Prolog

“Aku gak bisa ngelanjutin hubungan ini sama kamu.”

Jantung dibalik dada bidang Deva seakan berhenti berdetak untuk sesaat, tepat setelah kalimat itu tiba-tiba diutarakan oleh wanita yang kini duduk di hadapannya. Pasalnya, gak ada angin atau pun hujan yang menerpa. Sebelum bertemu di restoran tadi pun ia mengatur janji secara baik-baik dengan sosok yang gak lain adalah pacarnya sendiri untuk makan siang bersama pada jam istirahat. Alhasil, apa yang baru saja Deva dengar lantas ditolak mentah-mentah oleh nalarnya.

“Kamu jangan bercanda ah,” Deva memaksakan tawa, “Anniversary kita udah lewat bulan lalu, Yang.”

“Aku serius, Deva.”

Kedua tungkai Deva yang berada di bawah meja seketika lemas. Ia masih enggan percaya atas apa yang didengarnya. Gak mungkin mereka pisah tanpa ada masalah.

“Kamu lagi PMS ya, Sayang?” Deva meraih jemari pacarnya, “Bentar ya. Aku panggil pelayan dulu. Biar aku pesenin es krim—”

“Aku bakal dijodohin sama orang tua aku,” potong wanita cantik itu sebelum Deva selesai dengan ucapannya, “Maafin aku, Dev.”

“Sayang, aku juga bakal nikahin kamu. Aku udah pernah bilang kan kalau aku mau serius sama kamu?” jelas Deva, “Aku masih ngumpulin uang sambil nunggu Abang aku nikah duluan bulan depan. Kamu tau itu kan, Yang?”

“Aku ngerti, Dev. Tapi Mama Papa aku enggak,” kata wanita di hadapan Deva lalu menunduk, “Aku udah dikejar umur. Belum lagi soal Papa aku yang masih berpegang teguh sama tradisi uang panaik. Aku udah pernah cerita kan dulu? Kamu inget?”

Ya, Deva sangat ingat akan hal itu. Sepanjang yang Deva tau, uang panaik adalah salah satu bagian dalam tradisi pernikahan suku Bugis Makassar dimana calon mempelai pria memberi sejumlah uang kepada calon mempelai wanita saat lamaran. Bedanya dengan mahar, panaik justru diminta oleh pihak calon mempelai wanita sebagai bentuk penghargaan. Tidak ada patokan pasti atau pun tuntutan tentang jumlah uang panaik. Tapi zaman telah semakin maju, gengsi yang ada dalam masyarakat pun makin tinggi. Alhasil, tidak jarang pihak keluarga dari mempelai wanita akan mematok panaik tinggi sesuai dengan status sosialnya bakan jenjang pendidikan hingga pekerjaan anak wanitanya; bisa bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Nyeremin kata Deva.

“Emang berapa panaik yang kamu dapat kalau kamu nikah sama pilihan orang tua kamu?” tanya Deva dengan suara lirih.

“Lima ratus juta, Dev.”

Dan begitu lah kisah cinta Deva harus kandas di tengah jalan. Dia ditinggal nikah perkara enggak mampu memberi panaik seperti yang orang tua pacarnya mau. Mau kerja bagai kuda sampai tahun depan pun belum tentu juga dia bisa ngumpulin sebanyak itu. Apalagi kalau cuma dikasih waktu sampai bulan depan?

Deva hanya seorang sekertaris dari sosok kepala divisi salah satu perusahaan swasta Ibukota. Gajinya masih belum seberapa, beda dari calon suami pacarnya yang seorang pengusaha batu bara. Deva kalah. Kalah telak.

Deva pun kembali ke kantornya dengan hati yang dirundung pilu. Jujur saja ia merasa perlu untuk pulang secepatnya. Deva hanya ingin mengurung diri di kamar sambil mendengarkan lagu galau. Lagu ‘Tak Ingin Usai’ cocok bener nih, batin Deva. Tapi realita tidak se-mudah itu. Ia harus kembali bekerja supaya bisa tetap hidup.

“Deva makan siang di mana?”

Baru saja Deva duduk di kursi kerjanya, tapi sang atasan telah datang dan memberi pertanyaan. Mau gak mau Deva harus ngasih jawaban. Apalagi si pria paruh baya punya watak yang sensitif. Ngerasa dicuekin dikit, eh marah.

“Saya makan di Marugame, Pak.”

“Kok gak ngajak saya?”

Deva menghela napasnya, “Tadi saya juga cuma diajak sih sama mantan pacar saya. Maaf ya, Pak.”

“Pacar kamu gak marah kalau kamu makan sama mantan?”

“Itu yang makan sama saya tadi pacar saya kok, Pak. Tapi abis makan udah putus,” jujur Deva.

Persekian sekon berikutnya, Deva lantas tersentak ketika sang atasan tiba-tiba duduk di tepi mejanya. Encok tau rasa lu, batin Deva heran. Tapi Deva kemudian kembali dibuat kaget saat si pria paruh baya mengusap bahunya. Jelas Deva menghindar. Dia gak suka dipegang-pegang kayak gitu. Apalagi dengan raut wajah atasannya yang memelas.

