Rayyan dan Heri berlari ke arah pusat keramaian, tepatnya di lantai enam. Keduanya mencari rekan kerja mereka, Athaya dan Dina, yang belum juga nampak batang hidungnya.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Rayyan kemudian bertanya kepada salah satu karyawan yang dia ketahui bekerja pada divisi di lantai itu.

Hingga jawaban yang Rayyan dapatkan adalah, masih ada beberapa orang terjebak di sekitar pusat kebakaran. Mulai dari ruang administrasi—dimana arus pendek listrik bermula sampai akhirnya kobaran api menjalar begitu cepat dan melahap habis perlengkapan kantor, yang umumnya kertas.

Napas Rayyan tercekat. Lututnya lemas. Dan tanpa pikir panjang dia lantas berlari menuju tempat di mana kobaran api masih berusaha dipadamkan. Heri yang melihat Rayyan pun seketika mengikutinya. Sesekali memekik agar Rayyan tetap berhati-hati.

Namun Rayyan yang seolah telah hilang akal terus berlari kencang menuju ruangan dimana seharusnya Athaya dan Dina berada. Sesampainya di sana, Rayyan kemudian mengedarkan pandangannya. Sempat terbatuk karena asap menyambutnya.

“Athaya!”

Rayyan berteriak.

“Aya!”

Rayyan terus mencari, selagi beberapa orang silih berganti melewatinya dengan tampang panik. Namun nihil, Athaya gak ada di antara mereka.

“Botak! Lu di mana?”

Rayyan berteriak frustasi sembari terus mencari keberadaan Athaya.

“Athayaaaa!”

“Ayyan!”

Rayyan menoleh ketika seseorang memanggilnya. Dia pun tersentak saat mendapati Dina berdiri gak jauh darinya.

Dina terjebak.

Alhasil, Rayyan menghampiri rekan kerjanya itu. Bergegas menuntunnya untuk pindah ke tempat yang sedikit lebih aman, supaya gak terkena percikan api.

“Mba Dina, lu gak apa-apa?”

“Gue gak apa-apa, Yan.”

“Aya mana?”

“Gue gak tau, Yan. Tapi tadi dia izin keluar dari ruang rapat buat ngangkat telponnya,” kata Dina.

“Di luar gak ada juga?”

“Gak ada, Mba.”

Mereka sama-sama panik. Tapi Rayyan segera mengatur napasnya agar dia bisa berpikir jernih meski sedikit.

“Ya udah, lu keluar dulu,” kata Rayyan, “Lewat sini, Mba.”

“Gak, gue mau nyari Athaya.”

“Di sini banyak asap, Mba Dina. Biar gue yang nyari Aya.”

Rayyan semakin frustasi.

“Tapi gue yang ngajak Aya ke sini, Yan. Kalo dia kenapa-kenapa, gue yang tanggung jawab. Gue mau ikut nyari dia.”

Rayyan mendesis pelan lalu menggenggam pergelangan tangan Dina, “Jangan lepasin tangan gue. Jangan asal lari.”

Dina mengangguk paham sebelum mengikuti langkah kaki Rayyan. Mereka sama-sama berjalan ke arah lain yang masih berada dalam area pusat kebakaran. Dan saat itu pula Rayyan juga Dina sama-sama menahan napasnya ketika mendapati Athaya tengah dibantu berjalan oleh Heri. Wajahnya pucat, napasnya pun terlihat begitu pendek.

Pada saat tatapan Rayyan dan Athaya bertemu, keduanya hanya saling memandangi dengan tatapan sedu sebelum Athaya akhirnya memutus kontak mata lebih dulu. Athaya lalu mengikuti langkah kaki Heri yang menuntunnya untuk segera keluar dari ruangan dengan kabut asap tebal itu.

Rayyan dan Dina pun mengikuti mereka. Keduanya menatap kosong ke arah Athaya juga Heri hingga mereka sampai di tempat yang aman dan jauh dari api.

“Mas Heri,” panggil Athaya lirih.

Rayyan yang gak henti-henti memerhatikan Athaya pun ikut mendekat. Meski bukan namanya yang baru saja Athaya sebut.

“Iya, Aya?”

“Dada saya sakit, Mas.”

“Saya mau duduk,” sambung Athaya sekuat tenaga. Sebab rasa sesak telah mencekiknya.

“Mas, Athaya langsung di bawa ke klinik aja. Dia punya riwayat asma,” ucap Rayyan panik.

“Kayaknya kambuh gara-gara banyak asap tadi,” timpalnya.

Heri mengangguk lalu menuntun Athaya menuju lift. Mereka berempat masuk ke sana, masih dengan Athaya yang berusaha mengatur deru napasnya.

“Tadi, pas saya ngeliat Athaya, dia emang udah sesak kayak gini. Dia sampe gak bisa jalan lagi. Dia duduk, nyender di tembok.”

Mendengar penjelasan Heri membuat dada Rayyan sakit.

Ketika lift akhirnya terbuka, Rayyan memposisikan dirinya. Dia buru-buru berjongkok di depan Athaya, membuat Heri juga Dina mengerutkan keningnya kebingungan.

“Saya mau gendong Athaya, Mas.”

“Gak usah,” gumam Athaya seraya menggeleng lemah, “Bantu saya jalan aja, Mas. Mba.”

