Athaya patut bersyukur sebab meski dirinya masih lah anak baru di kantor, namun kini dia telah menginjakkan kaki di pulau dewata Bali guna mengikuti rangkaian acara penting yang diadakan satu tahun sekali oleh perusahaan.
Tapi di sisi lain, Athaya juga harus berpasrah diri. Sebab dia akan selalu berada di sekitar Rayyan hingga dua hari ke depan. Bahkan mereka pun ditempatkan di satu kamar hotel yang sama.
Dan di sini lah Athaya. Dia berjalan menuju kamar hotelnya bersama Rayyan yang mengekorinya. Tanpa sekali pun bersuara atau melirik rekan kerjanya itu.
Ketika membuka pintu kamar, Athaya pun buru-buru masuk. Dia lalu meletakkan tasnya di salah satu tempat tidur yang tidak jauh dari pintu—sebab dalam kamar itu tersedia dua single bed. Namun tanpa dia duga, Rayyan justru tiba-tiba menjatuhkan tubuh hingga terlentang di atas ranjang itu.
Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian mengambil tasnya sebelum berpindah ke tempat tidur yang satunya. Sementara Rayyan yang melihatnya pun menggeleng.
Sesaat setelahnya, Rayyan lantas meraih handphone. Menelpon satu kontak di sana lalu menyalakan mode loud speaker ketika sosok itu menjawab panggilannya.
“Halo, Yan?”
Rayyan terkekeh mendengar suara lirih wanita yang kini menjadi lawan bicaranya.
“Lemes amat suaranya. Lu lagi tidur pas gue nelpon, Mba?”
Athaya yang mendengar pembicaraan Rayyan pun seketika tau kalau dibalik suara wanita itu adalah Dina.
“Enggak. Tapi gue lagi naik tangga nih,” jawab Dina, “Baru nyampe rumah, abis lembur.”
“Lu udah nyampe di Bali, Yan?”
“Udah. Ini gue lagi di kamar hotel,” ucap Rayyan lalu menghela napasnya pelan.
“Ya udah deh. Lu lagi capek banget kayaknya. Selamat beristirahat, Mba Din.”
“Lah? Gitu doang?” Dina seketika heran, “Kirain lu mau ngomong apa sampe nelpon malem-malem.”
Rayyan mengulum senyum lalu melirik ke arah Athaya. Teman satu kamarnya itu sedang sibuk sendiri dengan handphonenya sembari duduk di atas tempat tidur.
“Gue cuma pengen ditemenin ngobrol, tapi lu lagi capek. Jadi ya udah deh, gak usah.”
“Emang lu gak ada temen ngobrol di situ?” tanya Dina.
Rayyan tersenyum usil.
“Iya. Di sini gak ada orang yang bisa diajak ngobrol.”
Athaya yang mendengar obrolan Rayyan dan Dina seketika menipiskan bibir. Sangat jelas kalau kini Rayyan sengaja menyindir dirinya.
“Lu dapet kamar sendiri ya?”
“Enggak, Mba. Satu kamar buat dua orang,” kata Rayyan.
“Terus?” Dina kembali heran, “Lu se-kamar sama siapa? Orang dari divisi lain?”
Rayyan tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar pertanyaan Dina.
“Gue se-kamar sama Aya kok, Mba. Tapi gak tau deh dia lagi ke mana,” Rayyan sengaja membuat suaranya lantang.
Sementara itu, Dina yang masih mendengar celotehan Rayyan pun bertanya.
“Kenapa lu gak nelpon Aya?”
“Handphonenya gak dibawa, Mba. Tuh, handphone dia ada di atas tempat tidur. Lagi dipegang sama boneka gede.”
Athaya menarik napasnya dalam-dalam sembari menutup matanya sejenak.
Sialan, gue dibilang boneka—Athaya membatin.
Sementara itu, Dina yang mendengar penuturan Rayyan pun memekik heran.
“Ha? Boneka apaan?”
“Gak tau namanya boneka apaan. Matanya juga mirip sama mata Aya tau, Mba.”
“Lu boongin gue ya?” Dina ketawa, “Aya ada di situ kan?”
“Astaga, serius. Cuma ada bonekanya di sini, Mba. Lu mau liat?” tanya Rayyan.
Rayyan tersenyum puas ketika Athaya akhirnya menoleh ke arahnya dengan tatapan kesal.
“Iya, gue mau liat. Mana?”
“Bentar.”
Rayyan pun berdiri dari tempat tidurnya sebelum menghampiri ranjang Athaya. Dia lalu menyodorkan handphonenya dan berkata dengan suara pelan.
“Nih, ngobrol sama Mba Dina.”
“Ayyan? Mana?” suara Dina menggema, “Kok kamera lu belum nyala?”
Rayyan menunjuk handphone nya yang telah berada dalam genggaman Athaya dengan dagu. Seolah memberitahu Athaya secara tersirat agar segera menyalakan kamera.
Athaya pun menarik napasnya dalam-dalam sebelum mengubah panggilan suara itu menjadi panggilan video. Dia pun refleks tersenyum saat melihat raut kaget Dina.
“Tuh kan! Udah gue tebak sih, kalian pasti bakalan nelpon buat pamer,” Dina terkekeh.
“Gimana kerjaan di kantor, Mba?”
“Bikin gila, Ya. Gue sama Janu sampe lembur tau,” katanya.
“Semangat ya, Mba Dina.”
“Lu sama Rayyan juga semangat ya di sana. Entar pulangnya langsung nge-stock koyo dah lu berdua,” katanya.
Athaya terkekeh, “Iya, Mba.”
“Rayyan mana deh, Ya?” tanya Dina, “Tadi lu dibilang boneka tau sama dia.”
Athaya pun melirik Rayyan yang masih berdiri di samping tempat tidurnya.
“Kalo gue boneka berarti dia patung, Mba.”
Rayyan senyum sebelum ikut duduk di samping Athaya. Masih dengan pandangannya yang beradu dengan netra legam rekan kerjanya itu.
“Gak ada patung yang bisa ngomong sama gerak,” ucapnya sarkas sebelum menoleh ke layar handphone.
“Mba Dina,” panggil Rayyan.
“Apa?”
“Gue sama Aya liburan dulu ya,” ucapnya dengan nada mengejek sebelum ketawa.
“Kurang ajar,” Dina cuma bisa ikut ketawa, “Kalian berdua udah makan malem belum?”
“Belum, Mba.” jawab Athaya, “Tapi bentar lagi sih. Mas Heri juga udah ngechat tadi. Disuruh makan malam dulu abis itu gladi.”
“Mm, ya udah. Makan malem dulu gih. Kalo gladinya cepet beres kan kalian istirahatnya juga bisa cepet,” ucap Dina yang dibalas anggukan oleh Athaya dan Rayyan.
“Mba Dina juga istirahat.”
“Bye, Mba Dina.”
“Bye, Rayyan. Bye, Athaya.”
Setelah panggilan video itu terputus, Athaya pun mengembalikan handphone Rayyan.
“Mas Heri abis ngechat lu?”
Rayyan diam-diam menunggu apakah Athaya akan kembali diam dan gak meresponnya.
“Mm,” jawab Athaya dengan gumaman sebelum bangkit dari tempat tidur.
Rayyan pun hanya mampu menghela napas pelan saat melihat rekan kerjanya itu berjalan keluar dari kamar.