Bunyi bel rumah sejenak mencuri atensi Athaya yang lagi rebahan dan bersiap untuk tidur. Meski masih jam sembilan malam, tapi efek kelelahan bikin dia ngantuk.
Siapa yang bertamu malam-malam gini? Pikir Athaya lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan ke arah pintu geser sekaligus jendela menuju balkon kamarnya. Mengintip dari celah tirai, guna melihat sosok itu.
Tapi hanya beberapa detik setelah Athaya mendapati presensi Rayyan di depan pagar rumahnya, dia lantas melotot. Jantungnya bertalu dengan cepat. Dia pun seketika panik.
Dengan segera Athaya meraih handphonenya. Menelpon kontak Rayyan hingga lelaki itu menjawab panggilannya.
“Lu ngapain dateng ke rumah gue lagi, anjing?” sergahnya.
Rayyan mendongak ke arah kamar Athaya. Menahan senyum saat mendapati sosok terkasihnya itu mengintip seperti kucing dari tirai jendela.
“Bukan urusan lu, botak.”
Athaya berdecak, “Ya tapi—”
Belum sempat Athaya selesai dengan ucapannya, dia lantas menahan napas. Sebab Athaya bisa melihat dengan jelas bahwa sosok yang akan membuka pintu pagar adalah Mami.
“Anjing,” ucap Athaya gugup.
“Ayyan, lari!”
Athaya menautkan alis lalu menggeleng pelan. Ketika dia kemudian sadar bahwa seseorang akan membuka pintu pagar untuknya, dia berkata.
“Udah dulu ya,” Rayyan pun mengakhiri panggilan Athaya.
Kaget.
Hanya itu yang Mami rasakan ketika mendapati Rayyan ada di hadapannya. Mengulas senyum lembut berlesung pipi.
“Malam, Tante.”
“Ngapain kamu ke sini?”
Nada suara yang tidak ramah bahkan dingin dari Mami seketika menyentuh gendang telinga Rayyan. Dia lantas melirik paper bag yang sedang ditentengnya sejenak lalu kembali memandangi Mami.
“Saya baru pulang dari Lembang, Tante. Ada kerjaan di sana tadi.”
“Terus saya tau dari Mama kalau Tante juga suka bolu susu,” Rayyan menyodorkan paper bag itu, “Ini buat, Tante.”
“Maksud kamu melakukan ini apa, Ayyan?” sela Mami, “Apa lagi yang kamu inginkan dari saya?”
Rayyan kembali menjatuhkan lengan di samping pahanya. Sebab Mami gak juga meraih paper bag yang dia sodorkan.
“Saya cuma bermaksud buat bawain makanan kesukaan Tante,” jawab Rayyan, “Gak ada tujuan lain atau karena ingin sesuatu dari Tante.”
Rayyan tersenyum tipis.
“Saya juga udah melepaskan Athaya kok, Tante. Kemarin itu hari terakhir saya sama Athaya menjalin hubungan.”
“Saya sama Athaya udah kayak dulu lagi. Kami gak ada hubungan apa-apa lagi.”
“Saya dateng ke sini buat Tante.”
Mami melipat lengan, “Dan apa kepentingan kamu sama saya kalau bukan soal Athaya?”
“Kamu mau saya ngobrol sama Mama kamu karena dia udah ngasih tau kamu makanan kesukaan saya?” timpalnya.
Rayyan menarik napas.
“Dua minggu terakhir, tiap saya datang ke sini, saya perhatiin Tante gak nafsu makan.”
“Athaya juga sempet cerita kalau Tante kadang cuma makan sekali dalam sehari,” katanya.
“Dan tiga hari yang lalu, pas saya jemput Athaya, Tante keliatan pucat banget. Saya juga sadar kalau berat badan Tante kayaknya berkurang.”
“Beda banget waktu saya datang pertama kali ke sini waktu itu.”
Mami menelan ludah. Sebab yang dibilang Rayyan benar adanya. Baru siang tadi dia memeriksakan diri ke klinik, dan ternyata berat badannya turun.
“Jadi saya pikir, dengan saya beli bolu susu yang Tante suka, Tante bisa makan meski dikit aja.”
Rayyan menunduk sejenak.
“Saya paham, Tante mungkin banyak pikiran akhir-akhir ini. Termasuk soal saya dan Aya.”
