Niat baik Rayyan
“Pagi, Tante Una.”
Mami yang semula lagi sibuk ngatur makanan di meja lantas menoleh. Mendapati Rayyan berjalan ke arahnya sambil tersenyum sumringah sebelum bergegas menciumi tangannya.
“Gak sekalian dateng jam lima subuh?” Mami geleng-geleng.
Rayyan cengar-cengir.
“Kalo saya datengnya malem, entar dikira orang aneh lagi. Jadi ya udah, saya dateng pagi-pagi.”
“Tapi gak se-pagi ini juga.”
Athaya pun hanya tersenyum tipis mendengar obrolan mereka.
“Kamu bawa apa?” Mami melirik kantongan yang dibawa Rayyan.
“Oh iya,” Rayyan menyodorkan, “Mama nitip ini buat Tante Una.”
Athaya begitu juga Rayyan lantas memerhatikan respon Mami. Keduanya kemudian tersenyum lalu saling melirik sekilas ketika si wanita paruh baya meraihnya. Membuka kotak yang ada dalam kantongan itu hingga mendapati sebuah cheese cake besar di sana.
“Mama kamu yang bikin?”
“Iya, Tante. Itu dibikin semalem.”
Mami mengangguk kecil lalu melirik Rayyan, “Makasih ya.”
Rayyan tersenyum. Dia lalu menengadahkan tangan di hadapan Mami lalu berkata,
“Ongkirnya sepuluh ribu. Boleh diganti sama Athaya kalau gak ada cash,” ucapnya yang bikin Athaya yang berdiri di sisi kanan Mami seketika mendengus pelan.
“Jadi maksud lu harga diri gue cuma sepuluh ribu gitu?”
Rayyan menjetikkan jari, “Pinter.”
Athaya menipiskan bibirnya lalu mengacungkan jari tengahnya.
Sementara itu, Mami kemudian bersiap-siap untuk mencubit Rayyan. Tapi pemilik lesung pipi itu sudah lebih dulu menghindar.
“Kak, Mami mau ke depan bentar. Mau manggil Papi.”
“Oke, Mi.”
“Liatin makanan di meja. Ada kucing gede soalnya,” kata Mami.
Athaya hanya tertawa sebagai jawaban. Sebab, Mami melirik Rayyan pas nyebut kucing gede.
Selepas si wanita paruh baya meninggalkan ruang makan, Athaya lantas duduk di salah satu kursi. Diikuti Rayyan yang duduk pada kursi di samping kirinya.
“Mana sini tangan kamu.”
Athaya mengulum senyum lalu menyodorkan tangannya yang masih terasa nyeri dan perih. Rayyan pun seketika menautkan alis sambil memerhatikan tangan Athaya yang telah memerah.
“Tadi udah dibasuh pake air?”
“Iya. Udah,” jawab Athaya, “Sama tanah juga tujuh kali,” candanya.
“Lu abis kena minyak panas ye, mohon maaf. Bukan najis gede.”
Athaya tersenyum. Membiarkan Rayyan mengolesi bekas cipratan minyak di jarinya dengan krim khusus luka bakar yang dibeli si pemilik lesung pipi di apotek.
Ketika Rayyan sedang fokus mengusap pelan jemarinya, Athaya lantas memandangi wajah sang pujaan hati lekat-lekat. Dia kemudian mengecup lembut pipi Rayyan hingga empunya kaget. Tapi setelahnya, Rayyan seketika mengulas senyum mengejeknya.
“Sekarang siapa coba yang pengen banget dicium, hm?”
“Gue,” gumam Athaya.
Dia lalu memeluk leher Rayyan dari samping. Menghirup aroma yang membawa kesegaran bagai deburan ombak yang menguar.
Dan Athaya selalu menyukainya.
“Lu yang clingy ya sekarang.”
Athaya tersenyum lembut lalu mendongak, menatap Rayyan.
“Gimana gak clingy? Gue tuh gak bisa meluk lu kayak gini dua tahun lebih tau gak?” tuturnya.
Rayyan tersenyum tipis sebelum mengecup puncak kepala Athaya.
“Masih pagi.”
Rayyan begitu juga Athaya buru-buru melepaskan tautan mereka saat mendengar Mami berbicara. Pipi mereka bersemu, terlebih saat Papi meledek dengan bilang,
“Padahal semalem abis ketemu, tapi sekarang kalian malah kayak dua orang yang abis LDR-an.”
“Tau nih, Om. Aya clingy banget.”
“Tapi lu demen juga kan?”
Rayyan hanya tersenyum lalu mengedipkan satu matanya.
“Dasar ganjen,” cibir Mami.
“Udah,” Papi menengahi, “Yuk sarapan. Papi udah laper nih.”
“Bisa makan pake tangan yang itu gak?” tanya Rayyan ke Athaya.
“Emang kenapa kalau gue gak bisa? Mau disuapin?” balasnya.
