Sudah hampir jam pulang kantor, beberapa karyawan pun mulai sibuk berbenah dan bersiap untuk kembali ke rumah mereka. Tapi Athaya masih di sini. Duduk di depan meja sang kepala divisi yang sedang membaca kertas berisi penilaian internshipnya.

“Athaya, setelah melihat nilai kinerja kamu selama menjadi intern dan sedikit menimbang.”

Athaya menahan napas.

“Dengan berat hati, saya harus bilang kalau kamu belum bisa menjalani tugas kamu sebagai karyawan tetap hari ini.”

Lutut Athaya lemas.

“Boleh saya tau alasannya, Pak?”

Pria paruh baya di hadapan Athaya menghela napasnya.

“Karena sekarang sudah jam pulang kantor, dan besok sampai lusa itu hari libur. Jadi kamu bisa menjalankan tugas kamu pada hari Senin nanti.”

“Pak.”

Athaya gak bisa menahan senyum leganya sebelum meraih uluran tangan sang atasan yang mengajak dia bersalaman.

“Selamat ya, Athaya. Kinerja kamu sangat bagus. Semoga terus ditingkatkan,” ucapnya.

“Terima kasih banyak, Pak.”

Setelah sedikit berbincang dengan sang kepala divisi, Athaya lalu kembali ke mejanya. Mendapati Dina, Janu, Heri dan Rayyan senyum meledek.

“Cie yang udah resmi jadi karyawan tetap,” sahut Janu, “Besok kayaknya bakal ada ajakan makan bareng nih.”

“Gak ada,” justru Rayyan yang menjawab, “Besok dia milik gue seharian penuh. Sorry.”

“Buseeet.”

Athaya cuma menahan senyum ketika Dina, Heri dan Janu meledek Rayyan. Setelahnya, dia pun menoyor kepala sang pacar yang sedari tadi menatapnya.

“Ya udah, kita pulang yuk.”

“Mas Heri ngajakin kita-kita apa Mba Dina doang?” sela Janu.

“Saya ngajakin Dina, tapi kalau kalian juga mau pulang, ayo.”

“Mas Heri sama Mba Dina duluan aja deh,” ledek Athaya.

“Bener-bener ya kalian,” ucap Dina pasrah lalu mengambil tasnya, “Kalo gitu gue duluan.”

“Bye, Mba Dina. Mas Heri.”

“Gue juga cabut yak.”

Janu menyusul gak lama setelah Heri dan Dina pergi. Kini yang tersisa di ruang divisi hanya Rayyan bersama Athaya yang masih berdiri di tempatnya.

Rayyan lalu dengan sigap menarik lengan pacarnya. Membuat Athaya berakhir jatuh di atas pangkuan Rayyan yang masih duduk di kursinya.

Refleks Athaya pun menuntun kedua lengannya agar melingkari tengkuk Rayyan. Dan hanya dalam hitungan detik, Rayyan lantas menciumi bibirnya.

Satu tangan Rayyan menahan pinggangnya, sementara yang lain mengusap punggungnya. Membuat Athaya merasa jika ciuman itu lebih manis dan penuh afeksi dari biasanya.

Hingga saat pagutan mereka berakhir, Rayyan pun menutupnya dengan satu kecupan lembut di bibir merah Athaya yang masih basah.

“Selamat ya,” ucapnya.

Athaya tersenyum, “Mm.”

Rayyan kemudian kembali mendaratkan kecupan-kecupan lain di wajah Athaya. Membuat empunya terkekeh geli sekaligus heran. Terlebih saat Rayyan menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Begitu lama, seolah spot itu tempat ternyaman.

“Lu akhir-akhir ini makin clingy aja dah,” kata Athaya.

Rayyan pun mendongak. Mengulas senyum manis berlesung pipi ke Athaya.

“Lu juga makin ngangenin soalnya,” dia pun terkekeh.

