“Makasih ya, dok.”
“Sama-sama, Ibu.”
Sean mengulas senyum ke arah pasien wanita yang baru saja dia periksa. Setelah sang pasien keluar dari ruangan, Sean lantas memeriksa jam di handphone nya sejenak.
Sudah hampir jam makan siang. Tapi masih cukup banyak calon pasien yang menunggu di luar. Sean pun seketika paham, sebab saat ini sedang musim pancaroba.
Gak lama berselang, ketukan di pintu ruangannya lantas bikin Sean lantas menoleh ke sumber suara. Tapi saat itu juga jantung Sean seakan berhenti berdetak selama beberapa detik. Sebab dia mendapati sosok Daffa berdiri di ambang pintu.
Tapi Daffa gak datang sendiri, terlihat seorang wanita mendampinginya.
Berdeham pelan, Sean lalu mengulas senyum ramah seperti biasa dan berkata,
“Silakan.”
Daffa juga wanita berambut cokelat gelap sebahu yang bersamanya pun duduk pada kursi di depan Sean.
“Siapa yang sakit?” tanya Sean dengan nada ramah.
“Saya, dok.”
Sean memaksakan senyum saat mendengar jawaban Daffa. Nampak jika pemilik lesung pipi itu gak pengen nunjukin ke wanitanya kalau mereka berdua saling kenal.
“Dia sakit perut, dok. Udah sejak semalem,” ucap wanita di samping Daffa, “Dia juga sampe mual, panas dingin.”
Sean menghela napas pelan.
“Masnya abis makan sambel berapa sendok?” tanya Sean.
“Daf? Emang kemarin kamu abis makan sambel ya?”
Daffa mengangguk pelan.
“Iya, pas aku makan siang sendiri di resto depan villa.”
Sean memerhatikan Daffa juga wanita di sampingnya. Mendengar keduanya berbicara menggunakan sapaan ‘aku–kamu’ bikin Sean yakin kalau sosok itu adalah pacar atau bahkan istri Daffa.
Daffa kemudian kembali menatap wajah Sean sejenak.
“Saya gak makan sambel terlalu banyak kok, dok.”
“Mm,” Sean mengangguk, “Makan siangnya telat gak?”
“Iya.”
“Kalo gitu Mas boleh ke sana ya, biar saya periksa dulu.”
Daffa mengangguk paham saat Sean menunjuk ke arah ranjang rawat yang ada di sana. Dia lalu beranjak hingga berakhir merebahkan tubuh.
“Dok, maaf. Saya mau nanya, toiletnya di mana ya?” tanya wanita yang masih duduk di hadapan Sean.
“Dari ruangan ini lurus aja ke belakang, abis itu belok kiri.”
“Makasih, dok. Saya izin mau buang air dulu,” kata wanita itu lalu menoleh ke Daffa.
“Daf, aku ke toilet dulu ya. Kebelet banget dari tadi.”
Daffa pun membalasnya dengan anggukan pelan.
Sementara itu, Sean seketika menghampiri Daffa yang udah berbaring di ranjang. Memeriksanya sejenak, sebelum menatap Daffa.
“Pola makannya diatur ya, kurangin makan pedes juga, sama kelola stress biar asam lambungnya gak kambuh.”
Daffa gak merespon ucapan Sean selama beberapa saat. Tapi setelahnya, dia bersuara.
“Lu kerja di sini, Yan?”
“Iya, gue lagi internship.”
“Bisa kebetulan gini ya,” ucap Daffa, “Pas lu sakit dulu, gue bawa lu ke puskesmas ini.”
“Sekarang malah elu yang jadi dokter di sini, meriksa gue.”
Sean tersenyum tipis diikuti anggukan pelan. Ya, bahkan dia pun awalnya benar-benar gak nyangka kalau puskesmas yang ditunjuk sebagai tempat internship nya saat ini adalah puskesmas yang pernah dia datangi pas sakit ketika liburan bareng Daffa dahulu.
Dan lagi, seolah semesta kembali mengujinya atau justru menghukumnya—kini Daffa lantas datang ke tempat yang menyimpan satu lembar kenangan masa lalu mereka.
