Athaya menautkan kedua alisnya heran saat melihat Rayyan mengedarkan pandangan ke setiap sudut restoran sushi dengan raut panik. Seperti seorang buronan yang sedang takut ketahuan lalu berakhir ditangkap. Dia kemudian menendang pelan kaki pacarnya itu di bawah meja dan bertanya.

“Kenapa sih?”

Rayyan kembali memusatkan atensinya ke Athaya lalu menelan ludah sekuat tenaga.

“Mama tau kalo kita pacaran.”

Athaya melotot.

“Gimana ceritanya?”

“Makanya gue nyari Mama, kali aja dia makan siang di sini juga terus ngeliat kita.”

Rayyan mendengus frustasi.

“Mana tadi gue iya-iyain aja pas Mama nanya gue ngedate sama pacar apa bukan.”

“Lu bener-bener ya,” Athaya berdecak, “Tapi masa sih Mama lu makan di sini? Kita kan udah ngeliatin isi restoran dulu tadi.”

“Iya. Tapi kita gak bisa ngindarin yang namanya apes, Ya.”

Keduanya berakhir gelisah dan panik lalu sama-sama menoleh ke arah lain, mencari apa si wanita paruh baya berada di tempat yang sama dengan mereka. Hingga pada akhirnya, pandangan Athaya terhenti tepat di arah pintu masuk restoran. Di sana pula lah dia bertemu tatap dengan seseorang yang sedari tadi mereka—dia dan Rayyan—cari keberadaannya; Mama.

Si wanita paruh baya menatap kosong ke arahnya dan Rayyan bergantian, membuat Athaya mendadak panas dingin lalu perlahan menoleh ke Rayyan yang masih mencari sosok Mamanya di dalam restoran.

“Yan,” panggil Athaya.

Rayyan menoleh, “Mm?”

“Mama lu ada di depan pintu.”

Selang beberapa detik setelah mendengar ucapan Athaya, Rayyan lantas menoleh ke arah yang dimaksud pacarnya itu. Hingga pandangannya pun bertemu dengan Mama.

Menghela napasnya pelan, Rayyan kemudian melirik sekilas ke arah Athaya lalu bergumam,

“Gue nyamperin Mama dulu ya.”

“Gue ikut, Yan.”

“Gak, lu di sini aja. Entar gue ajak Mama ke sini,” tutur Rayyan.

“Tapi kalo lu kena marah gimana?” Athaya khawatir, “Kalo ada gue juga, seenggaknya kita dimarahin sama-sama, Yan.”

Rayyan tersenyum lembut.

“Enggak.”

“Tunggu di sini bentar ya,” timpalnya sebelum berdiri dan bergegas nyamperin Mamanya.

Bohong kalau Rayyan gak gugup bahkan takut. Dia juga panas dingin saat ini. Terlebih saat melihat si wanita paruh baya natap dia dengan sorot mata yang kosong. Mamanya juga gak ngomong apa-apa ketika mereka udah berdiri saling berhadapan. Tapi Rayyan gak mau nunjukin ketakutannya. Dia gak mau Athaya semakin khawatir.

“Ma, udah dari tadi?”

“Gak, baru beberapa menit lalu.”

Mama menatap Rayyan lamat.

“Tadi Mama liat Instastory kamu,” timpal Mama, “Mama liat lokasinya kamu lagi di sini, dan kebetulan Mama juga abis makan deket sini. Jadi mau nyamperin.”

“Sekalian mau liat kamu akhir-akhir ini sering jalan sama siapa.”

Rayyan menunduk. Mamanya seolah bisa membaca apa yang saat ini ada di dalam pikirannya. Pikiran tentang bagaimana Mama bisa ada di depannya saat ini hingga akhirnya tau kalau dia dan Athaya menjalin hubungan.

“Tapi Mama justru kaget karena ngeliat kamu lagi makan bareng Athaya,” dia mengakui.

“Kenapa jadi gini, Yan?” tanya Mama lirih, “Kenapa kalian berdua malah berakhir kek gini?”

Rayyan kembali natap Mamanya.

“Aku cinta sama Athaya, Ma. Perasaan Athaya ke aku juga sama,” jawab Rayyan.

“Dan kamu tau kan kalau Maminya Athaya gak suka sama Mama, Papa bahkan kamu yang gak tau apa-apa sebelumnya?”