“Gak, lu makan pake kaki aja.”
Mendesis kesal, Athaya lantas menginjak kaki Rayyan. Tapi pujaan hatinya itu hanya terkekeh sebelum mengoleskan selai pada roti di hadapannya.
“Nih,” Rayyan menyodorkan.
“Thank you,” ucap Athaya.
Papi, juga Mami tersenyum tipis. Sedikit gak menyangka dengan apa yang mereka lihat sekarang. Sebab Athaya—yang mereka tau nyaris gak pernah bergantung ke orang lain—saat ini justru bisa bermanja-manja dengan Rayyan.
Sarapan bersama itu pun berlangsung dengan tenang. Hingga saat Rayyan telah merasa siap untuk mengatakan apa yang sedari tadi bersarang di kepala, dia kemudian berdeham pelan.
“Om, Tante.”
Rayyan menelan ludah saat Papi dan Mami refleks menatapnya.
“Kenapa, Yan?”
“Saya…” Rayyan menarik napas sejenak, “Saya ada rencana buat melamar Athaya tahun ini, Om.”
Athaya seketika terbatuk. Dia lalu menatap Rayyan sambil melotot.
Mereka emang udah berdiskusi tentang rencana pernikahan pas sleep call semalam. Tentang kesiapan, tentang komitmen, bahkan tentang bagaimana impian pernikahan mereka. Tapi Athaya gak pernah mikir kalau Rayyan justru bakal ngomong ke Mami dan Papinya hari ini juga.
“Kalau Om sama Tante ngasih restu, saya pengen bawa Athaya, juga Om dan Tante ke rumah saya buat silaturahmi keluarga.”
Rayyan melanjutkan.
“Bukan cuma buat ngomongin tentang rencana saya, tapi yang paling utama itu supaya Mama dan Papa saya bisa menyambung tali persaudaraan kembali sama Tante Una, Om juga Athaya.”
Papi mengangguk paham.
“Saya seneng denger niat baik kamu, Yan. Soal restu, pasti saya bakal merestui apapun yang bisa bikin anak semata wayang saya bahagia,” jelasnya, “Asalkan kalian berdua sudah sama-sama siap mental buat memasuki bahtera rumah tangga, saya dukung kok.”
“Karena pernikahan itu bukan urusan sepele. Bukan cuma soal status berubah terus se-rumah.”
“Tapi pernikahan itu tentang menyatukan dua orang dengan isi kepala berbeda untuk selalu bersama dan punya tujuan yang sama pula. Dan itu bukan buat sehari aja, tapi seumur hidup.”
Rayyan mengangguk mantap.
“Saya siap, Om.”
“Kalau kamu, kak?”
Athaya melirik Rayyan sejenak sebelum berkata, “Aku siap, Pi.”
Rayyan lalu melirik Mami.
“Tante,” panggilnya, “Saya mau nepatin janji saya ke anak Tante.”
Rayyan menyodorkan kedua tangannya. Tangan kirinya telah dikepal, sementara tangan kanannya dia buka lebar. Bikin Athaya, Mami juga Papi refleks menautkan alis mereka heran.
“Tante Una pilih kanan apa kiri?”
Mami memicingkan mata.
“Kanan berarti Tante mau ngasih restu. Kiri sama aja, tapi dikepal.”
Athaya hanya memijat keningnya pasrah, sedang Mami melempar satu buah anggur ke Rayyan.
“Ck! Abisin tuh sarapan kamu.”
Rayyan terkekeh.
“Saya tunggu pilihannya, Tante.”
Mami menggeleng pelan. Rayyan dan Athaya pun hanya berbagi tatapan sesaat sebelum kembali melanjutkan sarapan mereka; meski Mami gak bilang apa-apa.
Tapi gak lama berselang, di tengah keheningan yang hanya diisi dengan dentingan sendok, suara Mami tiba-tiba menggema.
“Bilangin ke Mama kamu supaya masak sop buntut buat saya.”
Saat itu pula Rayyan dan Athaya mendongak. Menatap Mami lalu mengulas senyum haru mereka.
“Makasih, Tante.” ucap Rayyan.
“Saya kan gak bilang kalau saya udah ngasih restu,” kata Mami.
“Saya juga gak berterima kasih untuk itu kok, Tante Una.”
Mami mengernyit, “Terus?”
“Makasih karena Tante udah ngajarin saya banyak hal,” Rayyan tersenyum lalu melirik Athaya, “Aya pasti bangga banget punya Mami yang kuat kayak Tante.”
“Iya lah, anaknya aja kuat banget apalagi Maminya. Iya kan, Mi?”
Mami mengangguk mendengar ucapan anaknya, “Mm, kita juga gak cengeng kayak seseorang.”
Rayyan mengusap dada sejenak.
“Saya gak tersindir kok, Tante.”
Mami tertawa kecil sebelum menyodorkan lauk ke Rayyan.
“Nih, makan yang banyak.”