Gara-gara bercanda
“Mami sama Papi lu lagi ngapain di lantai dua?” tanya Rayyan.
“Tadi sih Papi minta dibantu sama Mami buat nyari berkas apa gitu di ruang kerjanya.”
“Tapi kok lama banget ya? Gue mau pamitan nih,” kata Rayyan, “Apa jangan-jangan Mami sama Papi lu lagi bikin adek buat lu?”
“Saya denger ya kamu ngomong apa,” suara Mami menggema.
Athaya dan Rayyan pun lantas menoleh ke sumber suara. Mendapati Mami dan Papi telah berdiri gak jauh dari mereka.
“Saya bercanda, Tante.”
“Pukul dia aja, Mi.”
“Pukul Aya aja, Tante.”
“Setan,” Athaya menoyor Rayyan.
Rayyan juga Athaya lalu berdiri. Menghampiri Papi dan Mami yang berada di ambang pintu geser menuju kolam renang. Tapi belum sempat Athaya atau pun Rayyan bersuara lagi, bunyi bel rumah lantas mencuri atensi mereka; termasuk Mami Papi.
“Siapa yang datang jam segini ya, Mi?” tanya Papi kepada sang istri.
“Gak tau, Pi. Biasanya orang aneh doang sih yang bertamu malem-malem gini,” ucap Mami sebelum melirik sekilas ke arah Rayyan.
“Saya gak tersindir kok, Tante.”
Mami hanya menggeleng pelan mendengar ucapan Rayyan.
“Mami bukain pintu gih,” titah Papi. Mami pun mengangguk.
“Saya udah mau pamit juga, Om, Tante,” tutur Rayyan, “Sekalian aja saya nemenin Tante Una ke depan, ngeliat orang anehnya.”
“Gak usah. Masa saya ngeliat orang aneh bareng orang aneh?”
Rayyan pun mengulum senyum hingga Mami melenggang pergi. Setelah si wanita paruh baya hilang dari pandangan, Rayyan kemudian kembali menatap Papi.
“Saya pamit ya, Om.”
“Kok buru-buru amat, Yan?”
“Udah malem nih, Om. Entar saya dicariin Mama sama Papa,” Kata Rayyan, “Om sama Tante juga musti istirahat abis ini.”
“Ya udah. Kamu hati-hati ya.”
“Siap, Om.”
Papi kemudian menuntun Rayyan untuk kembali masuk ke dalam rumah bersama Athaya. Hingga saat mereka telah sampai di ruang tengah, Mami lantas telah datang juga. Bersama seorang pria bertubuh tinggi dan tampan dengan kulit tan-nya.
“Malam, Om.”
“Loh? Zaky?”
Papi tersenyum cerah sebelum menerima dekapan pria itu.
“Sejak kapan kamu balik ke Jakarta?” tanya si paruh baya.
“Udah sejak dua hari yang lalu,” jawab pria bernama Zaky itu, “Tapi aku baru sempet mampir.”
“Kok gak ngabarin sih, Mas?”
Zaky terkekeh. Dia lalu beralih mengacak-acak rambut Athaya. Membuat Rayyan yang tengah memerhatikan mereka seketika menaruh tanya; tentang siapa sosok Zaky yang terlihat amat dekat dengan Athaya juga Papi.
“Kan biar surprise,” kata Zaky.
“Aku dibawain oleh-oleh gak?”
“Ada,” Zaky menyodorkan paper bag yang dibawanya, “Nih.”
“Makasih, Mas!” seru Athaya.
Zaky—lebih kerap disapa Kiki lantas tersenyum lalu melirik ke arah Rayyan sejenak. Mami yang menyadarinya pun berdeham sebelum berkata, “Ki, Kenalin. Dia Rayyan. Temen kerja Aya.”
Mami lalu menatap Rayyan.
“Yan, kenalin, dia Zaky,” katanya sambil memeluk pinggang Zaky dari samping sebelum kembali bersuara, “Calon suami Athaya.”
Athaya yang mendengar ucapan Mami lantas melotot, “Mi!”
