Rest room
Athaya memicingkan mata saat melihat Rayyan berjalan masuk ke dalam ruang divisi. Pacarnya itu memasang tampang songong, menaik-turunkan alisnya lalu sesekali menyisir rambut yang menutupi sebagian keningnya sambil berjalan ke meja barunya.
Setelah menyimpan tas kerjanya, Rayyan lalu menghampiri Athaya. Dia duduk pada kursi lamanya sebelum menggesernya hingga berdekatan dengan kursi Athaya.
“Gue udah ganteng kan?”
“Belum,” ujar Athaya sebelum meraih dasi Rayyan, “Pake dasi yang bener aja lu gak bisa, Yan.”
Rayyan hanya menahan senyum sembari memerhatikan Athaya merapikan dasi yang dia pakai.
“Udah,” ucap Athaya.
Rayyan terkekeh, “Udah apa?”
“Udah ganteng.”
Athaya mengerutkan keningnya ketika Rayyan perlahan mengikis jarak wajah mereka. Tatapannya pun berpusat pada bibir Athaya.
“Mau ngapain lu?”
Rayyan gak menjawab. Dia hanya memanyunkan bibirnya sebelum kembali mempersempit jaraknya.
Namun Athaya dengan sigap menahan bahu pacarnya itu lalu berkata, “Jangan. Entar ada yang masuk terus ngeliat kita, anjing.”
Rayyan menipiskan bibir.
“Lu gak mau ada yang liat kan?”
Athaya curiga, “Ayyan…”
Rayyan hanya tersenyum usil sebelum menarik lengan Athaya. Dia menuntun pacarnya itu agar berdiri sebelum menyeretnya menuju rest room ruang divisi.
Athaya pun cuma bisa pasrah ketika Rayyan membawanya untuk duduk di sofa; setelah mengunci pintu res room. Tapi Athaya kemudian dibuat kaget saat pacarnya itu mendorong pelan tubuhnya. Dia berbaring dengan lengan sofa sebagai bantalnya, sementara Rayyan mengungkungnya lalu terkekeh.
“Udah gak ada yang liat kan?”
Athaya mendengus kecil diikuti senyum tipis. Dia kemudian melingkarkan kedua lengannya di tengkuk Rayyan, menariknya pelan hingga jarak wajah mereka hanya terpaut persekian senti.
Keduanya lalu berbagi senyum lembut sebelum Rayyan perlahan mengecup singkat bibir Athaya. Dia pun kembali memandangi wajah pacarnya itu sejenak, tapi Athaya semakin mempererat pelukannya di tengkuk Rayyan hingga bibir mereka menempel.
Ketika Athaya membuka mulut, Rayyan lantas menangkap bibir bawahnya. Melumatnya dengan hati-hati dan sesekali memberi hisapan juga gigitan kecil yang membuat empunya melenguh.
Gak tinggal diam, Athaya ikut membalasnya. Mengimbangi lumatan pelan Rayyan yang berganti menjadi tergesa ketika dia dengan sengaja menggoda pacarnya untuk bermain lidah.
Dan Athaya bersumpah, ciuman Rayyan semakin luar biasa. Entah karena sudah dua tahun berlalu sejak mereka gak pernah lagi melakukannya, atau memang, pacarnya itu juga semakin hebat dalam urusan memakan bibirnya.
“Anjing,” kata pertama yang Athaya ucapkan setelah Rayyan menghentikan pagutan mereka.
Rayyan terkekeh. Terlebih saat melihat Athaya ngos-ngosan di bawah kungkungannya dengan mulut yang setengah terbuka.
“Capek-capek gue bikinin lu nasi uduk, tapi malah bibir gue yang lu makan,” Athaya ikut terkekeh.
“Kalo makan bibir lu, kenyangnya sampe seminggu. Kalo nasi uduk, paling cuma sampe entar siang.”
Rayyan menggesek-gesekkan hidungnya dengan milik Athaya.
“Your lips are the best breakfast ever,” timpalnya dengan bisikan.
Athaya tersenyum mengejek lalu menoyor pelan kepala pacarnya.
“Udah kan?”
“Mm,” Rayyan lantas tersenyum sumringah, “Makasih ya, sayang.”
“Ya udah, bantu gue bangun.”
Athaya merentangkan tangan. Menunggu Rayyan membantu. Tapi bukannya meraih lalu menuntun pacarnya itu untuk bangkit, Rayyan justru menjabat tangan Athaya. Membuat Athaya mendesis kesal lalu buru-buru bangun dan berakhir menepuk pelan belakang kepala Rayyan.
Sementara itu, Rayyan hanya tertawa kecil. Dia kemudian meraih kedua tangan Athaya. Menggenggamnya, sembari mengusap punggung tangannya.
“Ya, akhirnya kejawab juga ya alasan kenapa kita ketemu lagi.”
Athaya tersenyum.
“Kita ketemu buat meluruskan apa yang terjadi di antara kita, sampai akhirnya kita berdua justru saling cinta kayak gini.”
“Kita juga ketemu lagi ternyata buat jadi jalan supaya hubungan orang tua kita bisa membaik.”
“Mm,” Athaya bergumam setuju, “Gue seneng banget liat Mami bisa ngubah sudut pandangnya tentang lu sama orang tua lu.”
“Gue juga seneng karena Mami udah selesai sama rasa sakitnya dan jauh lebih bahagia sekarang.”
Rayyan mengangguk.
“Lu tau gak sih, Ya. Mama tuh sampe nangis pas cerita kalau Mami lu bales chatnya kemarin.”
“Mama bahagia banget,” katanya.
Athaya yang gak tau apa-apa seketika melotot mendengarnya.
“Ha? Jadi kemarin Mami sama Mama lu chat-an?” tanyanya.
“Iya,” jawab Rayyan, “Terus Mama mau ngajak Mami lu makan siang pas jam istirahat nanti katanya.”
Athaya tersenyum haru.
“Mama juga bilang, dia sekalian mau ngajak Mami, Papi sama lu buat dateng ke rumah pas hari Minggu,” Rayyan menambahkan.
“Supaya kalau hubungan mereka udah semakin membaik, kita bisa nentuin tanggal resepsi nikahan.”
Rayyan lalu mencubit pipi kiri Athaya, “Terus bisa ngewe deh.”
“Bangsat,” gumam Athaya.
Mereka sama-sama terkekeh.
“Tapi tadi lu nyebut tanggal dua puluh satu bulan depan,” Rayyan seketika penasaran, “Emang ada apa sama tanggal segitu, botak?”
Athaya menggeleng pelan, “Gue ngasal doang tadi. Soalnya gue inget, kita ketemu lagi di kantor ini tuh tanggal dua puluh satu.”
Rayyan memicingkan mata menggoda, “Dasar bucin.”
“Gue gak bucin ya, anjing. Gue selalu inget, soalnya itu hari paling buruk dalam hidup gue.”
“Halah.”
Rayyan mencolek dagu Athaya. Sedang Athaya dengan sigap menggigit pelan pundak Rayyan. Membuat Rayyan tertawa kecil.
“Sarapan yuk, gue laper.”
Rayyan mengangguk, “Ayo.”