Daffa dan Sean kini sama-sama duduk di bangku panjang. Tapi gak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya. Terhitung semenjak Daffa sampai di sana sepuluh menit silam.
Sean lalu menoleh sejenak. Memandangi bagaimana raut khawatir Daffa yang menatap kosong ke arah lantai.
Sejujurnya Sean sangat ingin bertanya kenapa Daffa gak ikut masuk ke ruangan. Tapi di saat yang bersamaan, suara Sean justru tercekat.
Bahkan untuk sekedar membuka mulutnya Sean merasa gak bisa. Sebab ada isak dan tangis yang sedang dia tahan agar gak terbebas.
Sampai gak lama berselang, atensi Sean pun beralih ke arah koridor. Dimana dua residen yang menangani Bunda Daffa berjalan tergesa ke arah ICVCU, diikuti dengan satu orang perawat.
Firasat Sean pun semakin gak enak ketika Bimo tiba-tiba membuka ruang ICVCU lalu mempersilakan kedua residen tadi untuk segera masuk. Sementara David juga Disty dan sang tunangan yang tadinya berada di dalam ruangan justru segera keluar.
“Bim,” Sean berdiri lalu menghampiri Bimo.
Seakan telah paham dengan maksud tatapan Sean, Bimo lantas menggeleng pelan.
“Doain pasien ya, Yan.”
Mendengar respon Bimo membuat kedua tungkai Sean semakin lemas.
“Bim, gue mau masuk.”
“Jangan, entar lu kena omel.”
Bimo lalu menepuk pundak Sean sebelum kembali masuk ke dalam ruangan ICVCU.
Sean pun seketika menunduk. Air matanya jatuh begitu saja. Sebab dia bahkan gak bisa merawat si wanita paruh baya seperti yang diinginkannya. Kini Sean hanya bisa terus berdiri di depan pintu ICVCU sembari berdoa semoga keajaiban akan segera datang.
Sayangnya, harapan Sean lantas pupus saat pintu ICVCU kembali terbuka hanya dua puluh menit setelah Bimo menutupnya tadi. Rekannya itu berdiri di hadapannya, memberinya tatapan yang telah Sean tau maknanya.
Bimo kemudian melewati Sean lalu menghampiri Disty sebelum menyampaikan berita kematian sang Bunda.
Saat itu juga Sean lantas bersandar di tembok. Dia merasa gak mampu lagi menopang tubuhnya.
Sean lalu melirik sejenak ke arah Daffa yang masih duduk termenung di bangku panjang. Tatapannya semakin kosong. Daffa gak menangis atau bersuara sedikit pun.
Tapi Sean tau, dari mata Daffa tersirat luka yang begitu dalam setelah dia mendengar kabar kematian malaikat pelindungnya.
***
“Yan, kok kamu baru pulang?”
Mama menyambut Sean dengan pertanyaan saat dia baru saja masuk ke rumah.
“Mama sama Papa nelpon, tapi nomor kamu gak aktif.”
“Yan, kamu dari mana aja?”
Papa menimpali. Nampak raut khawatir di wajah si pria paruh baya yang tadinya duduk di sofa ruang tengah.
Sean gak heran kalau kedua orang tuanya khawatir. Sebab dia yang harusnya pulang sore tadi justru baru sampai di rumah pada malam hari.
“Tadi Bundanya Daffa masuk ICVCU,” jawab Sean, “Jadi aku nungguin perkembangannya.”
Mama lantas diam. Sementara Papa kembali bersuara.
“Terus gimana keadaannya?”
Sean menelan ludah.
“Bundanya Daffa meninggal, Pa.”
“Innalillahi wainnailaihi rojioun,” ucap Papa lalu menghela napasnya pelan.
“Kamu udah makan, Yan?”
Sean melirik Mamanya. Dia lantas mengangguk lemah. Meski sebenarnya Sean hanya makan pada siang hari tadi.
“Ya udah, kamu istirahat sana. Muka kamu udah keliatan capek banget.”
Tanpa mengatakan apa-apa Sean pun melangkah, meninggalkan sang Papa dan Mama yang gak henti-henti memandanginya sampai dia menaiki semua anak tangga.
Dan tepat saat Sean telah masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di tepi ranjang, tangis yang sudah Sean tahan sejak di rumah sakit tadi lantas terbebas. Dia terisak pelan sembari menutupi wajahnya dengan dua tangan.
Merasa jika rasa sesak kian mencekiknya, Sean lantas beranjak. Dia berjalan tergesa ke arah lemari lalu meraih botol obat yang ada di sana.
Beruntung masih ada dua kaplet yang tersisa. Alhasil, Sean kemudian meminumnya lalu membuang botolnya ke tempat sampah sebelum kembali merebahkan tubuh di atas tempat tidurnya.