“Dan saya bener-bener minta maaf untuk hal itu,” lirihnya.
“Tapi Tante harus tetep jaga kesehatan ya? Tetep makan, istirahat yang cukup,” Rayyan berucap dengan raut memohon, “Kalau sampai Tante sakit, Athaya bakal sedih.”
“Tante itu bahagianya Athaya, lebih dari apapun dan siapa pun.”
Rayyan kembali menyodorkan paper bag itu ke arah Mami.
“Tolong diterima ya, Tante?”
Mami terlihat berpikir sejenak, sedang kedua tangannya mengepal resah di samping paha. Sementara Rayyan berpasrah.
Tapi gak lama berselang, Mami lantas meraihnya. Dia mengambil paper bag dari Rayyan. Membuat Rayyan refleks tersenyum lega.
“Saya harap ini yang terakhir kalinya,” ucap Mami, “Dan tolong, kamu gak perlu ke sini lagi ya?”
“Biar Athaya juga fokus sama dirinya sendiri,” jelas Mami.
Rayyan memaksakan senyum lalu mengangguk, “Iya, Tante.”
“Terima kasih,” ucap Mami.
“Kalau gitu saya pamit.”
Rayyan menyodorkan tangan. Ada harap terselip bahwa si wanita paruh baya, setidaknya, kali ini sudi untuk bersalaman.
Sementara itu, Mami terdiam. Matanya menatap ke tangan Rayyan yang terjulur padanya.
Hingga pada akhirnya, harap Rayyan pun terjawab. Mami meraih tangannya, membiarkan dia untuk menciumi punggung tangan si wanita paruh baya.
Dada Rayyan sedikit lebih ringan. Ada secuil beban yang terangkat ketika Mami akhirnya memberi dirinya akses untuk bersalaman.
“Saya pamit, Tante.”
Mami hanya mengangguk. Bersamaan dengan lepasnya tautan tangan dia dan Rayyan.
Tapi baru saja Rayyan berbalik, hendak masuk ke mobilnya, dia justru kembali menoleh ke Mami.
“Tante.”
“Kenapa lagi?”
Rayyan terkekeh, sementara matanya telah berkaca-kaca. Sebab gaya bicara Mami dan Athaya ketika udah pasrah bercampur kesal amat sama.
“Kalau misalnya besok atau entah kapan saya ketemu sama Tante di jalan dan dimana aja, saya boleh nyapa Tante kan?”
Mami melirik ke arah lain.
“Iya,” jawabnya, “Tapi saya harap kita gak akan pernah ketemu.”
“Saya gak mau ada urusan lagi sama kamu,” ini seperti dejavu.
Tawa ringan Rayyan bikin Mami kembali melirik ke arah pemuda berlesung pipi itu. Sedikit kaget, sebab Mami melihat Rayyan sibuk menyeka air mata.
“Kenapa kamu ketawa?” tanya Mami masih dengan suaranya yang dingin, “Apa yang lucu?”
“Tante bener-bener mirip sama Athaya ya,” katanya, “Bahkan cara Tante ngomong persis banget.”
“Lucu,” ucap Rayyan diikuti senyum, “Saya pulang ya, Tante.”
Athaya yang sedari tadi telah keluar dan berdiri di balkon kamarnya sembari menangis dalam diam lantas terkekeh pelan. Sebab dia melihat Rayyan tiba-tiba membentuk pola hati di atas kepala dengan lengan.
Dan itu ditujukan ke Maminya.
Athaya pun buru-buru masuk ke kamarnya saat Mami udah nutup pintu pagar. Takut jika si wanita paruh baya memergokinya.
Setelah menutup pintu balkon, Athaya lalu berjalan ke arah lemarinya. Mengambil baju yang pernah ditumpahi minuman di mall dulu—lalu dicuci Rayyan.
Athaya kemudian memeluk baju itu. Membayangkan jika saat ini dirinya sedang memeluk Rayyan.
Rayyan telah berusaha sebisanya. Rayyan telah melakukan yang terbaik untuknya juga hubungan mereka. Tapi memang, mungkin, ini jalan yang harus mereka tempuh. Sebelum nanti, takdir menunjukkan kemana dirinya dan Rayyan akan berlabuh.