Semenjak mendapati Athaya berdiri di depan pintu kamar sang Mami, Rayyan lantas paham bahwa pacarnya itu sudah mendengar semuanya. Athaya mendengar semua yang dikatakan Mami padanya.
Athaya, memang, gak mengatakan apa-apa setelahnya. Seolah gak ingin menyinggung segala sesuatu yang berhubungan dengan pembicaraan Mami dan Rayyan.
Tapi ketika Athaya menawarkan diri untuk menemani Rayyan, yang berpamitan ingin pulang, ke halaman depan—sorot matanya dipenuhi dengan luka. Rayyan amat sakit melihatnya.
Dan kini, keduanya justru berakhir terjebak hening di dalam mobil. Sebab Athaya tiba-tiba ikut masuk, hingga pacarnya itu belum juga pulang.
Detik demi detik pun berlalu. Kini sudah nyaris lima belas menit semenjak Rayyan dan Athaya hanya terdiam. Dengan Athaya yang bergelayut pada lengan Rayyan sembari bersandar pada bahunya. Sementara matanya menatap kosong ke dashboard.
“Aya,” panggil Rayyan dengan suaranya yang begitu lembut.
Athaya mendongak, “Mm?”
“Lu masuk sekarang ya? Papi sama Mami lu pasti nunggu.”
Senyum hambar di bibir Athaya membuat Rayyan tercekat. Terlebih, ketika dia melihat mata Athaya berkaca-kaca.
“Yan, gue ngerasa lu gak bakal kembali lagi kalau gue ngebiarin lu pergi.”
Athaya semakin mengeratkan tautan lengannya dengan Rayyan, “Jangan tinggalin gue.”
“Lu ngomong apa sih, hm?”
Rayyan mengusap pelan puncak kepala Athaya, “Gue gak bakal kemana-mana, Ya.”
“Besok kita juga bakal ketemu kok di kantor,” sambungnya.
“Kita gak bakal ketemu, Yan.”
“Ketemu,” balas Rayyan.
“Enggak,” sela Athaya.
Rayyan mendengus, “Emang lu mau ke mana, gue tanya?”
“Besok tanggal merah, anjing.”
“Oh iya,” Rayyan cengengesan.
Keduanya pun saling berbagi senyum tipis sejenak, meski sangat jelas bahwa tarikan bibir mereka dipaksakan. Setelahnya, Athaya dan Rayyan lantas berpelukan. Begitu erat, seolah ada daya magnet yang merekat.
“Gue gak mau masuk,” gumam Athaya, “Gue belum sanggup buat ngeliat wajah Mami, Yan.”
Rayyan mengangguk paham.
“Gue juga gak mau pulang ke rumah,” katanya, “Gue belum siap ketemu Mama sama Papa.”
Athaya lalu melepas dekapannya, beralih menatap pacarnya.
“Bawa gue pergi malam ini.”
“Ke mana?”
“Ke mana aja, asal bareng lu.”
Rayyan berpikir sejenak.
“Tapi lu izin dulu ya sama Papi,” katanya, “Ngeri, entar kita dikira mau kawin lari.”
“Lu gak mau nyoba?”
“Nyoba apa?” tanya Rayyan.
“Kawin lari,” kata Athaya.
Rayyan berdecak pelan lalu menoyor kepala pacarnya.
Athaya tersenyum.
“Gue bakal ngabarin Papi kok entar,” katanya, “Tapi bawa gue pergi sekarang ya? Gue capek.”
Ya. Athaya capek dengan semuanya. Mungkin dirinya terkesan ingin lari dari kenyataan, tapi enggak. Dia cuma butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya bersama orang yang dicintainya. Meski sesaat.
***
“Ya, lu abis nelpon room service gak?” tanya Rayyan.
Athaya yang semula lagi duduk sambil ngelamun sendiri di tepi ranjang hotel—dimana dia dan Rayyan berada saat ini—pun menoleh ke arah kamar mandi. Mendapati sang pacar keluar dari sana setelah membersihkan tubuhnya sejenak. Meski masih dengan pakaian yang sama. Sebab Rayyan sama sekali gak pulang ke rumah, bahkan sebelum menjenguk Mami tadi.
“Gak,” jawab Athaya, “Kenapa?”
Rayyan pun nyamperin Athaya. Dia duduk di samping pacarnya itu sebelum mencubit pipinya.
“Malah nanya,” Rayyan berdecak, “Lu belum makan malam.”
Athaya menggeleng.