“Kalo lu sendiri ngapain di sini, Daf?”
“Gue lagi liburan.”
“Gak kerja?”
“Kemarin gue abis dinas ke luar kota, jadi dikasih cuti sehari. Ya udah gue ke sini, mumpung weekend juga.”
“Mm,” Sean bergumam.
“Istri lu ikut ke sini, Yan?”
“Ha? Istri?” Sean kemudian terkekeh pelan, “Emang gue keliatan udah punya istri ya?”
“Bukannya lu udah tunangan pas beres KOAS kemarin?”
Sean menggeleng, “Enggak.”
Keheningan pun tiba-tiba menghampiri dua anak cucu Adam itu. Baik Sean maupun Daffa hanya menunduk, natap jemari mereka yang bertaut.
Tapi gak lama berselang, Sean lantas memberanikan diri untuk kembali bersuara.
“Keknya baru setahun yang lalu deh lu bilang gak ada rencana buat nikah,” katanya.
“Tapi hari ini lu udah bareng cewek cantik,” sambung Sean, “Cewek yang tadi istri lu ya?”
Daffa yang masih berbaring di atas ranjang rawat lantas menatap wajah Sean lekat-lekat. Sementara sang dokter yang melihat gak ada respon dari Daffa seketika berdeham.
“Lu udah boleh bangun, Daf.”
Sean kemudian berjalan ke arah mejanya, disusul Daffa. Selagi Sean menuliskan resep obat untuk Daffa, perempuan yang tadinya minta izin ke toilet sejenak pun datang.
“Udah, Daf?”
“Iya.”
Sean mengulas senyum ke arah wanita di hadapannya sebelum menyodorkan secarik kertas berisi resep.
“Ini resep obatnya ya.”
“Makasih, dok.”
“Makannya cukup dijaga aja biar gak kambuh lagi. Jangan konsumsi makanan pedes atau yang asem dulu,” jelas Sean, “Tekanan darahnya juga rendah, jadi banyak istirahat. Jangan keseringan begadang.”
“Denger tuh, Daf. Itu semua kebiasaan kamu,” kata wanita itu kepada Daffa yang cuma diam mendengarkan Sean.
“Dok, kalau gitu saya permisi. Sekali lagi terima kasih ya.”
Sean mengangguk.
“Sama-sama.”
“Yuk, Daf.”
Daffa melirik Sean sejenak sebelum beranjak dari kursi.
“Makasih, dok.”
“Sama-sama,” Sean kemudian memaksakan senyumnya.
Daffa hanya mengangguk pelan sebelum meninggalkan ruangan—juga Sean yang seketika memijat keningnya.
***
Seperti saran Ibra, hari ini Sean sudah berada di villa. Tepatnya sejak jam dua belas siang tadi. Tapi karena hari sudah mulai sore, Sean akhirnya memutuskan untuk gak terus-terusan di kamar.
Kini Sean berjalan menuju tempat yang gak asing lagi baginya. Sebab tempat itu pernah menjadi saksi bisu bagaimana masa lalunya dengan Daffa dimulai.
Sejak bertemu dengan Daffa kemarin pagi di puskesmas, Sean tiba-tiba saja ingin mengunjungi semua tempat yang pernah mereka datangi ketika liburan bersama di puncak semasa SMA dulu.
Bukan untuk menggali luka, namun Sean hanya ingin sesuatu di dalam benaknya bisa terlepas dengan bebas.
Sean ingin menuruti kata hatinya yang entah akan menuntunnya ke mana.
Bahkan Sean memilih villa yang sama—meski berbeda kamar. Sebab room yang pernah mereka sewa dahulu telah diisi oleh tamu lain.
Dan di sini lah Sean sekarang. Berdiri menghadap ke arah pegunungan, dimana sesaat lagi dia akan menyaksikan bagaimana senja ditelan malam.
Sejenak Sean termenung. Kenangan indahnya bersama Daffa dahulu pun seketika terbayang. Dia tersenyum.
Mungkin ini saatnya.
Mungkin ini maksud dari kata hatinya yang membawanya ke tempat ini, pikir Sean.
