

“Ayah kamu gimana kabarnya?”

Dari tatapan Papa Sean, Daffa paham kalau si pria paruh baya mencoba menanyakan apa hubungannya dengan sang Ayah sudah membaik.

“Terakhir kali saya nanyain kabarnya ke Bang David Minggu lalu, Om. Katanya Ayah sempet sakit tipes.”

Papa mengangguk paham.

“Daf, jangan pernah berhenti datang ke Ayah kamu terus minta maaf ya, nak.”

Daffa juga Sean menyimak.

“Mungkin perlakuan dia dulu ada yang bikin kamu terluka dan merasa gak diberi kasih sayang,” sambungnya.

“Tapi kamu harus paham, gak ada orang tua yang benar-benar benci sama anaknya. Kalau pun ada, itu artinya mereka bukan orang tua.”

“Apalagi Ayah kamu juga orang yang berpendidikan, dibalik sikapnya pasti dia selalu punya alasan.”

“Dan Om yakin, dia mikirin yang terbaik buat kamu.”

Daffa tersenyum lalu mengangguk paham.

“Makasih banyak, Om.”

“Daf,” kini Mama Sean yang bersuara sambil natap Daffa.

“Iya, Tante?”

“Makasih ya udah bantu saya sama Papanya Sean buat ngembaliin Sean yang dulu.”

Sean memandangi Mamanya dengan tatapan sedu.

“Saya bener-bener takut kehilangan Sean,” katanya.

“Tolong jaga Sean ya, Daf?”

“Mama kok ngomong gitu? Kan ada Mama yang jagain aku,” ucap Sean. Sebab dia tiba-tiba teringat dengan mendiang Bunda Daffa.

“Ada hal yang bisa Daffa jangkau tentang diri kamu, sedangkan Mama sama Papa enggak.” ucap si wanita paruh baya, “Jadi Mama, Papa, sama Daffa punya peran tersendiri.”

“Gak cuma Sean, tapi Daffa juga gitu.” ucap Papa, “Kalian berdua harus selalu saling menjaga ya?”

Daffa dan Sean pun saling bertukar pandang sejenak sebelum mengangguk pelan. Mereka kemudian kembali melanjutkan sarapan dengan tenang, sesekali berbincang.

“Tuh, orang yang tadi kalian omongin udah dateng.”

Celetuk Mama saat melihat Ibra berjalan ke meja makan.

“Pagi,” sapa Ibra, “Kak Daffa, lama banget baru ke sini lagi.”

Sean natap adiknya sejenak lalu geleng-geleng kepala. Sebab Ibra masih aja pura-pura gak tau segalanya.

“Udah. Kamu juga sarapan.”

“Makasih, Ma.” ucap Ibra saat sang Mama menyodorkan satu piring untuknya.

“Oh iya, kalian hari ini mau jalan ke mana?” tanya Papa.

“Maksudnya aku sama Daffa, Pa?”

“Mm. Kamu, Daffa sama Ibra.”

“Aku gak ada rencana mau jalan, Pa. Gak tau kalo Daffa.”

“Saya juga gak ada, Om. Abis dari sini langsung balik ke apartemen lagi,” kata Daffa.

“Kalo aku mau ngedate,” ucap Ibra, dia senyum mengejek.

“Nge-date sama siapa lu?”

“Sama pacar gue lah. Emang lu doang apa yang bisa?”

Sean decakin lidah, “Ngejek gue lu? Orang gue gak punya pacar,” katanya, “Bawa pacar lu ke sini. Gue mau liat dia bentukannya kek gimana.”

“Lu posesif banget sih, kak?”

“Bukan posesif, tapi gue mau mastiin lu milih orang yang bener apa kagak.” balas Sean, “You’re too good to be pacar orang gak jelas, Ra. Gue gak rela.”

Ibra hampir menyemburkan makanan yang masih ada di dalam mulutnya. Dia ketawa.

“Canda. Gue mau ketemu sama temen SMA gue, kak.”

“Kalian pengen nonton gak?” tanya Papa lagi, “Kalo mau, biar Papa yang beliin tiket.”

“Widih! Dalam rangka apa nih, Pa?” Ibra bersemangat.

Si pria paruh baya tersenyum. Dia lalu mengusap puncak kepala istrinya—hingga Mama Sean berdecak sambil nahan rasa malunya. Setelahnya, Papa kemudian berucap.

“Hari ini kan anniversary pernikahan Mama Papa.”

“Cieee!” “Cieee!”

“Entar Papa kasih uang jajan.”

“Asik! Makasih, Pa.” ucap Ibra.

“Papa sama Mama gak mau ngerayain apa?” tanya Sean.

“Mau, tapi in private.”

Baik itu Sean, Daffa, maupun Ibra seketika mengulum bibir mendengar penuturan Papa.