“Gue gak laper, Yan.”
“Ya udah,” Rayyan kemudian mengedikkan bahu, “Gue sih mau makan. Laper dari tadi.”
Athaya hanya mengulum senyumnya melihat Rayyan meraih gagang telepon di atas nakas. Tapi sebelum pacarnya itu melakukan panggilan—untuk room service, Rayyan justru kembali menoleh ke arahnya.
“Gue enaknya makan apa ya?”
“Ya mana gue tau. Kan lu yang mau makan, anjing.”
Rayyan berdecak.
“Tapi kalau misalnya lu jadi gue, lu bakal mesen apa?”
“Gue bakal mesen makanan yang gue suka,” jawab Athaya.
“Iya, tau. Tapi makanan yang lu suka itu contohnya apa?”
“Nasi goreng.”
“Minumnya?”
“Wine.”
Jawaban Athaya membuat Rayyan refleks menipiskan bibir sebelum menyentil kening pacarnya itu. Tapi Athaya justru terkekeh pelan.
“Wine, wine,” Rayyan ngomel, “Noh, pop ice rasa strawberry di depan SD masih banyak.”
“Tapi kan gue udah gede.”
Rayyan hanya tersenyum mengejek sebelum menelpon layanan room service hotel.
“Halo, Mba?”
Athaya menyimak.
“Saya pesen nasi gorengnya satu, minumnya air mineral.”
“Oh iya, Mba. Kalau bisa, timunnya dibanyakin ya? Dikasih fee tambahan juga gak apa-apa.”
Athaya lalu tersenyum.
Sementara itu, Rayyan yang telah memutus sambungan telepon dengan layanan room service pun menyipitkan mata.
“Kenapa lu senyam-senyum?”
“Gue lagi ibadah,” jawab Athaya dengan candaan khas Rayyan.
Sejenak, keduanya terdiam. Hanya saling memandangi wajah satu sama lain lekat-lekat. Hingga saat Rayyan meraih jemari pacarnya, dia berkata.
“Ya, gue tau apa yang udah Mama sama Papa lakuin ke Mami tuh gak mudah buat dimaafin.”
“Tapi gue minta maaf ya?”
Athaya menghela napas.
“Yan, jangan bahas ini dulu bisa?”
“Gue cuma pengen ngelupain semuanya sejenak di sini.”
Rayyan mengangguk paham seraya mengusap pipi Athaya.
“Ayyan.”
“Mm?”
“Lu nyesel gak sih jatuh cinta sama gue?” tanya Athaya.
“Gak,” jawab Rayyan, “Lagian, kenapa gue harus nyesel?”
“Justru gue bakal nyesel kalau gak pernah jatuh cinta sama lu.”
Rayyan menarik napasnya.
“Semenjak jatuh cinta sama lu, gue selalu berusaha buat jadi versi terbaik dari diri gue.”
“Gue tau kok, kalau lu nerima gue apa adanya. Tapi gue selalu pengen jadi yang terbaik buat lu.”
“Gue selalu pengen jadi orang yang bisa lu andelin. Orang yang bisa jadi tempat lu bergantung. Orang yang bisa nemenin lu jadi versi terbaik dari diri lu juga.”
“Because it’s not just about me,” jelasnya, “It’s about us, Aya.”
“Lu bawa energi positif ke dalam diri gue. Lu jadi motivasi gue.”
“Jadi gue gak akan pernah nyesel karena jatuh cinta sama lu.”
Tanpa sadar, air mata Athaya menetes. Membuat Rayyan yang melihatnya buru-buru menyeka pipi pacarnya yang telah basah.
“Kalau lu gimana?” balas Rayyan, “Lu nyesel gak cinta sama gue?”
“Mm, gue nyesel.”
Suara Athaya begitu lirih.
“Gue nyesel karena cinta sama lu gak dari dulu,” katanya.
Rayyan menahan senyum.
“Gue nyesel karena sadar kalau udah begitu banyak waktu gue yang terbuang sia-sia buat gak suka, bahkan benci sama lu.”
“Padahal, kalau aja gue udah jatuh cinta sama lu dari dulu, mungkin sekarang gue gak bakal ngerasa se-sakit ini.”
Lagi, air matanya jatuh.
“Kita baru aja memulai jadi dua orang yang saling mencintai, tapi kita udah harus dihadapkan sama kenyataan pahit gini.”
“Kita baru aja ketemu sama bahagia kita masing-masing, tapi udah harus dibikin pupus lagi.”