Mami hanya menatap lurus ke dalam netra legam Athaya lalu kembali menatap Rayyan yang sedang memaksakan senyumnya.
Rayyan pun paham, bukan tanpa alasan Mami memperkenalkan Zaky padanya. Mami, jelas, ingin memberitahunya tentang batas.
“Salam kenal, Mas.”
“Salam kenal, Rayyan.”
“Kak, kamu bikin kopi buat Kiki sana,” titah Mami dengan santai.
Athaya mendengus lalu melirik Rayyan yang justru sedang sibuk sendiri menatap Zaky dan Mami.
“Tante, Mas, saya izin pamit.”
“Kenapa buru-buru, Rayyan?”
“Saya udah dicari sama orang rumah, Mas. Soalnya pas pulang kantor langsung ke sini. Terus gak bilang-bilang juga,” katanya.
“Oh gitu.”
“Kak, kenapa kamu masih berdiri di situ?” Mami berdecak, “Bikin kopi buat Kiki gih,” ucapnya lagi.
“Aku mau nganterin Ayyan ke depan bentar, Mi. Bentar doang.”
“Biar Mami aja yang nganterin.”
Rayyan menepuk pundak Athaya.
“Gue cabut ya,” katanya sebelum bergegas pergi. Mengikuti Mami yang udah melangkah duluan.
Sesampainya di ambang pintu pagar, Rayyan lantas berbalik. Kini Rayyan dan Mami berdiri saling berhadapan. Persis seperti saat Rayyan baru datang tadi.
“Tante, bisa tunggu di sini bentar gak?” tanya Rayyan, “Bentar aja.”
“Mm.”
Mami hanya bergumam kecil lalu melihat Rayyan berjalan ke arah mobilnya. Mengambil sesuatu yang entah apa lalu kembali lagi. Berdiri di depannya seperti tadi.
“Itu apa?” tanya Mami ketika Rayyan menyodorkan paper bag kecil berwarna putih kepadanya.
“Ini cincin, Tante.”
Mami lantas menautkan alis.
“Kemarin saya nemenin Mas Heri beli cincin buat pertunangannya. Terus saya ngeliat cincin ini dan saya langsung kepikiran sama Aya,” tatapan Rayyan amat sedu.
“Soalnya saya pernah janji mau nikahin dia,” tuturnya, “Dan saya pikir, cincin ini cocok buat Aya.”
Rayyan memaksakan senyumnya, meski kini matanya telah berair.
“Tapi tolong Tante jangan salah paham ya?” ucapnya lirih, “Saya gak ada maksud apa-apa lagi kok dengan ngasih cincin ini ke Aya.”
“Waktu beli cincin ini, saya emang udah meniatkan dalam hati…” Rayyan melanjutkan.
“Kalau saya berjodoh sama Aya, saya bakal masangin cincin ini buat dia. Tapi kalau ternyata saya gak berjodoh sama Aya, cincin ini juga bakal tetap jadi milik dia.”
“Dan sekarang… Saya tau kalau Aya udah punya calon ternyata.”
Rayyan memaksakan tawanya, tapi air matanya justru menetes.
“Saya ikut seneng ngeliat Athaya udah ketemu sama orang baik.”
Rayyan melirik paper bag-nya.
“Tolong kasih cincin ini ke Aya ya, Tante?” pinta Rayyan, “Gak perlu dipake kok. Disimpen aja sebagai hadiah dari saya. Gak apa. Biar niat saya juga lunas.”
“Kenapa bukan kamu aja yang ngasih ke Aya?” sela Mami.
Rayyan menggeleng lemah.
“Saya gak bisa, Tante.”
Rayyan, lebih tepatnya, gak tau gimana caranya ngasih cincin itu ke Athaya tanpa menangisinya. Dia gak mungkin bisa menahan tangisnya di hadapan Athaya—yang nantinya bisa bikin Athaya justru ngerasa gak enak ke dia.
“Tolong diterima ya, Tante.”
Mami pun meraihnya. Membuat Rayyan tersenyum meski pipinya telah dibasahi dengan air mata.
