Athaya tersenyum mengejek saat memasuki ruang divisi dan mendapati Rayyan telah ada di meja kerjanya. Rayyan kemudian melirik sekilas ke arahnya, tersenyum tipis sebelum kembali menatap layar komputernya.
Menggeleng pelan, Athaya pun bergegas menuju meja kerjanya yang bersebelahan dengan Rayyan. Tapi belum sempat dia duduk di kursi, mata Athaya lantas menyipit saat mendapati sebuah kotak makanan di mejanya—yang seingatnya sama ketika Tony mengirim siomay.
Bahkan di atas kotak itu pun sudah tersedia sendok dan garpu juga secarik sticky note biru.
Athaya kemudian meraih sticky note itu. Mendapati kalimat yang tertulis di sana adalah:
‘Kali ini lu gak kegeeran :)’
Saat itu pula Athaya gak bisa menahan senyumnya. Dia udah cukup paham kalau sosok yang menyimpan kotak di mejanya itu adalah Rayyan.
Athaya lalu menoleh untuk memandangi sang rekan kerja. Tapi dia justru gak sengaja memergoki Rayyan yang diam-diam menatapnya; entah sejak kapan. Rayyan pun buru-buru membuang muka ke arah komputer sambil menopang dagu dan mengulum senyum saat tatapan mereka berjumpa.
Athaya kembali tersenyum sebelum duduk di kursinya.
Roti yang dibawa Athaya seketika terlupakan. Sebab kini dia lebih memilih untuk membuka kotak di mejanya.
Isinya siomay. Persis seperti yang dikirimkan Tony dahulu.
Sementara itu, Rayyan yang kembali mencuri pandang ke arah Athaya lantas tersenyum saat melihat sang rekan kerja mulai memakan siomay itu. Dia pun menggeser kursinya agar berdekatan dengan kursi Athaya sebelum bersuara.
“Enak ya?”
Athaya mengangguk pelan.
“Mau coba?”
“Mau,” jawab Rayyan.
Ya. Dan seharusnya Rayyan gak terlalu berharap banyak ketika lawan bicaranya adalah Athaya. Sebab dia udah cukup tau; gak akan ada waktu yang terlewati tanpa pertikaian.
Seperti saat ini. Athaya justru hendak menyuapinya dengan pare—yang menjadi salah satu sayur pendamping siomay.
“Kok gue dikasih pare sih?”
“Lu kayak pare soalnya.”
“Maksudnya gue pait gitu?”
Athaya menggeleng, “Lu udah keriputan, kek kulit pare.”
Ucapan Athaya seketika membuat Rayyan menipiskan bibir sembari memicingkan mata. Setelahnya, dia lantas menginjak pelan kaki Athaya hingga empunya melotot.
Gak mau kalah, Athaya pun melakukan hal serupa. Dia menginjak kaki Rayyan dan sukses membuat sang rekan kerja mendesis pelan.
Tapi peperangan keduanya lantas gak berhenti di situ. Sebab Rayyan kini beralih meninju pelan lengan atas Athaya. Membuat Athaya pun refleks membalasnya. Begitu seterusnya sampai Rayyan tiba-tiba memekik kesakitan.
“Gak usah lebay,” kata Athaya.
Sementara itu Rayyan justru terdiam. Dia melirik lengan atasnya sejenak sebelum memeganginya. Dia lalu menggeser kursinya dan kembali menatap ke arah komputer. Gak sedikit pun menoleh ke Athaya yang tengah memperhatikannya.
“Ayyan...”
Athaya menggeser kursinya ke samping kursi Rayyan.
“Tadi gue mukulnya kenceng banget?” tanyanya dengan raut serius, “Mana yang sakit?”
Rayyan diam. Gak menjawab.
“Gue gak sengaja, Yan.”
Athaya menghela napas.
“Coba sini gue liat,” katanya.
Athaya kemudian menuntun Rayyan agar melepaskan tangannya yang sedari tadi memegang lengan atasnya sendiri; dia ingin melihatnya. Tapi Rayyan justru tiba-tiba menoleh lalu tersenyum.
“Jadi gini ya rasanya dikhawatirin sama lu?”
Athaya pun refleks melepas tangannya dari lengan atas Rayyan sebelum memukuli belakang kepala lelaki itu.
“Aduh! Kok gue ditabok sih?” Rayyan mendesis sambil mengusap belakang kepalanya, “Yang ini beneran sakit, Aya.”
“Bodo.”
“Keknya gue udah geger otak. Gue cuma bisa nginget nama lu.”
Athaya mendengus sembari menahan senyum. Dia lalu menggeser kursinya hingga kembali ke tempat semula. Sementara Rayyan terkekeh pelan sebelum kembali melanjutkan pekerjaan—sekaligus rutinitas paginya.
Tapi gak lama setelah itu, Athaya lantas menyodorkan sesendok siomay ke depan mulut Rayyan. Membuat sang rekan kerja sedikit terkejut; tapi pada akhirnya Rayyan menerima suapan Athaya.