Rayyan gak mengatakan apa-apa. Dia hanya membawa Athaya ke dalam dekapannya. Sementara satu tangannya mengusap lembut punggung pacarnya.
“Gue cinta sama lu, Yan.”
Pertahanan Rayyan runtuh. Air matanya ikut mengalir deras hanya dengan mendengar kata cinta terucap dari bibir Athaya.
“Gue juga cinta sama lu, Ya.”
Suaranya bergetar.
Athaya terkekeh.
“Lu nangis?”
“Mm,” gumam Rayyan.
“Suara lu jelek banget, anjing. Kek lagi nahan boker tau gak?”
“Bangsat,” Rayyan ikut terkekeh.
Keduanya pun melepaskan dekapan mereka, kembali saling berbagi tatap sejenak. Setelahnya, Rayyan lantas membingkai wajah Athaya. Perlahan mendaratkan kecupan demi kecupan mulai dari kening, kelopak mata, pipi, hidung hingga bibir tipis Athaya.
Athaya tersenyum dibuatnya.
“Yan, rugi gak sih kalau kita check-in tapi gak ngewe?”
Rayyan refleks melotot. Sementara Athaya yang udah tau akan bagaimana reaksi pacarnya itu lantas ketawa sebelum menghindar. Sebab Rayyan udah bersiap buat nyentil keningnya.
Tapi usaha Athaya itu gagal. Sebab Rayyan, justru, dengan sigap mendekap erat tubuhnya. Rayyan lalu mendorong dia pelan hingga berakhir terlentang di atas ranjang. Mengungkungnya.
“Jangan nge-tes gue,” ucap Rayyan tepat di depan bibir Athaya, “Gue bisa jadi orang lain kalau gak lagi nahan diri.”
Athaya mengulum senyum sebelum mengangkat kepala. Dia mengecup bibir Rayyan yang masih mengungkungnya.
“Kok lu gak takut sih?”
Rayyan bertanya setelah tautan bibir mereka terlepas. Bersamaan dengan kepala Athaya yang kembali jatuh di atas bantal. Setelahnya, Rayyan pun memutuskan untuk ikut berbaring menyamping di sisi kanan pacarnya. Satu tangannya menyanggah kepalanya. Alhasil, dia bisa dengan leluasa memandangi wajah Athaya.
“Kenapa gue harus takut?” balas Athaya, “Gue kan cinta sama lu.”
“Lu itu orang yang selalu gue harap paling bisa ngerti gue, both physical and emotional. Begitu pun sebaliknya, gue pengen ngertiin lu lebih jauh.”
“Having sex sama orang yang lu cintai bukan cuma tentang nafsu, Rayyan. But understanding.”
“And i want it so bad,” katanya.
Rayyan menahan senyum.
“Sekarang siapa coba yang lagi nge-tes? Gue atau lu?” Athaya terkekeh, “Lu ragu ya kalau gue bakal ngasih segalanya buat lu?”
“Not at all,” jawab Rayyan. Dia lalu menghela napas panjang.
“Ya, gue pengen lu ngerasa aman dan nyaman kalau lagi sama gue. Gue pengen lu ngerasa kalau lu berharga banget buat gue. Gue pengen kita punya consent. And we haven’t even talked about it.”
“I want you to know that I want you more than just having sex.”
“I want you to know that you are so special to me,” tuturnya.
Rayyan mengecup kening Athaya sejenak sebelum kembali menatap bola matanya.
“I wanna marry you first, Aya.”
Athaya tersenyum lembut.
“Not having sex before marriage, that’s our main consent. Deal?”
“Okay,” jawab Athaya.
Rayyan kemudian mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Athaya. Membuat pacarnya itu terkekeh pelan sebelum mengaitkan kelingkingnya.
“Awas aja kalau lu gak nikahin gue,” Athaya tertawa hambar.
Setelahnya, dia buru-buru berbaring menyamping, membelakangi Rayyan. Saat itu pula air matanya mengalir deras. Dan Athaya gak mau jika sang pacar melihatnya menangis lagi.
Tapi Rayyan tiba-tiba memeluk pinggangnya dari belakang. Sesekali menciumi lembut puncak kepalanya, hingga dada Athaya semakin sesak dibuatnya.
“I’m here,” gumam Rayyan.
“Nangis aja. Gak apa-apa.”
Athaya akhirnya terisak. Bersama Rayyan yang setia memeluknya erat hingga Athaya terlelap.