“Kamu juga masih inget kan gimana Mami dia marah, terus ngelarang kamu buat deket-deket sama Athaya semenjak kalian masih sekolah?”

“Yan, dulu Mama berantem sama Maminya Athaya tuh karena ngelindungin kamu. Mama gak mau anak Mama jadi korban.”

“Terus sekarang apa? Kamu malah macarin anaknya. Kamu pikir Mami Athaya bakal nerima kamu? Enggak,” sambung Mama.

“Gak bakal mudah buat kalian berdua. Hubungan kalian cuma bisa bikin kamu sama Athaya terluka nantinya,” katanya.

“Ma, gimana aku bisa tau ini gak bakal mudah kalo gak nyoba?”

“Untuk apa kamu nyoba kalau udah tau akhirnya bakal kayak gimana, Yan?” balas Mama.

Mama lalu meraih jemari Rayyan.

“Yan, jangan diterusin ya?”

“Gak ada yang tau akhirnya nanti bakal kayak apa, Ma. Aku mau berusaha dulu,” kata Rayyan.

“Dan seharusnya aku kan yang bilang ke Mama sama Papa supaya gak nerusin semua ini?”

“Kenapa kalian gak ngomong baik-baik sama Maminya Athaya buat meluruskan semuanya?”

“Mama sama Papa pernah bilang kalo Maminya Athaya cuma salah paham,” Rayyan mengingatkan.

“Jadi kenapa Mama Papa gak jelasin lagi ke dia kalau Mama deket terus pacaran sama Papa pas udah putus sama dia. Bukan merebut atau berkhianat.”

Mama Rayyan menggeleng.

“Kalo cuma dengan ngomong terus Maminya Athaya bisa nerima semuanya, udah dari dulu. Tapi kamu liat sendiri kan?”

“Dia tetap menyalahkan Mama. Dia gak mau dengerin Mama. Yang dia tau itu cuma keburukan dan keburukan Mama aja.”

“Sampai sekarang Maminya Athaya masih marah,” ucapnya, “Dia gak mau lagi ada urusan sama Mama, Papa bahkan kamu.”

“Jadi tolong ya, sayang? Akhiri hubungan kamu sama Athaya sebelum semuanya makin kacau,” pinta Mama, “Ini juga demi kebaikan kalian berdua.”

“Mama yakin ini buat kebaikan aku sama Athaya?” sela Rayyan.

“Mama bilang gak pengen aku jadi korban, tapi yang terjadi sekarang apa?” dia tersenyum miring, “Aku sama Athaya justru udah jadi korban karena masalah kalian yang belum juga selesai.”

“Aku sama Athaya yang harus membatasi interaksi—bahkan perasaan sejak kecil dulu cuma buat nutupin ego kalian semua.”

“Mama udah bahagia sama Papa. Maminya Athaya juga udah bahagia sama suaminya.”

“Terus aku sama Athaya gak boleh gitu bahagia juga, Ma?”

“Yan, kamu bisa nyari—”

“Nyari orang lain?” potong Rayyan, “Ini pemikiran Mama?”

Rayyan tersenyum hambar.

“Apa Mama juga bilang gini ke sahabat Mama sendiri pas dulu Papa milih buat macarin Mama?”

“Mama nyuruh Maminya Athaya buat nyari orang lain aja dan ngelupain orang yang dia cintai dengan begitu mudahnya?”

Persekian detik berikutnya, Rayyan kemudian mendesis ketika Mamanya tiba-tiba menampar pipinya. Dia terdiam dalam keterkejutan. Sebab ini menjadi kali pertama sang Mama menyentuh wajahnya. Bahkan sejak dia kecil, si wanita paruh baya gak pernah sekali pun nyentuh dia dengan kekerasan.

Rayyan kemudian menoleh saat Athaya datang dan berdiri di sampingnya. Jelas kalau pacarnya itu melihat semua yang terjadi.

“Tante,” panggil Athaya lirih.

“Kalau Tante marah karena Rayyan pacaran sama saya, tolong tampar saya juga.”

“Kamu ngomong apa sih?”

Rayyan meraih jemari Athaya lalu menggenggamnya, “Ayo, kita musti balik ke kantor sekarang.”

“Tapi, Yan—”

“Jangan bikin aku maksa kamu.”

Athaya pasrah. Dia cuma bisa menurut ketika Rayyan menarik pelan lengannya. Berakhir meninggalkan sang Mama yang masih berdiri di tempatnya dengan sorot mata penuh sesal.