“Jadi gimana?”
Yasa yang lagi menenggak air minumnya—setelah ngabisin nasi goreng pun menahan senyum. Sebab Danar kembali bertanya. Sementara Athaya dan Rayyan yang melihat aksi keduanya pun ketawa.
“Lu mau jadi pacar gue gak?” Danar menimpali, “Jawabnya yang serius elah. Jangan becanda mulu.”
“Mm,” gumam Yasa.
“Mm tuh maksudnya apa?”
“Iya, gue mau.”
“Cieeee!” “Cieeee!”
Rayyan dan Athaya kompak meledek sahabat mereka. Sementara yang diperlakukan demikian hanya menahan senyum bersama semburat merah muda di pipinya.
“Nah, karena kalian udah resmi jadian. Nasi goreng yang abis kita makan ini kalian yang bayar,” kata Athaya, diikuti anggukan setuju Rayyan.
“Pantes ngajakin double date terus minta gue nembak Yasa,” cibir Danar lalu tertawa, “Bener-bener.”
“Iya loh, padahal mereka pas jadian juga kagak ngasih pajak ke kita.”
Rayyan geleng-geleng kepala.
“Entar sekalian aja gue kasih pajak pas nikahin si Aya,” katanya.
Athaya tersenyum mengejek. Dia lalu menoyor pelan kepala pacarnya yang hanya terkekeh sembari menanggapi suara riuh Yasa dan Danar.
“Eh, sekarang udah jam berapa sih? Katanya lu mau ditemenin ke gramed,” ucap Danar pada Yasa.
“Udah jam delapan,” jawab sang pacar, “Cabut sekarang yuk, Nar.”
“Ayo,” Danar kemudian menatap Athaya dan Rayyan bergantian, “Lu berdua ikut gak?”
Rayyan gak menjawab. Dia hanya menoleh ke Athaya. Menyerahkan semua keputusan kepada pacarnya.
“Gue sama Ayyan langsung pulang aja deh,” kata Athaya, “Ayyan banyak kerjaan di kantor tadi, dia butuh istirahat.”
“Jiaaah!”
Yasa kembali berseru meledek.
“Gue kalo denger lu perhatian kek gini ke Ayyan tuh, berasa lagi mimpi tau gak?” katanya, “Biasanya kan lu nyumpahin dia doang. Kalo gak, ya adu bacot.”
Danar mengangguk setuju.
“Love language mereka dari dulu tuh kayaknya emang berantem sih.”
Rayyan dan Athaya hanya saling menatap sejenak sambil senyum.
“Ya udah. Cabut yuk,” ajak Danar.
“Bayar dulu, Nar.”
“Iyaaaa. Ini gue mau bayar, Sayang.”
“Beh! Udah sayang-sayangan.”
Aksi saling meledek itu pun kembali berlanjut hingga mereka akhirnya sama-sama berjalan menuju mobil masing-masing.
***
Laju mobil Rayyan terhenti tepat di depan pagar rumah Athaya. Dia kemudian menoleh, mendapati pacarnya itu menatapnya lekat-lekat.
Sejenak Rayyan tersenyum tipis lalu meraih jemari Athaya. Mengusap punggung tangannya dengan ibu jari sebelum mengecupnya lembut.
“Yan,” Athaya bersuara.
Rayyan menatapnya, “Mm?”
“Kayaknya orang-orang di sekitar kita udah pada ketemu sama bahagianya masing-masing ya?”
Athaya tersenyum. Setelahnya, dia bersandar pada bahu Rayyan. Gak melepas genggaman tangan mereka.
“Mba Dina bisa PDKT sama Mas Heri yang udah dia suka sejak lama.”
“Danar bisa pacaran sama Yasa.”
“Janu juga udah ketemu sama Tasya yang se-vibes sama dia,” katanya.
Athaya kemudian mendongak. Menatap lurus ke mata Rayyan.
“Tapi kita masih gini-gini aja ya,” dia terkekeh, “Belum juga dapet restu.”
Rayyan pun menipiskan bibirnya. Beralih menangkup wajah tampan Athaya dengan kedua tangannya.
“Meskipun belum dapet restu, tapi kan lu itu juga bahagia gue, Ya.”
“Iya. Lu juga bahagia gue kok, Yan. Tapi maksudnya,” Athaya mendesis, “Nasib kita tuh kek masih gantung.”
Athaya mengusap kedua tangan Rayyan yang bertengger di pipinya.
“Kita bakal gimana ya nanti?”
“Gimana kalo Mami gak juga ngasih restu buat kita?” timpalnya lirih.
Rayyan menggeleng pelan.
“Gue bakal kencengin usaha gue kok buat bikin hati Mami lu luluh, Ya.”
“Ini masih awal,” katanya, “Mami lu butuh waktu, jadi kita musti sabar.”
Athaya mengangguk setuju.
“Makasih ya, Yan.”
“Makasih buat apa, hm?”
Rayyan mencubit pelan pipi Athaya.
“Makasih karena udah mau berjuang buat gue dan gak nyerah gitu aja sampai hari ini,” ucap Athaya tulus.
Rayyan gak bisa lagi menahan senyum harunya. Dia lalu mengecup lembut kening Athaya, menahannya selama beberapa detik. Membuat Athaya seketika memejamkan mata. Merasakan bagaimana Rayyan menyalurkan kasih dan cintanya melalui kecupan.
“Masuk sana,” kata Rayyan setelah mengecup kening Athaya, “Entar gue kabarin kalau udah nyampe rumah.”
Athaya mengangguk. Tapi bukannya segera turun dari mobil sang pacar, dia justru mengecup kilat pipi kanan Rayyan. Membuat empunya terkekeh pelan sebelum membalasnya; Rayyan juga mengecup pipi kanan Athaya setelahnya.
Gak hanya berhenti di situ, Athaya kembali mendaratkan kecupan lain di pipi kiri Rayyan. Dan pacarnya itu juga melakukan hal serupa—lagi.
Sampai saat Athaya beralih mengecup bibir Rayyan, dia justru dibuat mendengus. Pasalnya, sang pacar justru gak membalasnya. Melainkan hanya tersenyum mengejek lalu berkata,
“Masuk gih.”
Athaya berdecak. Dengan tampang datarnya, dia pun menoleh ke arah pintu mobil. Hendak membukanya.
Tapi sebelum Athaya, bahkan, menyentuh handle pintu mobil Rayyan, dia tiba-tiba dibuat kaget. Sebab pacarnya itu dengan sigap menarik lengannya. Membuatnya kembali menoleh ke arah Rayyan.
Dan saat itu pula Rayyan menarik tengkuknya. Mempertemukan kedua belah bibir mereka hingga saling melumat mesra. Pun menelan saliva yang entah milik siapa.
Ketika pagutan keduanya usai, Athaya dan Rayyan pun saling memandangi dengan kening bersentuhan. Napas berderu, senyum mengembang.
“Kalau mau ciuman bilang. Gitu aja musti kode-kodean,” ejek Rayyan.
Athaya menipiskan bibir lalu menoyor kepala Rayyan dengan telunjuk.
“Lu yang mau, bukan gue.”
“Lu,” balas Rayyan.
“Lu, Ayyan.”
“Elu, botak.”
“Elu, anjing.”
“Botak bucin.”
“Anjing bucin.”
Athaya mendesis lalu mengecup kilat bibir pacarnya. Setelahnya, dia lantas bergegas turun dari mobil. Meninggalkan Rayyan yang refleks tertawa ringan karenanya.