Malam yang tersisa pun seketika Sean habiskan dengan menangis sepuasnya. Meski selama ini tiada malam yang Sean habiskan tanpa meneteskan air mata dalam kesunyian, namun kali ini berbeda. Malamnya kelabu. Jiwanya dirundung sedu.
Sean merasa bersalah dengan Daffa juga kepada Bundanya.
***
“Yan, bangun.”
Sean melenguh saat suara sang Mama menyentuh gendang telinganya. Dia lalu membuka mata, mendapati si wanita paruh baya kini duduk di tepi ranjang sembari memberinya tatapan dalam.
“Sarapan dulu yuk. Papa udah nungguin di bawah,” katanya.
Sean pun bangkit. Dia duduk di atas ranjang, selagi kedua matanya menatap Mamanya.
“Mama tunggu di bawah ya.”
Si wanita paruh baya pun berdiri. Tapi sebelum Mama melangkah meninggalkan kamar Sean, pergelangan tangannya sudah lebih dahulu digenggam oleh sang anak.
“Kenapa, Yan?”
“Seharusnya aku yang nanya kenapa, Ma.”
Mama Sean menautkan alis.
“Kenapa Mama ngomong ke Bunda sama Ayahnya Daffa?”
“Mama ngomong apa?”
“Ngomong soal hubungan aku sama Daffa dulu,” kata Sean.
Mata Sean berkaca-kaca.
“Padahal dulu aku udah nurut buat gak ngobrol atau pun ketemu lagi sama Daffa. Aku juga udah berusaha buat berubah. Tapi kenapa Mama ke rumahnya dan ngasih tau semuanya ke mereka?”
Mama menelan ludah. Dia lalu menghela napas pelan.
“Karena Mama mikirin kamu.”
“Tapi Mama gak mikirin Daffa,” ucap Sean lirih.
“Mama juga mikirin Daffa. Justru Mama ngasih tau Bunda sama Ayahnya supaya dia juga diawasi, Sean.”
Sean menggeleng lemah.
“Ma, orang tua Daffa gak kayak Mama sama Papa.”
“Hubungan dia sama orang tuanya gak baik,” sambung Sean, “Dulu Daffa selalu ngerasa gak punya siapa-siapa karena Ayah sama Bundanya seolah gak pernah merhatiin dan meduliin dia.”
“Ayah sama Bundanya gak kek Mama sama Papa yang tiap hari ngajak aku ngobrol.”
“Daffa gak baik-baik aja sejak awal,” suara Sean bergetar, “Bahkan dia hampir bunuh diri dulu, pas kelas tiga SMP.”
“Tapi dia gak pernah cerita ke orang lain kalau dia lagi ada masalah kecuali sama aku, itu pun karena aku yang awalnya nyuruh dia buat jujur ke aku.”
Sean menunduk sejenak.
“Daffa gak mau dikasihani,” tutur Sean, “Makanya aku juga gak pernah cerita sama Papa atau Mama tentang dia.”
Sean meneteskan air mata.
“Dan Mama tau? Setelah Mama datang ke rumahnya, Daffa diusir sama Ayahnya.”
“Dia harus pisah sama Bundanya yang udah mulai belajar buat mencurahkan perhatiannya ke Daffa.”
Sean terisak pelan. Sementara Mama terdiam.
“Aku gak mencoba nyalahin Mama atas semuanya. Aku tau niat Mama baik,” katanya.
“Aku juga yakin Mama gak mungkin sebegitu bencinya sama Daffa.”
“Tapi aku sedih banget, Ma. Aku sedih karena Mama gak bilang dulu ke aku waktu itu.”
“Mama bohongin aku selama ini,” sambung Sean lirih.
“Kalo aja Mama bilang, aku pasti bakal ngasih tau. Aku bakal cerita tentang Daffa supaya orang tuanya gak perlu dikasih tau,” jelas Sean.
“Sekarang aku yang ngerasa bersalah, Ma. Bukan cuma ke Daffa, tapi juga ke mendiang Bundanya. Pasti di sisa-sisa hidupnya dia sedih karena Daffa gak dibolehin pulang ke rumah, bahkan pas lebaran.”
Sean menatap wajah Mama.
“Ma, aku mohon. Tolong datang ke pemakaman Bundanya Daffa hari ini ya?”
“Tolong peluk Daffa,” pinta Sean, “Dia udah gak punya siapa-siapa.”
Sean menarik napasnya.
“Aku pengen Mama ngelakuin ini bukan karena aku masih sayang sama Daffa sebagai laki-laki,” katanya. “Tapi aku peduli sebagai manusia, Ma.”