Heri juga Dina dengan sigap menuntun lengan Athaya agar bertengger di pundak mereka. Sementara Rayyan kembali berdiri tegak, menatap kosong ke arah Athaya yang telah berjalan lebih dahulu bersama Heri dan Dina. Dia kemudian mengekor di belakang.

Sesampainya di klinik, Athaya langsung diberi pertolongan pertama. Setelahnya dokter klinik selaku pihak medis pun memberikan penanganannya.

Heri, Rayyan, juga Dina pun masih setia menunggunya. Ketiganya berdiri di samping ranjang rawat klinik sembari menatap Athaya dengan perasaan khawatir; tapi juga sedikit rasa lega, karena gak ada luka bakar di tubuhnya.

“Dina, kamu gak apa-apa kan?” Heri bertanya, “Gak ada luka?”

Dina memaksakan senyum lalu menggeleng lemah.

“Gak ada kok, Mas. Aman.”

“Abis ini Aya langsung dianterin pulang aja ya? Biar bisa istirahat di rumah,” tutur Heri.

“Tapi jam segini Mami Papi Aya masih di kantor, Mas. Gak ada siapa-siapa di rumahnya,” ucap Rayyan lalu melirik Athaya.

“Eh? Gak ada orang di rumah Aya?” timpal Heri.

“Iya, Mas. Tapi saya mau nelpon Mami saya, supaya izin pulang.”

Athaya lalu melirik ke arah meja di samping ranjang rawat sejenak, mencari handphonenya, sebelum kembali menatap Heri.

“Mas Heri...”

Mulut Rayyan terasa pahit saat dia lagi-lagi mendengar Athaya memanggil Heri. Bukan dirinya yang sedari tadi berharap Athaya akan melihatnya, meski sedetik.

“Iya, Aya?”

“Handphone saya mana ya, Mas?” tanyanya, “Saya pengen ngabarin Mami saya. Biar Mami aja yang jemput saya di kantor.”

“Gak usah, Ya. Saya aja yang nganterin kamu pulang ya?”

“Kalo gak ngerepotin, Mas.”

“Saya gak repot kok, Ya.”

“Ya udah, kamu kabarin Mami kamu dulu.”

Heri lalu merogoh saku celananya dan menyodorkan handphone Athaya yang dia ambil saat menyelamatkan bawahannya itu tadi.

Sementara itu, Rayyan yang masih menatap Athaya lekat-lekat lantas menelan ludahnya sekuat tenaga. Tenggorokannya sakit. Athaya jelas gak mau melirik sedikit pun ke arahnya atau pun berbicara dengannya. Dan Rayyan yakin, saat ini Athaya sedang kecewa padanya.

Sebab dia pun begitu.

Rayyan kecewa pada dirinya sendiri, sebab dia justru gak menjadi sosok yang menyelamatkan Athaya.

***

“Di sini, Ya?”

“Iya, Mas.”

Athaya menipiskan bibirnya saat laju mobil Heri terhenti tepat di depan rumahnya. Dia pun menoleh, menatap lelaki dengan senyum se-tenang hembusan angin pagi itu sebelum bersuara.

“Mas Heri, sekali lagi makasih banyak udah nolongin saya.”

“Udah, gak usah dipikirin. Kamu udah bilang makasih berapa kali deh dari tadi, Ya.”

Heri terkekeh sementara Athaya menatap jemarinya yang saling bertautan sesaat.

“Kamu pengen ngomong sesuatu?” tanya Heri.

Melihat gelagat Athaya yang gak bergeming dan terkesan ingin berbicara—namun ragu, membuat Heri penasaran. Sementara Athaya seketika menganggukkan kepala pelan.

“Mas, saya boleh nanya sesuatu?”

“Silakan.”

Athaya berdeham pelan.

“Mas Heri emang selalu baik kek gini ke semua orang ya?”

Heri tersenyum tipis, “Saya terlalu jelas ya, Athaya?”

“Maksudnya, Mas?”

Heri menghela napas pelan, kedua bola matanya menatap Athaya begitu dalam.

“Saya terlalu jelas nunjukin kalau saya tertarik sama kamu.”

Athaya menelan ludah.

“Kamu risih ya?” timpal Heri.

“Gak, Mas. Tadi saya cuma... Penasaran,” jawab Athaya.

Heri mengangguk paham.

“Athaya.”

“Iya, Mas?”

“Saya boleh kan suka sama kamu?”

Athaya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

“Perasaan Mas Heri itu hak Mas Heri,” katanya, “Mas Heri boleh suka sama siapa aja.”

“Termasuk saya,” timpalnya.

“Tapi kalau Mas berharap supaya saya membalas perasaan, Mas...”

Athaya menggantungkan ucapannya sejenak sembari menimbang kembali apakah keputusannya kali ini benar. Tapi pada akhirnya Athaya pun memantapkan tekad.

“Maaf, saya gak bisa,” katanya.

“Saya suka dan senang bisa kenal sampai dekat gini sama Mas.”

“Tapi saya udah nganggap Mas Heri sebagai kakak. Atasan.”

“Jadi kalau konteks sukanya udah lebih dari itu, saya rasa perasaan kita gak bisa sama dan berbalas.”

Heri mengangguk diikuti senyum di bibirnya yang tetap tenang.

“Kamu udah punya pacar ya?”

Athaya menggeleng, “Gak, Mas. Saat ini saya gak punya pacar.”

“Terus Rayyan?”

Pada detik itu juga Athaya diam.