Athaya tersenyum mengejek lalu menyentil kening Rayyan.

“Besok beneran mau jalan?”

“Iya lah,” jawab Rayyan, “Kan gue mau ditraktir sama lu.”

“Hm. Ini sih pemerasan dalam berpacaran,” canda Athaya.

Rayyan senyum.

“Besok pagi aku jemput ya?”

“Oke,” Athaya setuju.

***

“Ngapain sih lu ngajak gue ragunan?” tanya Athaya, tepat setelah Rayyan membeli tiket.

“Pake nanya,” Rayyan lantas menyeringai, “Ya biar lu ketemu sama sodara-sodara lu lah.”

“Anjing,” gumam Athaya lalu menginjak kaki pacarnya itu.

Rayyan pun hanya tertawa sebelum melingkarkan satu lengannya di pinggang Athaya.

“Yuk,” katanya, “Asik tau jalan di kebun binatang pagi-pagi.”

“Mm, jadi temanya menyatu dengan alam gitu ya?”

“Cowok gue pinter banget,” Rayyan nyubit pipi Athaya.

Yang diperlakukan demikian hanya menahan senyumnya sebelum mengikuti langkah sang pacar. Rayyan menuntun dia melihat satu persatu satwa.

Hingga saat keduanya sampai di area dimana reptil berada, Rayyan pun menahan tawa ketika melihat raut wajah Athaya terlihat ketakutan. Bahkan pacarnya itu gak mau mendekat, meski ada pagar penghalang.

“Hya!”

“Ayyan!”

Athaya menepuk keras bahu pacarnya itu. Sebab Rayyan tiba-tiba mendorongnya agar lebih mendekat ke area reptil. Tapi setelahnya Rayyan lalu memeluknya, mengusap kepalanya sambil tertawa.

“Kamu takut ya?”

“Mm,” gumam Athaya ngeri.

“Gak usah takut, kan ada aku.”

Athaya mendongak. Entah kenapa suara Rayyan terdengar begitu lembut dan manis ketika memakai sapaan aku–kamu.

“Emang kamu gak takut?”

“Takut,” jawab Rayyan, “Tapi kan kita bisa lari sama-sama.”

Athaya memutar bola mata. Rayyan terkekeh dibuatnya.

“Kamu laper gak?”

Rayyan lalu menyibak helai rambut yang dipikirnya bisa mengganggu mata Athaya.

“Gak laper, tapi haus.”

“Ya udah, kita istirahat dulu.”

Athaya setuju.

Dan di sinilah mereka berada saat ini. Duduk beralaskan karpet di antara pepohonan yang rindang, semilir angin pun membawa sejuk meski sang mentari semakin tinggi.

“Nih, aku bawain roti kesukaan kamu,” kata Rayyan seraya mengeluarkan bekalnya.

Athaya yang lagi menenggak air nyaris terbatuk. Sebab Rayyan bahkan menyiapkan roti menyerupai hotdog itu.

“Botak, aaaaa!”

Athaya menahan senyum sebelum membuka mulutnya. Sebab sang pacar bersikeras menyuapinya dengan roti.

“Abis nyari makan siang, kita ke Ancol yuk?” ajak Rayyan.

Jika tadi Athaya nyaris terbatuk, sekarang dia pun tersendak.

“Ngapain?” balasnya, “Kirain kita mainnya deket sini doang.”

“Ya masa di sini-sini mulu,” Rayyan senyum, “Gimana?”

“Ya udah.”

“Kok ya udah?”

“Lah terus lu mau gue jawab apa, anjing? Katanya lu mau ke sana.”

Rayyan merengut.

“Kalo lu bilang ya udah kan kesannya gue maksa. Padahal, gue minta persetujuan loh.”

Athaya ketawa.

“Iya, Ayang. Gue mau kok.”

Rayyan tersenyum lembut lalu mengacak-acak rambut Athaya.

“Abisin dulu roti lu.”

Athaya lantas menurut.