“Papa sama Mama abis ini mau staycation. Ya kan, Ma?”

“Mhm.”

“Loh? Berarti uang jajan buat aku sama Ibra sogokan dong, Pa? Abis ini kan ditinggal berdua di rumah,” sela Sean.

“Kamu kayak anak kecil aja.”

Daffa tersenyum. Sebab dia nyatanya bisa kembali merasakan betapa hangat interaksi penghuni rumah tempatnya berada kini.

Daffa pun hanya mampu berandai-andai; jika saja Ayahnya juga bisa berbesar hati seperti orang tua Sean.

***

“Abis ini kita ke mana lagi?”

“Langsung pulang aja deh, Daf. Besok lu kerja, gue juga mau ke RS pagi-pagi banget.”

Daffa pun mengangguk paham sebelum mencancap gas mobilnya hingga meninggalkan area parkir pusat perbelanjaan—sekaligus tempat dimana dia dan Sean baru saja selesai menonton film di bioskop.

Seharian ini keduanya sudah menghabiskan waktu bersama; sejak siang hingga kini sudah pukul sepuluh malam. Daffa dan Sean mengunjungi banyak tempat, gak terkecuali tempat yang dulunya juga pernah menjadi saksi bisu dari kisah mereka.

Sesampainya di depan rumah Sean, Daffa lantas mematikan mesin mobilnya. Dia beralih menatap lamat wajah Sean.

“Lu seneng gak hari ini?”

“Mm,” gumam Sean, “Seneng banget.”

Daffa lantas tersenyum lega. Perlahan, dia meraih jemari Sean. Menggenggamnya erat.

“Lu ngerasa gak kalau waktu bisa ngubah seseorang?”

“Iya,” jawab Sean. “Bukan ngubah seseorang sih, Daf.”

“Tapi lebih kek... Mengubah point of view seseorang?”

Daffa mengangguk setuju.

“Tapi kenapa ya waktu gak bisa ngubah perasaan kita, Yan?” tanya Daffa, “Padahal waktu udah nyembuhin luka kita dikit dengan bikin Mama, Papa, Sean sama Radeya bisa nerima keadaan kita berdua.”

Sean senyum tipis.

“Mungkin karena waktu pengen nunjukin siapa yang bener-bener cinta sama kita.”

“Beberapa tahun lalu, gue sama lu udah berusaha buat saling ngelupain dan nyari orang lain yang mungkin bisa lebih sayang sama kita...”

“Tapi akhirnya apa? Gak ada yang bisa nerima kekurangan sama kelebihan gue kayak lu. Dan lu juga bilang kalo gak ada orang yang bisa nguatin dan dengerin lu kayak gue.”

“Gue yang paling sayang banget sama lu. Lu juga yang paling sayang gue,” katanya, “Waktu akhirnya ngasih jawaban itu.”

Mata Daffa berkaca-kaca. Dia mengusap lembut pipi Sean.

“Yan, lu baik-baik aja kan sama status kita yang sekarang?”

Sean mengangguk.

“Kenapa gue harus gak baik-baik aja?” katanya, “Fakta kalo lu bisa ada di samping gue lagi udah bikin gue bahagia kok.”

“Manusia gak boleh serakah kan?” timpalnya, “Jadi gue rasa ini semua udah cukup.”

Sean lalu memandangi jemarinya yang saling bertautan dengan Daffa.

“Tapi kalo suatu saat nanti waktu juga ngubah perasaan lu ke gue... Gak apa-apa, Daf.”

“Kan kata lu dulu, kita gak usah mikirin masa depan. Kita fokus dan jalanin aja yang sekarang,” tuturnya.

“Jadi mulai sekarang gue bakal bikin kenangan indah sebanyak-banyak sama lu.”

“Supaya pas perasaan lu ke gue udah gak sama, gue bisa hidup sama kenangan itu tanpa ada rasa penyesalan.”

“Dan pada akhirnya kita semua emang harus berdamai sama keadaan kan, Daf?”

Daffa membungkuk sembari menciumi punggung tangan Sean. Bersamaan dengan bahunya yang bergetar hebat.

“Heh? Kok lu nangis?”

Sean membantu Daffa untuk kembali menegakkan badan. Dia kemudian menyeka air mata di kedua pipi Daffa.

“Udah. Sekarang kan kita udah bareng lagi. Gak usah nangis,” ucap Sean lembut.

Daffa gak mengatakan apa-apa sebelum mendekap erat tubuh Sean. Dengan sigap Sean pun membalasnya, dia memeluk Daffa gak kalah erat. Seolah menyampaikan pesan tersirat jika Daffa masih bersamanya, Daffa masih memilikinya; meski harus dipendam keduanya.