Hatinya hanya ingin sembuh.
Hatinya hanya ingin berdamai dengan waktu.
Melihat Daffa akhirnya telah membuka hati untuk orang lain dan menjalani kehidupan dengan baik—sebagaimana mestinya membuat Sean merasa sedikit lega. Meski dia juga gak bisa menampik fakta kalau ada sebuah ruang di hatinya yang menjadi kosong setelah melihat Daffa telah menemukan bahagianya, tapi Sean yakin—waktu gak akan selamanya menghukumnya.
Menit demi menit pun lantas berlalu, sang surya kini telah bersembunyi dan digantikan oleh rembulan. Sean yang sedari tadi menatap kosong ke arah pegunungan seketika menghela napas panjang.
Sean lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam hoodie sebelum berbalik. Hendak meninggalkan tempat itu.
Dan lagi, waktu serta semesta seolah gak pernah bosan memberi kejutan kepada Sean. Sebab kini, dia justru melihat Daffa sedang berdiri seorang diri gak jauh darinya.
Daffa pun tengah menatap kosong ke arah pegunungan, sama seperti Sean tadi.
Sean lalu menelan ludah ketika Daffa berbalik hingga pandangan mata mereka lantas bertemu di satu titik. Nampak kalau Daffa sama kagetnya dengan dirinya.
Mereka sama-sama terdiam sejenak. Hanya saling menyelami netra satu sama lain sebelum Sean akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri Daffa.
“Lu nginep di villa sini, Daf?”
“Iya, Yan.”
“Mm,” Sean mengangguk, “Gimana perut lu? Masih sakit gak?” tanyanya lagi.
“Udah gak kok,” jawab Daffa, “Makasih banyak ya.”
Sean senyum tipis.
“Ya udah. Gue balik ke room duluan ya,” pamitnya.
Sean lalu berjalan melewati Daffa yang masih berdiri di tempatnya. Tapi ketika Sean telah turun dari tempat yang berada di atas bukti itu, dia lantas menautkan alis. Sebab Daffa justru mengekorinya.
“Oh? Lu juga udah mau balik ke room lu?” tanya Sean saat Daffa menyamai langkahnya.
“Iya,” jawab Daffa, “Lu nginep di room mana, Yan?”
“Di room unit Magnolia. Kalo lu sendiri di mana, Daf?”
“Di room tempat kita nginep pas liburan dulu,” jawabnya.
“Oh.”
Sean hanya mengangguk pelan lalu menipiskan bibir. Entah apa alasan Daffa untuk menginap di tempat yang sama, namun Sean paham kalau saat ini Daffa mungkin hanya ingin melukis kisah baru bersama wanitanya.
Tapi Sean justru gak mendapati wanita itu bersama Daffa saat ini. Sean pun gak berani bertanya, dia masih teringat dengan respon Daffa di puskesmas.
Mereka berdua pun berakhir sama-sama terdiam. Seperti dua orang yang baru saling kenal dan canggung. Sampai saat mereka udah ada di depan gedung dimana room Daffa berada, Sean diam-diam menghela napas lega.
Setidaknya kecanggungan mereka berakhir setelah ini.
Sayangnya, pemikiran Sean itu justru dipatahkan dengan kenyataan kalau Daffa justru masih jalan di sampingnya. Langkah Daffa gak berhenti di depan gedung roomnya.
“Daf, ini gedung room lu.” Sean mengingatkan, takut Daffa gak menyadarinya.
“Gue masih pengen jalan.”
Sean pun cuma mengiyakan. Dan kecanggungan itu terus berlanjut sampai Sean tiba di depan unit villanya.
“Gue duluan ya.”
Sean udah bersiap-siap buat masuk ke roomnya. Tapi niat hatinya itu harus terhenti pas lengannya dijegal oleh Daffa.
“Kenapa, Daf?”
Daffa menelan ludah.
“Cewek yang di puskesmas kemarin bukan istri gue.”
Tubuh Sean menegang.
“Dia kating gue di kampus dulu, satu tahun di atas kita. Tapi sekarang dia lagi pacaran sama Bang David.”
