Sense
Arga sepenuhnya tau bahwa keputusannya untuk bercerita kepada Deva tentang karangan fiksi dunia Alpha dan Omega yang sejak kemarin ia baca sama saja dengan menjatuhkan harga dirinya. Bukan tidak mungkin jika setelah ini Deva akan melihat dirinya sebagai sosok yang tidak bisa membedakan mana fiksi dan realita. Bahkan Deva mungkin akan lari karena mengira kalau ia sudah ikutan gila seperti orang yang mereka temui tempo hari.
Hanya saja, Arga merasa jika apa yang dibacanya semalam justru tidak jauh berbeda dengan apa yang ia alami kemarin. Terlebih setelah ia membaca chat Deva tadi. Mana mungkin Deva telah mengganti parfum tapi wangi yang menusuk hidungnya masih sama? Apalagi Arga sangat tau bagaimana wangi Wood Sage; sebab dirinya pun menggunakan parfum itu. Dan memang benar, satu Minggu awal Deva berada di kantor, ia mengenali wangi lain.
Arga pun menyatukan titik demi titik kejadian yang telah ia alami dengan isi cerita fiksi Alpha dan Omega semalam. Tentang wangi, ia lantas mengingat bahwa: saat Omega sedang mengalami masa heat, feromon akan menguar dari tubuhnya hingga memicu hasrat berahi sang Alpha. Arga seketika berpikir jika wangi yang ia kira adalah parfum Deva mungkin saja feromon; terbukti saat ia turn on karena menghirupnya.
Keputusan Arga akhirnya sudah bulat. Ia tidak bisa menyimpan pikiran aneh di dalam kepalanya sendirian. Meski harus dianggap gila, Arga akan membuktikannya. Dan tidak ada orang lain yang bisa Arga jadikan tempat untuk menceritakan masalah ini selain Deva. Apalagi hanya Deva pula yang tau tentang ucapan orang gila yang mereka temui itu.
“Pak Arga.”
Arga yang semula terjebak dalam lamunan lantas tersentak ketika mendengar suara Deva. Lelaki itu telah berdiri di depan mejanya, bersamaan dengan wangi segar yang kembali menguar darinya.
“Duduk,” titah Arga.
Deva yang melihat tatapan serius Arga diam-diam menelan ludah. Namun saat sang CEO menyisir rambutnya gusar hingga nampak berantakan, Deva pun tertegun.
Kok Pak Arga ganteng banget ya?
Sadar akan pikirannya yang mulai ngaco, buru-buru Deva membuang pandangan sejenak sebelum menarik napas dalam. Ia lalu kembali menatap sang CEO yang wajahnya terlihat bimbang.
“Pak Arga mau ngomong apa sama saya?” Deva to the point.
“Dev, kamu akhir-akhir ini…” Arga menggantungkan ucapan di ujung lidahnya. Berpikir ulang apa ia harus menanyakan hal ini.
“Apa, Pak?”
Arga menggeleng lalu berdeham, “Kamu... Lagi sakit perut gak?”
Deva mengangguk kikuk. Kok Pak Arga tau? Padahal sejak kemarin ia tidak pernah memberitahunya. Tapi mungkin saja Arga tau dari Eren, pikir Deva lalu menyahut.
“Iya, Pak.”
“Diare?”
“Enggak, Pak. Sakit perut saya ini udah sejak kemarin. Cuman pas saya ke dokter semalam, katanya saya paling abis salah makan.”
Arga mengulum bibir. Ia meraih pulpen di atas mejanya, meremas alat tulis itu guna meredam rasa gugupnya yang tiba-tiba muncul. Pasalnya, Deva benar-benar sakit perut seperti Omega yang heat.
Enggak. Ini kayaknya kebetulan, batin Arga lalu menghela napas.
“Deva.”
“Iya, Pak?”
“Kamu pernah gak sih kepikiran sama ucapan orang gila yang kita temui pekan lalu?” tanya Arga.
Deva meremas-remas tangan di bawah meja. Apa ia harus jujur?
“Pernah, Pak. Apalagi apa yang orang gila itu bilang ke saya tuh emang sesuai sama apa yang saya alami. Saya sial,” jelasnya.
“Menurut kamu… Itu kebetulan gak?” Arga menatap Deva serius.
Sang sekertaris pun menggeleng, “Saya gak tau, Pak. Tapi entah itu kebetulan atau gak, ucapan dia bikin saya mikir semingguan ini. Apalagi cukup aneh karena orang itu gak keliatan di mana-mana. Menurut saya itu janggal banget. Saya takut kalau ternyata dia penunggu kantor Pak Arga.”