Dan seperti kesepakatan mereka, setelah makan siang di food court mall, Rayyan mengemudikan mobilnya. Menyusuri jalan menuju Ancol.

Meski mereka sebenarnya agak ngaret. Sebab setelah menyantap makan siang, Rayyan justru mengajak Athaya memasuki photo booth yang ada di mall.

Sesampainya di tempat tujuan, setelah melewati halang rintang macet, Athaya dan Rayyan pun bergegas ke pantai ria. Sebab hari juga udah semakin sore.

Dan menurut Athaya, sangat pas untuk menghabiskan waktu di pantai pada sore hari.

“Lu bener-bener bawa gue dari ujung ke ujung hari ini.”

Rayyan terkekeh lalu mendekap tubuh pacarnya dari belakang. Mereka menghadap pantai.

“Capek ya?”

“Mm,” gumam Athaya lalu menoleh, menciumi pipi pacarnya, “Tapi gue seneng.”

Mendengar ucapan Athaya membuat Rayyan tersenyum lega. Dia lalu mengecup puncak kepala pacarnya sebelum kembali menatap pantai.

“Eh, jembatan dermaga cinta itu deket dari sini kan, Yan?”

“Iya. Kamu mau ke sana?”

“Mau,” Athaya cengengesan.

“Pengen foto-foto,” timpalnya.

“Ya udah, entar kita ke sana. Aku pengen di sini dulu. Pengen meluk kamu,” balas Rayyan.

Athaya hanya menggeleng melihat tingkah pacarnya itu.

Waktu terus berjalan, langit pun telah berubah warna menjadi kemerahan. Athaya dan Rayyan kini juga sudah berada di destinasi terakhir mereka sebelum meninggalkan Ancol.

Athaya, dengan handphonenya, sibuk mengambil foto. Sementara Rayyan justru gak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Athaya.

“Yan, coba liat ke si—”

Athaya menautkan alis saat mendapati Rayyan menatap dia begitu dalam. Athaya lalu semakin merasa heran saat pacarnya itu celingukan sejenak sebelum berjalan ke arahnya.

“Kenapa sih?” tanya Athaya saat Rayyan ada di depannya.

Rayyan tersenyum. Dia lalu menarik pinggang Athaya dengan satu lengannya. Membuat tubuh mereka saling menghimpit. Gak berjarak.

Satu tangan Rayyan yang terbebas kemudian membelai lembut pipi kanan Athaya. Sementara matanya masih memandangi lekuk wajah nyaris sempurna di hadapannya.

“Semakin hari—aku semakin jatuh cinta sama kamu, Ya.”

“Kamu indah. Indah banget.”

Athaya tersenyum. Setelahnya, dia lantas memejamkan mata. Sebab Rayyan mengkikis jarak antara wajah mereka.

Rayyan menciuminya. Begitu lembut, namun juga begitu lambat dan penuh afeksi. Menikmati lumatan demi lumatan yang tercipta.

“I love you,” bisik Rayyan.

“I do,” balas Athaya.

Rayyan mencubit pipi Athaya.

“Cabut yuk.”

“Sekarang?”

“Iya, biar kita bisa makan malam di warung Bang Alwi.”

“Tetep ya,” Athaya terkekeh.

***

Setelah makan malam di warung Bang Alwi, Rayyan pun mengantar Athaya pulang ke rumahnya. Kini laju mobilnya pun telah berhenti, tepat di depan rumah sang pacar. Sebab dia beralasan; gak mau Athaya yang udah capek harus jalan kaki lagi kalau aja mereka markirin mobil di depan rumah tetangga.

“Kamu hati-hati pulangnya.”

Rayyan mengangguk.

“Aku masuk sekarang ya.”

“Tunggu.”

Athaya hanya menggeleng melihat Rayyan keluar dari mobilnya. Berakhir membuka pintu mobil untuknya. Athaya kemudian turun dari mobil Rayyan, dengan sang pacar berdiri di belakangnya. Sementara dia sibuk membuka pintu pagar rumah.