Keduanya pun saling berbagi senyum tipis sejenak sebelum Rayyan kembali menoleh ke arah komputer. Sementara Athaya lantas melirik ke arah lengan atas sang rekan kerja.
Rayyan hanya memakai baju kaos sejak Athaya masuk ke ruang divisi tadi—sebab sang rekan kerja menyampirkan kemejanya di dinding sekat. Alhasil, saat ini Athaya bisa melihat bahwa spot yang dia pukuli tadi memerah.
Athaya kemudian menekan pelan spot itu dengan telunjuk. Membuat Rayyan refleks mengerang seraya menoleh.
“Maaf,” ucap Athaya.
Athaya lalu mengusap lembut bekas kemerahan di lengan atas Rayyan dengan ibu jarinya. Sementara Rayyan yang melihat tatapan khawatir sang rekan kerja lantas mengulum bibir.
“Sakit banget ya?”
“Gak kok. Gak usah minta maaf. Kita kan cuma main-main tadi,” kata Rayyan, “Lu gimana? Ada yang sakit gak?”
“Gak ada,” Athaya menelan ludah.
“Lu... Mau kopi gak?”
“Boleh,” jawab Rayyan.
Athaya mengangguk paham lalu bangkit dari kursinya. Sementara Rayyan justru menyandarkan punggung di badan kursi sebelum tubuhnya perlahan merosot hingga dia berakhir melantai; tepat di bawah meja.
Di sana pula Rayyan seketika memeluk lutut sembari menenggelamkan wajahnya; sekaligus menahan hasrat untuk tidak berteriak. Sampai dia gak sadar kalau Athaya kembali berjalan ke sekat meja mereka.
“Yan, gulanya—lah?”
Athaya melongo saat melihat Rayyan justru berada di bawah meja. Sementara Rayyan yang mendengar suaranya panik dan bergegas untuk bangkit.
Sayangnya, nasib baik gak berpihak kepada Rayyan. Sebab saat hendak berdiri, kepalanya justru membentur sisi meja. Dia memekik kesakitan—lagi.
Athaya yang melihatnya pun ikut panik. Sebab kini Rayyan berdiri, meringis sembari memegangi kepalanya. Alhasil, dia pun menghampiri Rayyan dengan berdiri tepat di hadapannya.
“Yan, coba liat jari gue. Ini berapa?” tanya Athaya seraya mengacungkan satu jarinya.
“Ya, kepala gue sakit karena kejedot meja, bukan mabok.”
Athaya mengangguk lalu ikut mengusap kepala Rayyan dengan tatapan khawatir dan kasian. Tapi persekian detik berikutnya; tepatnya saat pandangan mereka bertemu, baik itu Athaya maupun Rayyan lantas tertawa lepas. Keduanya seolah tersadar jika mereka seperti orang bodoh.
“Lagian lu ngapain di bawah meja sih, anjing?” tanya Athaya dengan sisa tawanya.
Rayyan gak menjawab. Dia justru sibuk senyam-senyum sambil natap wajah Athaya.
Athaya yang menyadari hal itu pun seketika berdeham. Dia lalu meninju pelan perut Rayyan sebelum bersuara.
“Kenapa lu natap gue kek gitu?”
“Gue seneng banget liat lu ketawa lepas kayak tadi.”
Rayyan meraih tangan Athaya yang masih bertengger di atas kepalanya. Dia kemudian menggenggamnya, menatap jemari mereka yang bertaut sejenak lalu kembali memandangi wajah Athaya.
“Ya, bisa gak sih gue liat lu ketawa kek tadi lebih lama?”
“Kenapa emang?”
“Ketawa lu tadi tuh precious banget tau,” katanya, “Apa kepala gue perlu kejedot lagi nih?”
Athaya menahan senyumnya.
“Ya udah, sini biar gue bantu supaya kepala lu kejedot lagi.”
Rayyan terkekeh. Dia lalu mencubit pipi kanan Athaya sebelum berkata, “Itu sih gak kejedot—tapi dijedotin, Aya.”
Athaya menepis tangan Rayyan.
“Apa sih? Kok cubit-cubit?”
“Gue gemes sama lu,” jawab Rayyan, “Gue ada di bawah meja tadi juga gara-gara gemes banget sama lu, Athayaaa.”
“Ayyan, anjing! Sakit!”
Athaya memekik sembari memukuli lengan Rayyan. Sebab rekan kerjanya itu mencubit kedua pipinya.
“Lagi ngapain lu berdua?”
Baik itu Athaya maupun Rayyan buru-buru melepas tautan mereka saat suara Janu menggema. Mereka pun menoleh ke arah sang rekan kerja yang tengah berjalan menuju sekat meja mereka.
“Tuh, si Aya nyari gara-gara.”
“Lu yang mulai, Ayyan.”
“Bikin kopi sana.”
“Gulanya banyak apa dikit, jing?”
“Ya dikit aja, anjing. Lu mau bikin kopi apa larutan gula sih?”
Janu melongo melihat dua rekan kerjanya itu. Dia pun cuma bisa geleng-gelengin kepala heran.