“Makasih,” ucapnya, “Malam ini saya seneng banget bisa makan bareng Tante, Om, sama Athaya.”
Rayyan menahan isakan dengan mengulum bibirnya sejenak. Dia lalu meraih tangan Mami Athaya. Membungkuk, pun menyalami si paruh baya yang hanya terdiam.
“Saya pamit,” ucap Rayyan lagi dengan suaranya yang tercekat.
“Dasar cengeng.”
Rayyan pun tertawa, tapi sambil menangis. Dia menatap Mami.
“Saya cengengnya kalau lagi patah hati doang kok, Tante.”
“Gak usah patah hati,” kata Mami, “Kiki itu sepupu Aya, dari Papi.”
Rayyan terdiam. Mencoba untuk mencerna ucapan Mami barusan.
Mami lalu melipat lengan, “Kamu kan suka banget bercanda. Jadi saya bercandain kamu juga tadi.”
“Tante,” Rayyan lantas memelas.
Si wanita paruh baya tersenyum mengejek lalu menghela napas.
“Pulang gih. Udah malem,” kata Mami, “Mama Papa kamu pasti udah nungguin kamu dari tadi.”
Wanita paruh baya itu kemudian menyodorkan paper bag yang berisi cincin tadi kepada Rayyan.
“Nih,” ujar Mami, “Katanya pengen masangin buat Aya.”
Rayyan menahan napasnya. Gak percaya dengan yang dia dengar.
“Tante,” dia gugup, “Jadi saya boleh pacaran lagi sama Aya?”
“Saya gak bilang kamu boleh pacaran sama Aya,” balas Mami lalu meraih tangan Rayyan dan menuntun pemilik lesung pipi itu agar memegangi paper bag-nya.
“Tepatin tuh janji kamu,” katanya.
Rayyan tersenyum haru. Untuk sesaat dia gak bisa berkata-kata. Matanya pun kembali memanas, tapi terselip rasa lega di sana.
“Tante Una.”
“Apa lagi?”
“Saya boleh meluk Tante gak?”
Mami gak mengatakan apa-apa. Tapi dia lantas merentangkan kedua lengannya. Rayyan lalu ikut melakukan hal serupa. Tapi bukannya memeluk Mami, dia justru mengusili si paruh baya.
Dia menggeser lengannya lalu berkata, “Eh? Meleset, Tante.”
“Kamu bener-bener ya.”
Mami lantas mencubit lengan Rayyan, tapi empunya ketawa. Setelahnya, Rayyan kemudian benar-benar memeluk Mami.
“Maafin saya ya,” gumam Mami.
“Tante gak ada utang minta maaf sama saya,” balas Rayyan lirih.
“Kamu nangis lagi?”
Rayyan menggeleng, “Gak kok.”
Mami terkekeh. Dia lalu beralih menatap wajah Rayyan. Jelas jika mata pemuda di hadapannya itu berkaca-kaca. Mami kemudian mengusap pelan bahu Rayyan.
“Pulang sana.”
“Saya pulang sekarang ya, Tante.”
“Mm. Hati-hati.”
Saat berjalan ke arah mobilnya, Rayyan kemudian mendongak sejenak. Memandangi balkon kamar Athaya. Saat itu pula dia tersenyum sumringah, sebab sang pujaan hati ternyata ada di sana. Jelas jika Athaya juga baru saja menangis, matanya sembab.
“Aya! Gue cinta banget sama lu!”
Athaya pun melotot saat Rayyan berteriak. Sementara Mami yang masih berdiri di ambang pagar lantas geleng-geleng kepala.
“Heh! Pulang,” titah Mami.
“Aya! Gue udah bisa teriak di sini kalau mau ketemu sama lu lagi!”
Mami menghela napasnya lalu membuka satu sendal jepit yang dia pakai. Setelahnya, Mami lantas berpura-pura mengambil ancang-ancang untuk melempar Rayyan. Membuat pemilik lesung itu seketika berlari terbirit ke arah mobilnya sambil tertawa.