Hari ini menjadi kali pertama Athaya datang sedikit lebih lambat ke kantor. Membuat Rayyan yang menunggunya sejak pagi buta di ruang divisi, dengan niat ingin meluruskan segala sesuatu yang telah terjadi, lantas harus menahan diri sedikit lagi.
Rayyan menunggu waktu yang pas untuk mereka berbicara empat mata dengan tenang.
Sampai saat jam istirahat makan siang telah tiba, Rayyan lalu menoleh ke arah Athaya. Menepuk pundak rekan kerjanya itu sejenak sebelum berbisik.
“Kita ngobrol bentar ya?”
Rayyan pun tersenyum lega saat Athaya memberi respon anggukan. Mereka berdua lalu membiarkan satu persatu karyawan untuk keluar dari ruang divisi terlebih dahulu, termasuk Dina dan Janu.
Hening sesaat.
Rayyan memandangi wajah Athaya lekat-lekat sejenak sebelum meraih jemarinya. Menggenggamnya, bersama raut wajah penuh sesal nan sedu.
“Ya, maafin gue.”
Athaya menatap mata Rayyan.
“Kenapa lu minta maaf?”
“Soal yang kemarin,” jawab Rayyan, “Maaf, gue telat.”
“Gue juga kecewa banget sama diri gue sendiri, Ya.”
“Gue pengen jadi orang yang selalu jagain lu dan gak mau lu dalam bahaya. Tapi gue—”
“Nolongin Mba Dina?”
Athaya memotongnya.
“Mba Dina ada di sana, manggil gue, jadi gue bantuin dia dulu.”
Rayyan menjelaskan.
“Tapi yang gue pikirin cuma lu, Aya. Gue nyariin lu. Gue hampir gila karena gak liat lu di mana-mana kemarin,” sambungnya.
“Gue takut lu kenapa-kenapa.”
“Loh? Lu gak perlu minta maaf,” balas Athaya, “Lu udah ngelakuin hal yang bener kok. Mba Dina juga dalam bahaya kemarin, jadi masalahnya di mana?”
“Lu juga gak perlu ngejelasin ini ke gue. Lu gak harus maksa diri lu buat jadiin gue prioritas.”
Athaya lalu melirik jemarinya yang digenggam oleh Rayyan.
“Dan mungkin dari kejadian kemarin, lu bisa ngeliat hati lu sendiri sebenarnya ada di mana.”
Athaya menghela napas lalu menghindari tatapan Rayyan.
“Ya, gue cinta sama lu.”
“Lu gak cinta sama gue selama di hati lu masih ada orang lain, Yan.”
“Gak ada orang lain di hati gue. Cuma lu. Lu doang, Athaya.”
“Tapi kemarin lu milih Mba Dina, bukan gue,” katanya, “Jadi udah, lu harus berhenti deketin gue.”
“Sampai sini aja ya, Yan? Gak usah diterusin. Mungkin lebih baik kalo kita kembali kek dulu.”
“Yang gak se-deket ini. Yang gak saling ngasih perhatian.”
Rayyan menggeleng lemah. Dia lalu turun dari kursinya, duduk bersimpuh pada lantai tepat di depan kaki Athaya. Masih dengan jemari mereka yang bertautan.
“Ya, gue harus gimana?”
“Gue harus ngelakuin apa supaya lu percaya sama gue?”
Mata Rayyan berkaca-kaca.
“Kalau aja kemarin gue bisa nukar nyawa gue supaya lu gak dalam bahaya, gue rela.”
Rayyan kemudian menunduk. Beralih melipat kedua lengan di atas lutut Athaya sebelum menenggelamkan wajahnya di sana. Dan hanya persekian detik setelahnya, air mata Rayyan mengalir deras. Dia terisak.
“Gue gak mau berhenti, Aya.”
“Gue cinta sama lu.”
“Cuma lu yang gue mau.”
Rayyan berucap dengan suara bergetar di sela tangisnya.
Sampai gak lama berselang, Rayyan kemudian dibuat kaget saat Athaya menuntunnya agar mendongak. Athaya menangkup kedua pipinya, menatapnya.
Tapi rasa kaget Rayyan pun berganti menjadi rasa bingung, sebab Athaya tiba-tiba meraih handphone dari atas mejanya. Memposisikan handphone itu tepat di depan wajahnya, hingga suara jepretan menggema.
Setelahnya, Athaya tertawa. Begitu puas sampai Rayyan justru gak tau harus berkata apa.
“Satu sama,” kata Athaya lalu menjulurkan lidah, “Gue juga udah punya foto lu pas nangis.”
“Aya.”
“Mm?”
Athaya tersenyum.
“Lu gak marah?”
“Emang kata siapa kalo gue marah?” dia ikut bertanya.
Raut wajah Rayyan terlihat frustasi sekaligus bingung. Sementara Athaya kembali menahan tawanya. Dia lalu menghapus jejak air mata di pipi Rayyan sejenak sebelum berkata.
“Gue tau kok lu nyariin gue.”
Athaya tersenyum mengejek.
“Kan udah gue bilang, suara lu tuh jelek. Kenapa lu teriak-teriak kek gitu sih kemarin hah?”
Rayyan mengulum bibirnya.
“Jangankan gue yang masih ada di ruangan, orang-orang di luar gedung kantor keknya bisa dengerin suara lu juga tau gak?”
Athaya terkekeh pelan seraya mengusap lembut pipi Rayyan.
“Makasih ya udah nyariin gue,” ucapnya lalu menoyor kepala Rayyan, “Meskipun keduluan sama Mas Heri. Kalah lagi lu.”
“Tapi lu beneran gak marah kan? Lu percaya sama gue kan, Ya?”