Arga sadar jika ia tidak sendirian.
“Kamu pernah coba-coba nyari tau soal Alpha dan Omega yang menikah gak?” tanya Arga lagi, “Atau pernah baca fiksi gitu?”
“Saya gak nyari tau, Pak. Tapi kebetulan pas SMA dulu Eren suka baca manga dan saya sering diceritain sama dia. Jadi saya tau sedikit tentang ABO,” jelas Deva.
Deva, jujur saja, bingung kenapa sang CEO tiba-tiba melayangkan banyak pertanyaan tentang hal itu. Baru kali ini juga Arga tidak mengomel atas jawaban yang ia berikan. Apa mungkin Arga juga resah sepertinya karena ucapan orang gila pekan lalu? Pikirnya.
“Kalau boleh tau, ada apa ya Pak Arga nanya soal ini?” balas Deva.
“Saya mau ngasih tau kamu sesuatu, tapi kamu harus janji dulu bakal jaga rahasia ini. Cukup saya sama kamu yang tau,” kata Arga, Deva lantas mengangguk.
“Saya bisa jaga rahasia kok, Pak. Baik itu rahasia pribadi Pak Arga sebagai atasan saya, juga rahasia perusahaan. Itu sudah tertuang dalam kontrak saya,” tutur Deva.
Arga menarik napasnya, “Jujur, saya juga kayak kamu. Seminggu terakhir ini, saya suka kepikiran sama ucapan orang gila yang kita temui pekan lalu. Apa yang dia bilang tentang saya juga benar... Percintaan saya tuh selalu gagal.”
“Dan akan terus gagal kecuali saya menikahi Omega saya sendiri. Saya Alpha yang harus menikah dengan Omega,” kata Arga, “Terus karena penasaran, saya coba nyari tau di internet. Jadi saya baca karangan fiksi soal Alpha yang menikahi Omega.”
Arga tiba-tiba mendengus.
“Saya tau kamu mungkin bakal nganggap saya gila. Tapi di sini saya pengen buktiin sendiri kalau pikiran saya udah ngaco. Bisa aja saya cuma stress karena kerjaan, makanya mulai mikir aneh-aneh.”
“Biasanya saya gak bakal peduli sama hal konyol kayak gini. Tapi kejadian aneh yang saya alami beberapa hari terakhir bikin saya cemas sama diri saya sendiri.”
Deva tersenyum, tapi Arga yang melihatnya seketika berdecak.
“Kamu mau ngetawain saya?”
“Gak kok, Pak. Tapi saya lega aja,” kata Deva lalu terkekeh, “Soalnya saya ternyata gak gila sendirian.”
“Enak aja. Saya gak bilang kalau saya gila ya. Saya cuma keganggu karena stress,” Arga mengomel.
Deva mengulum bibir sejenak. Ia menahan senyum melihat Arga yang angkuh sangat takut akan ditertawakan dan dianggap gila.
“Jadi apa yang Pak Arga pengen lakuin buat buktiin kalau pikiran Bapak ngaco?” Deva penasaran.
“Kamu tau istilah heat kan?”
Deva mengangguk, “Tau, Pak.”
“Semalem saya baca, Omega yang heat itu bakal ngeluarin feromon dari tubuhnya. Kalau kamu ngasih izin, saya pengen nyari wangi itu di tubuh kamu.”
Deva terbelalak. Arga yang sadar akan ekspresi bawahannya pun buru-buru mengibaskan tangan.
“Gak! Kamu jangan mikir yang macem-macem,” serunya. “Saya paham kamu pernah jadi korban pelecehan. Saya gak berniat buat nyentuh kamu sama sekali kok.”
“Saya bakal ngendus wangi itu satu jengkal dari tubuh kamu. Itu pun cuma di bagian kepala, leher sama pergelangan tangan kamu. Kalau wanginya gak ada di sana, berarti wangi itu ada di…” Arga menelan ludah lalu menghindari tatapan Deva, “Di kelamin kamu.”
“Jadi Bapak juga mau ngendus kelamin saya?!” Deva histeris.
“Ya enggak lah! Gila kamu. Saya kan bisa ngendus itu dari jauh!”
Deva mendesis. “Ya udah, Pak. Saya izinin. Mau dicoba kapan?”
“Tahun depan,” jawab Arga datar, “Ya sekarang lah. Kamu ini gak soal kerjaan, gak soal beginian, seneng banget nunda-nunda.”