Saat pintu pagar terbuka, Athaya pun berbalik ke pacarnya.

“Pulang gih,” Athaya mengusap pipi kiri Rayyan, “Makasih ya.”

Rayyan menggeleng. Dia lalu beralih menggenggam kedua tangan Athaya. Selagi netra madunya menatap pacarnya.

“Aku yang harus bilang makasih.”

“Makasih karena udah bikin aku bahagia selama ini, Aya.”

“Makasih karena udah cinta sama cowok yang taunya cuma gangguin kamu sampe kesel.”

Mata Rayyan berkaca-kaca.

“Makasih juga karena kamu udah berjuang untuk bisa punya hubungan sama aku.”

“Sampai-sampai hubungan kamu sama Mami jadi gak baik.”

Rayyan meneteskan air mata lalu mengecup tangan Athaya sejenak sebelum kembali natap dia.

“Ya, maafin aku ya karena selama ini aku belum bisa jadi pacar yang terbaik buat kamu.”

“Maafin aku karena cuma bisa menjaga kamu sebatas ini.”

“Aku bener-bener minta maaf karena belum bisa jadi versi terbaik dari diri aku,” katanya.

“Yan, kamu kok ngomong gini sih?” tanya Athaya, “Kenapa?”

Air mata Rayyan semakin bercucuran di kedua pipinya.

“Aya,” suaranya bergetar.

“Mulai malam ini, perbaiki hubungan kamu sama Mami ya?”

“Bilang sama Mami kalau kamu sayang dia dan memilih dia.”

“Bilang sama Mami kalau dia itu bahagia kamu yang utama.”

Athaya menggeleng. Gak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Yan, maksud kamu apa?”

Dia kemudian menghempas tangan Rayyan. Beralih mencengkeram bahu lelaki itu.

“Kamu kenapa bilang gini sama aku, Ayyan?” lirihnya.

Rayyan terdiam.

“Kamu udah nyerah?”

Rayyan menggeleng.

“Aku gak nyerah. Tapi ini awal dari perjuangan aku buat kamu.”

Rayyan memaksakan senyum.

“Aku pengen buktiin ke Mami kamu kalau aku bener-bener cinta sama kamu,” katanya.

“Aku pengen Mami liat kalau kebahagiaan kamu di atas segalanya buat aku, Athaya.”

“Tapi kamu juga kebahagiaan aku,” balas Athaya, “Ayyan.”

Mendengar rengekan Athaya saat memanggil namanya membuat Rayyan terisak pelan.

“Ya, aku belajar banyak dari kesalahan Papa. Aku belajar kalau cinta itu gak egois.”

“Dan dengan aku membiarkan hubungan kamu sama Mami gak baik, berarti aku egois.”

“Aku selalu bilang sama kamu, kalau aku juga pengen kamu jadi versi terbaik dari diri kamu.”

“Jadi ini yang harus aku lakukan, Ya. Aku harus rela melepas kamu supaya kamu bisa jadi anak yang lebih baik lagi bagi Mami.”

Rayyan sesenggukan.

“Aku tau, kamu udah jadi anak yang baik selama ini. Tapi aku gak mau jadi orang yang bikin kamu sama Mami berselisih.”

“Kayak yang Mami bilang, cinta itu gak akan memaksa buat bersama kan?” katanya.

Athaya mengeraskan rahang lalu mendorong tubuh Rayyan.

“Jadi ini maksud kamu ngajak aku jalan seharian ini, Yan?”

“Kamu pengen liat aku bahagia sebelum nyakitin aku?”

“Ya, aku cuma pengen nge-date sama kamu. Karena abis ini aku sama kamu gak mungkin bisa.”

Athaya terisak.

“Kamu tau? Aku udah siap kalau kamu bakal ninggalin aku di malam itu, pas kita udah tau tentang semuanya.”