“Bagaimana pun juga, dulu dia itu sahabat aku sebelum aku mulai suka sama dia.”
Mama masih terdiam. Tapi sesaat setelahnya dia lantas mengangguk pelan.
“Tapi Mama juga pengen kamu buktiin kalo perhatian kamu ini bukan karena kamu masih suka sama Daffa, Yan.”
Kini Sean yang terdiam.
“Mama pengen kamu nerima pertunangan sama Jihan kalo KOAS kamu udah beres.”
***
Daffa gak henti-hentinya menatap gundukan tanah yang telah dihiasi dengan kelopak bunga. Berbeda dengan kedua kakaknya; Disty dan David—yang sejak prosesi pemakaman tadi terus-terusan terisak, Daffa justru terdiam. Namun sorot matanya memancarkan luka.
Satu persatu pelayat pun kemudian meninggalkan area pemakaman. Ayah, David, Disty bersama dengan tunangannya pun mulai bangkit. Tapi tidak dengan Daffa. Dia masih terduduk di samping nisan Bundanya.
“Daf, ayo pulang.”
David mengajak adiknya.
“Duluan aja, Bang.”
“Biarin dia di situ, Vid.” Ayah bersuara, “Biarin dia mikir sampe nyesel karena udah bikin Bunda kamu kayak gini.”
“Yah,” Disty natap Ayahnya gak percaya, “Kenapa Ayah selalu nyalahin Daffa sih?”
“Karena dia yang udah bikin Bunda kamu sakit, Dis. Kalo aja dia gak keras kepala dan gak melakukan hal yang salah, Bunda kamu gak bakal stress mikirin dia mulu.”
“Ayah, udah.”
David menghela napas gusar.
“Ayo, Daf. Bentar lagi ujan.”
Daffa gak beranjak. Tapi dia lantas mendongak dan natap sang Ayah yang sedari tadi juga lagi natap wajahnya.
“Saya minta maaf.”
Penuturan Daffa seketika bikin semua orang yang berdiri di sana terdiam, gak terkecuali dengan sang Ayah.
Si pria paruh baya kemudian berbalik, meninggalkan area pemakaman istrinya. David pun kembali mengajak Daffa agar segera beranjak, tapi lagi-lagi adiknya itu menolak.
“Ya udah, gue sama Kak Disty duluan kalo gitu. Tapi jangan kelamaan di sini,” kata David sebelum ikut meninggalkan Daffa juga makam Bundanya.
Setelah Ayah dan kedua kakaknya pergi, Daffa lantas memeluk nisan Bundanya. Tangisnya yang sejak kemarin telah dia tahan pun terbebas.
Andai saja dia bisa menukar nyawanya agar sang Bunda kembali, Daffa sangat rela.
Kini satu-satunya tempat bersandarnya telah pergi.
Dia benar-benar telah sendiri.
“Daffa.”
Daffa tersentak saat mendengar suara pria dari arah belakangnya. Dia pun buru-buru menyeka air matanya sebelum menoleh hingga mendapati Papa dan Mama Sean berdiri di sana.
“Om, Tante.”
Daffa dengan sigap berlutut di depan kaki Papa Sean. Dia bahkan hendak bersujud, tapi si pria paruh baya lebih dulu membungkuk; mencegatnya.
“Saya minta maaf, Om.”
“Kenapa kamu minta maaf? Ayo bangun,” tutur Papa.
Daffa menggeleng lemah. Masih dengan tangisnya.
“Saya udah bikin Bunda saya pergi,” katanya, “Saya takut kalo sampe Om sama Tante juga sakit karena kepikiran sama perbuatan salah saya.”
Papa Sean menggeleng.
“Daf, setiap nyawa manusia itu milik Tuhan. Kalau Tuhan mengambil nyawa seseorang, itu artinya Tuhan udah pengen ciptaannya kembali sama dia,” jelas si paruh baya.
“Bunda kamu kembali ke sisi Tuhan bukan karena kamu,” katanya, “Tapi karena Tuhan udah pengen beliau pindah ke tempat yang jauh lebih indah daripada dunia yang fana.”
Papa Sean kemudian mengusap punggung Daffa.
“Saya sudah ikhlas atas semua yang terjadi, Daffa. Saya baik-baik saja,” katanya.
Daffa pun mengulum bibirnya saat si pria paruh baya lantas membantunya untuk berdiri. Dia kemudian menoleh ke arah Mama Sean, menatapnya sejenak lalu menghampirinya.
“Tante, saya—”
Ucapan Daffa lantas terhenti sebelum diselesaikan. Sebab si wanita paruh baya dengan sigap memeluk tubuhnya.