Deva merenggut, “Baik, Pak.”
Arga kemudian mengeluarkan parfum dari laci. Ia menyodorkan parfum itu ke depan Deva lalu berkata, “Coba kamu pake dulu.”
Deva lantas menurut. Dipakainya parfum pemberian sang atasan di pergelangan tangannya. Ia lalu menyodorkan pergelangannya ke Arga, memberi instruksi kepada CEO itu agar mengendusnya.
Arga mencondongkan badan. Ia pun seketika dibuat terkejut saat mendapati bahwa wangi parfum yang Deva semprotkan tidak tercium dari sana sama sekali. Justru wangi segar bak bunga mawar lah yang menyengatnya.
“Gimana, Pak?”
“Kayaknya wanginya dari sini,” tutur Arga lalu berdiri dari kursi.
Deva pun hanya memerhatikan Arga yang kini menghampirinya. Atasannya itu mengendus kepala lalu turun ke lehernya dengan jarak sejengkal, seperti yang Arga janjikan tadi. Namun Deva—yang entah kenapa—kembali merasa panas justru dihinggapi kecewa ketika Arga lantas menjauhinya.
Ia ingin Arga selalu di dekatnya.
“Di kepala sama leher kamu gak ada,” Arga lalu membungkuk, kepalanya berada di depan perut Deva yang masih duduk di kursi.
Arga mencoba menghirup aroma yang bisa saja menguar dari area kelamin Deva, setelahnya ia pun mendongak lalu berkata, “Di sini juga gak ada sama sekali. Adanya di pergelangan tangan kamu.”
Penasaran, Deva pun mencoba untuk mengendus pergelangan tangannya. “Ini bau parfum tadi.”
“Enggak. Saya tau persis gimana bau parfum tadi, Deva. Coba deh kamu semprotin ke bagian yang lain terus saya coba endus lagi.”
Mengangguk paham, Deva pun menyemprotkan parfum itu ke ceruk lehernya. Ia lalu memberi instruksi kepada Arga untuk mengendus kembali spot itu.
“Tuh kan,” kata Arga setelah ia mengendus ceruk leher Deva, “Kalau di sini baru kecium dikit. Soalnya wangi parfum ini masih kalah sama wangi di pergelangan tangan kamu. Masa kamu gak bisa nyium bau kamu sendiri?”
Arga pun refleks menggenggam pergelangan tangan Deva guna menghirup kembali wangi segar itu. Tapi yang kemudian terjadi, sensasi bagai sengatan listrik tiba-tiba mendera. Tidak hanya dirasakan oleh Arga, namun juga Deva. Kedua anak manusia itu lantas saling berbagi pandangan dengan sang CEO yang masih setengah membungkuk; wajah mereka sejajar. Alhasil, Deva bisa melihat secara dekat bagaimana Paras Arga yang amat rupawan.
Tanpa sadar tangan Arga lantas bergerak, beralih menggenggam jemari Deva. Sekertarisnya itu pun membalasnya, menyatukan jemarinya dengan Arga hingga semakin erat. Tatapan keduanya pun terkunci rapat bersamaan dengan wajah Deva yang mulai mendekati wajah sang atasan.
Jika saja telepon di meja Arga tidak berdering, keduanya mungkin telah hilang kendali. Suara nyaring itu pun seketika mengembalikan akal sehat Arga dan Deva. Alhasil, buru-buru Deva berdiri dengan jantungnya yang berdegup amat kencang. Pun Arga yang mengatur napas.
“Kamu boleh kembali ke meja kamu sekarang,” titah sang CEO.
“Baik, Pak.”
Deva pun berlalu. Ia kembali ke meja kerjanya dengan langkah terburu-buru. Sementara itu Arga yang merasa lemas lantas duduk di kursi sambil menatap kosong ke arah meja. Bahkan ia tak memedulikan lagi pekikan nyaring dari teleponnya karena terlalu sibuk dengan pikirannya.
Gak mungkin…
Ini mustahil…
Semuanya pasti cuma mimpi.
Arga membatin frustasi sambil menarik pelan rambutnya. Saat sadar jika sesuatu di balik celana dalamnya mengeras, Arga lantas menunduk. Setelahnya, ia hanya mampu menghela napas gusar sebelum menyandarkan kepala di atas mejanya. Entah dosa apa yang telah ia perbuat di masa lalu hingga sang empu semesta menghukumnya seperti saat ini.