“Tapi ternyata kamu gak ninggalin aku bahkan setelah kita pulang dari hotel hari itu.”

“Jadi aku berpikir kalau kamu gak akan nyerah. Kamu bakal terus berjuang buat dapetin restu.”

Athaya membebaskan isakan kencangnya sejenak. Sebab dia kesusahan berbicara.

“Kamu bilang supaya kita lewatin ini sama-sama,” tuturnya.

“Tapi kenapa sekarang kamu nyerah, Yan?” kata Athaya, “Kenapa kamu ninggalin aku?”

“Aku gak ninggalin kamu, Aya.”

“Terus kenapa?!”

Rayyan menunduk sejenak.

“Ya, kita gak akan bisa mengubah perasaan seseorang kalau bukan dia sendiri yang memutuskan.”

“Seperti halnya Mami, kita gak akan bisa mengubah rasa sakitnya kecuali dia sendiri.”

Athaya seketika mengingat ucapan Papi padanya dulu.

“Tapi begitu juga aku, Athaya.”

“Gak akan ada yang bisa mengubah perasaan aku ke kamu,” ucap Rayyan, “Karena sejak awal, aku memutuskan untuk mencintai kamu.”

“Lu bohong.”

Athaya memukul bahu Rayyan.

“Gue gak suka sama lu, Yan.”

Rayyan memaksakan senyum.

“Gue juga gak suka sama lu.”

Keduanya sama-sama terisak.

“Sekarang lu udah bukan intern lagi, lu itu udah jadi saingan gue.”

Rayyan mengusap pipinya.

“Gue gak bakal biarin lu jadi employee of the month, botak. Gue gak bakal biarin lu tenang.”

“Lu yang gak bakal tenang!”

“Pergi!” teriak Athaya, “Pergi lu dari sini, Ayyan anjing!”

“Gak usah teriak, botak! Gue gak budek!” balas Rayyan.

Athaya kemudian menendang dengkul Rayyan hingga lelaki itu berbalik, hendak masuk ke dalam mobilnya. Tapi gak lama berselang, Rayyan justru kembali lagi ke hadapan Athaya.

“Ingus lu keluar,” kata Rayyan.

Athaya pun hendak kembali menendang dengkul Rayyan. Tapi pemilik lesung pipi itu lebih sigap masuk ke mobil.

Masih dengan isak tangisnya, Athaya lalu menutup pintu gerbang. Setelahnya, dia pun masuk ke dalam rumah hingga mendapati Mami dan Papi berdiri di belakang pintu.

Athaya pun tertawa tapi sambil menangis tersedu-sedu.

“Mami bener,” katanya di sela isakan, “Dia bohong, Mi.”

“Dia... Dia... Bilang...”

“Kak.”

Mami menghampiri Athaya yang sudah kesusahan untuk berbicara. Mami memeluknya.

“Dia bilang bakal berusaha buat dapetin restu Mami.”

“Dia bilang bakal nikahin aku.”

Athaya terisak pilu.

“Tapi dia ninggalin aku, Mi.”

Athaya menggeleng. Dia kemudian melepaskan dekapan sang Mami lalu beralih menatap wajah si wanita paruh baya.

“Mami denger kan tadi?”

Athaya tertawa. Tapi dari sorot matanya tersirat kehancuran.

“Dia gak mau aku jadi employee of the month. Dia takut, Mi.”

Athaya mengusap kasar pipinya.

“Mami tenang aja, aku gak bakal biarin dia ngerebut apapun dari aku. Aku yang bakal ngerebut—”

“Kak,” Mami memotong ucapan Athaya sembari menangkup pipinya, “Kamu tenang ya.”

“Mami di sini, sayang.”

“Mi.”

Athaya kembali terisak pilu sebelum memeluk Maminya. Papi pun bergabung setelahnya, ikut mendekap anak dan istrinya.