Athaya tersenyum lembut lalu mengangguk pelan, “Iya. Tadi gue cuma becandain lu kok.”
“Tapi kemarin lu gak mau liat gue. Lu gak mau ngomong sama gue,” lirih Rayyan, “Lu juga gak bales chat gue semalem.”
“Gue stress banget mikirin lu, Aya anjing,” ucapnya kesal.
“Terus lu pikir gue gak stress liat lu megangin tangan Mba Dina, Ayyan anjing?” balas Athaya.
“Jadi kemarin lagi ngambek ceritanya?” goda Rayyan.
“Mm,” gumam Athaya.
Rayyan gak mampu menahan senyumnya. Dia pun beralih menggenggam jemari Athaya, begitu erat, seraya menatap ke dalam netra legam yang kini telah menjadi pusat semestanya.
“Cuma tangan lu yang gue genggam kayak gini, botak.”
Athaya kembali tersenyum.
“Kemarin gue megang tangan Mba Dina karena dia mau ikut nyariin lu,” jelas Rayyan, “Kan berabe kalo aja dia asal lari.”
“Mm, gue ngerti kok.”
Rayyan akhirnya menghela napas lega, dia ikut senyum. Tapi setelah itu, Athaya justru menahan tawa melihat mata Rayyan berkaca-kaca—lagi.
“Lu kenapa, anjing?”
Rayyan gak menjawab. Dia cuma menggeleng pelan sebelum menutup wajahnya sendiri dengan satu tangan.
Rayyan malu, namun juga terharu. Sebab baru kali ini dia menangis di hadapan Athaya.
Athaya yang melihat hal itu pun menyemburkan tawanya sebelum beralih memeluk leher Rayyan. Satu tangannya lalu mengusap belakang kepala lelaki dalam dekapannya itu.
“Pacar gue lucu banget sih.”
Gumaman Athaya membuat detak jantung Rayyan seakan berhenti sesaat. Dia lalu buru-buru melepaskan tautan mereka, beralih menatap wajah Athaya.
“Apa? Yang lucu siapa?”
Athaya mengulum senyum lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Rayyan.
“Pacar gue,” bisiknya, “Gue mau jadi pacar lu, Rayyan.”
Rayyan mengulum bibirnya. Dia kemudian berdiri, tanpa melepas tatapannya dari Athaya yang seketika menautkan alis heran.
“Apa?” tanya Athaya.
“Tunggu di sini bentar ya.”
Athaya melongo melihat Rayyan berlari menuju rest room. Tapi gak lama berselang, dia justru dibuat tertawa ketika mendengar suara Rayyan dari arah sana.
Rayyan berteriak histeris, seperti supporter bola yang melihat pemain andalannya mencetak gol. Tapi gak lama setelah itu, Rayyan kembali ke hadapan Athaya yang masih ketawa.
“Lu gak becandain gue kan?”
“Enggak,” kata Athaya lalu menarik kursi Rayyan agar mendekat dengan kursinya.
“Duduk dulu. Gue masih mau ngomong,” dia melanjutkan.
Rayyan pun menurut. Dia duduk di samping Athaya sambil senyam-senyum. Terlebih ketika Athaya menggenggam jemarinya.
“Lu tau gak sih, Yan? Kemarin tuh gue kira, gue bakal mati.”
“Gue takut,” tutur Athaya, “Tapi gue langsung inget sama lu. Gue berharap lu datang, nyari gue.”
“Abis itu gue denger suara lu,” Athaya senyum, “Dan di situ, ketakutan gue ilang. Gue tiba-tiba gak takut mati lagi.”
“Karena se-enggaknya, gue udah tau kalo lu ternyata nyariin gue.”
Rayyan menyimak sembari mengusap punggung tangan Athaya dengan ibu jarinya. Dia mencium spot itu sejenak hingga Athaya kembali bersuara.
“Tapi abis itu gue kepikiran.”
“Gimana kalo gue mati? Gue kan belum sempet bilang ke lu, kalo gue sayang sama lu.”
Rayyan terkekeh. Dia lalu mengacak-acak rambut Athaya dengan satu tangan.
“Yan.”
“Mm?”
“Gue sayang sama lu.”
Rayyan tersenyum haru. Sementara Athaya beralih mengusap pipi kanan Rayyan.
“Gue udah tidur semalem pas lu nge-chat. Kata Yasa, lu abis ke rumah ya?” tanyanya.
“Mm,” Rayyan tertawa kecil, “Gue diusir sama Mami lu tau.”
“Mami bilang apa ke lu?” Athaya menatap Rayyan khawatir.
“Mami ngomelin lu?”
“Gak kok,” jawab Rayyan, “Mami lu cuma nyuruh gue pulang.”
“Soalnya semalem, alasan gue datang dan ikut sama Yasa emang cuma buat bawain tas lu yang ketinggalan di kantor.”
Athaya menghela napas, “Padahal gue pengen Mami ngomelin lu sampe mampus.”
“Bangsat lu.”
Keduanya tertawa kecil.
“Maafin Mami ya,” ucap Athaya.
“Gak apa-apa,” kata Rayyan, “Lagian, sekarang kita udah pacaran. Udah saling sayang.”
“Dan gue yakin, kita bisa ketemu kek gini lagi pasti ada alasannya.”
“Selain karena alasan cinta, mungkin alasan lainnya supaya hubungan orang tua kita bisa kembali baik lagi nantinya.”
Athaya mengangguk setuju.
“Gue juga berharap kayak gitu, Yan. Capek juga gak sih sembunyi-sembunyi gini mulu?”
“Mm,” Rayyan bergumam setuju.
“Jadi kapan?”
Athaya menautkan alisnya heran.
“Kapan apanya?”
“Kapan lu siap ketemu sama Mama Papa gue di rumah?”