“Berarti kamu udah single lagi ya, Dev?” pria paruh baya itu lalu mencolek dagu Deva, “Kamu mau gak kalau saya yang jadi pengganti mantan pacar kamu?”

Deva menelan ludah. Apaan lagi sih ini? Masa dia digoda aki-aki?

“Bapak udah punya istri,” Deva berusaha se-sopan mungkin meski amarahnya terpancing.

“Kamu juga laki-laki, Deva. Kamu pasti tau kalau satu wanita aja gak cukup kan?” balas atasannya.

“Tapi kalau pria, cukup satu kok. Kamu aja, Deva. Ya?” timpalnya lalu mencondongkan badannya.

Perasaan Deva makin gak enak. Alhasil, ia berdiri dari kursinya. Tapi sang atasan yang juga ikut berdiri justru menahan lengan Deva. Menariknya, hingga Deva dipeluk oleh si pria paruh baya. Ia merasa dilecehkan sekarang.

“Lepasin saya!” Pekik Deva.

“Deva, denger dulu. Kalau kamu mau jadi pacar saya, apapun yang kamu mau pasti bakal saya kasih.”

Bulu kuduk Deva merinding saat mendengar atasannya berbisik tepat di samping telinga kirinya. Dengan kekuatannya, Deva pun mendorong tubuh sang atasan sebelum beralih mencengkeram kerah kemeja pria paruh baya itu.

“Bapak jangan macam-macam ya sama saya,” Deva berang, “Bapak mau saya laporin ke istri Bapak kalau suaminya ini homo? Iya?”

“Berani ya kamu ngancam saya,” balas si pria paruh baya sembari berusaha menepis cengkeraman Deva, “Lepasin saya, Deva! Kamu saya pecat mulai detik ini. Pergi!”

Deva kemudian menghempaskan cengkeramannya. Ia menatap si paruh baya dengan mata yang berapi-api dan napas tersengal.

“Saya emang udah mau resign sebelum Bapak mecat saya,” katanya lalu mengambil tas di atas meja kerjanya, “Permisi.”

Ya. Dan begitu pula bagaimana Deva kehilangan pekerjaannya.

Dia pun pergi dari kantor dengan perasaan yang bercampur aduk. Deva marah, takut, sedih, dan heran kenapa semua ini harus ia alami. Apa yang telah terjadi dan menimpa Deva hari ini benar-benar bikin dia sakit kepala dan mau teriak kenceng aja selama di perjalanan pulang. Tapi Deva gak mungkin ngelakuin itu. Bisa-bisa dia diteriakin sebagai orang gila yang bawa kabur motor orang.

He’s really fucked up.

Dengan motor matic kesayangan pemberian Bapaknya saat masih kuliah dulu, Deva lantas memacu kecepatan tinggi. Meski ada satu pepatah yang bilang—mendung gak selamanya hujan, tapi Deva dan keyakinannya percaya kalau bentar lagi Jakarta akan diguyur hujan. Langit seolah tau kalau hatinya sedang sedu. Tapi please jangan hujan dulu, batin Deva.

Saat memasuki area kompleks rumahnya, Deva sudah sedikit lega. Kalau pun kehujanan, dia gak bakal basah-basah amat, pikirnya. Sebab hanya tinggal beberapa blok sebelum ia tiba di rumahnya. Deva sendiri masih berpikir akan bagaimana respon orang tua juga Abangnya nanti. Pasalnya, baru tiga bulan sejak ia bekerja di kantor tadi. Belum lagi ingatan Deva tentang pesan Ibu dan Bapaknya saat ia resign dari kantor terdahulu; agar ia mulai fokus pada satu tujuan dan gak gonta-ganti tempat kerja lagi. Apalagi umur Deva saat ini sudah matang, dua puluh enam tahun.

Tapi apa hendak dikata. Pasti ada aja alasan yang bikin Deva mau gak mau harus cabut dari kantor. Entah itu karena lingkungan, pun rekan kerja yang amat toxic. Dan sekarang, ia harus resign karena dilecehkan oleh atasannya.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Deva lantas gak melihat tukang bakso gerobak yang melintasi jalan. Ketika ia kemudian sadar dari lamunannya, semuanya sudah terlambat. Ia menyerobot gerobak bakso itu hingga jatuh di atas aspal, pun Deva yang lantas terbaring bersama motornya sambil menatap kosong ke arah si pemilik gerobak yang mulai mengomel atas kecerobohanya.

Tuhan, gue salah apa? Batin Deva lalu menunduk, menahan tangis.

Entah dosa atau karma apa yang diterimanya. Deva merasa kalau selama ia hidup di dunia, selalu saja ada kesialan yang menimpa dirinya. Entah itu hal-hal kecil seperti mati lampu ketika ia asik memakai sampo di bawah shower sebelum ke kantor, laptopnya tiba-tiba error pas mau sidang skripsi padahal sebelumnya gak apa-apa, sampai hal besar kayak sekarang. Deva merasa terlahir untuk menjadi anak yang sial.

Dan Deva gak tau sampai kapan kesialan itu akan mengikutinya.

Atau emang gak bakal ada akhir sampai ia menutup usia kelak?

Lagi. Deva gak tau dan gak akan pernah tau apa yang menantinya.