Sean mengangguk paham, “Maaf, gue udah sok tau.”
Daffa kemudian menatap sejenak jemarinya yang masih mencengkeram lengan Sean.
“Apa yang udah gue bilang ke lu setahun lalu gak bakal berubah,” tutur Daffa, “Gue gak ada rencana buat nikah.”
Sean natap mata Daffa.
“Kenapa lu bilang ini ke gue?”
“Gue gak mau lu nganggap gue pembohong, Yan.”
Sean menuntun jemari Daffa agar terlepas dari lengannya.
“Dan kenapa lu peduli soal pandangan gue?” timpalnya, “Kita udah jauh kek gini, jadi seharusnya lu gak khawatir.”
Daffa diam. Sementara Sean lantas mengikis jarak antara dirinya dengan Daffa. Satu langkah kakinya membuat dia dan Daffa kini berdiri hanya terpaut beberapa senti saja.
“Daf, apa perasaan lu yang dulu ke gue masih ada?”
Mata Daffa memanas.
“Perasaan gue gak pernah hilang sejak awal, Sean.”
“Kenapa?” tanya Sean lirih, “Seharusnya lu benci sama gue, Daf. Gue yang udah bikin lu diusir dari rumah dulu.”
“Gue juga yang bikin lu kepisah sama Bunda yang udah perhatian sama lu.”
Daffa menggeleng.
“Gue gak pernah menganggap semua itu terjadi karena lu.”
“Apa yang gue lewatin dulu emang jalan yang harus gue tempuh supaya gue bisa jadi lebih kuat,” sambung Daffa.
“Jangan bikin gue makin ngerasa bersalah, Daf.”
Setetes air mata tiba-tiba membasahi pipi kiri Sean.
“Gue gak pantes dicintai sama lu,” Sean melanjutkan.
“Perasaan di antara kita juga udah salah. Temuin bahagia lu yang lain. Lupain perasaan lu ke gue. Ya?” pinta Sean.
“Gue udah berusaha, Yan.”
Tenggorokan Daffa sakit.
“Tapi kenangan waktu bareng lu gak ada yang bisa bikin gue ngelupain perasaan ini,” Daffa melanjutkan, “Andai aja waktu itu lu pernah jahatin gue, gue bakal nginget itu mulu sampe akhirnya gue bisa benci sama lu.”
“Tapi gak ada, Yan. Lu selalu baik sama gue, lu selalu bikin setiap momen di hidup gue jadi lebih manis meskipun dulu kehidupan gue pahit.”
Air mata Daffa mengalir deras, begitu pun dengan Sean.
“Waktu gue dikasih tau kalo lu bakal tunangan pas beres koas, gue udah mikir itu bakal jadi akhir dari perasaan gue...”
“Sekaligus akhir dari hidup gue,” sambung Daffa lirih, sementara Sean terbelalak.
“Gue pengen nyusul Bunda hari itu. Hari dimana gue abis dateng ke rumah lu,” jelasnya.
“Tapi lu tau apa yang bikin gue masih bertahan sampai hari ini, Yan?” Daffa lantas mengulum bibirnya sejenak.
“Gue masih bisa ngeliat wajah lu hari ini karena satu kalimat yang lu ucapin. Lu bilang kalo gue masih punya lu,” katanya.
“Daf...”
“Maaf karena gue masih sayang sama lu, Yan.” tutur Daffa, “Tapi gue gak bakal gangguin hidup lu. Gak akan.”
“Lu juga udah terlalu banyak ngelewatin masa sulit karena gue,” Daffa sesenggukan, “Jadi biarin gue nyimpen semua ini sendiri ya. Lu harus bahagia.”
Daffa kemudian menyeka air mata di kedua pipinya lalu memaksakan senyumnya.
“Gue balik ke room sekarang,” kata Daffa, “Lu masuk gih.”
Tanpa membiarkan Daffa berbalik dan meninggalkan nya, Sean seketika memeluk pemilik lesung pipi itu. Dia masih menangis, namun di sela isakannya Sean berbisik.
“Gue juga gak pernah berhenti sayang sama lu, Daf.”