Orgil
“Halo, Pak.”
Arga keluar dari lift bersamaan dengan Eren yang baru saja menjawab panggilan teleponnya. Ia kemudian menghentikan langkah kakinya lalu bersuara.
“Ren, tolong bawain hard copy proposal program pertukaran karyawan ke ruangan saya ya.”
“Sekarang, Pak?” balas Eren.
“Enggak. Tahun depan,” Arga berdecak, “Ya sekarang lah.”
“Tapi kemarin… Pak Arga minta saya bawa proposal siang nanti.”
“Terus kenapa kalau saya minta dibawain sekarang? Salah?” Sela Arga, “Kamu mau mecat saya?”
Dapat Arga dengar kekehan Eren di seberang sana. “Gak kok, Pak. Kalau gitu saya ke ruangan Pak Arga sekarang. Itu aja kan, Pak?”
“Iya, itu aja. Cepetan. Abis ini saya ada meeting,” ujar Arga sebelum memutus sambungan telepon dengan sang bawahan.
“Alpha kejam.”
Baru saja Arga hendak berjalan menuju ruang kerjanya, suara seorang pria justru mencuri atensinya. Ia kemudian berbalik, sedikit kaget saat sosok pria—yang ia yakini—berbicara tadi nyatanya berdiri di belakangnya.
Alis Arga pun refleks berkerut heran ketika ia memerhatikan pakaian laki-laki itu dari atas ke bawah. Kacamata hitam, kemeja pantai lengan pendek, celana boxer juga sendal jepit. Pria itu tidak nampak seperti pekerja melainkan wisatawan yang baru saja kembali dari pantai. Aneh.
“Anda siapa?” tanya Arga.
Membuka kacamata hitamnya, sosok yang kini berdiri tepat di hadapan Arga lantas tersenyum. Arga yang melihatnya bergidik, sebab tarikan bibir pria aneh itu terkesan misterius dan… Seram. Ia hanya pernah melihat senyum semacam itu di film-film thriller.
“Kegagalan kamu dalam urusan percintaan bukan tanpa alasan.”
Mata Arga menyipit. Pasalnya, bukannya menjawab pertanyaan yang tadi ia layangkan, pria itu justru kembali bertutur rancu; seperti yang ia dengar beberapa menit lalu. Orang gila apa ya? Batin Arga lalu menelan ludah.
“Tapi karena takdir kamu sudah terikat dengan seorang Omega.”
Arga mendengus, “Terus takdir kamu terikat dengan Gamma? ”
“Ck!” Pria itu memasukkan kedua tangannya di saku celana boxer yang ia pakai, “Susah ngomong sama orang kayak kamu, Alpha.”
“Nama saya Arga, bukan Alpha. Anda salah orang,” tutur Arga, “Tolong pergi dari kantor saya.”
Senyum kembali terukir di bibir sosok pria yang masih menatap wajah Arga lekat-lekat, “Sekuat apapun kamu mencoba untuk mencari pasangan, usaha kamu akan berakhir gagal. Kecuali—”
“Anda nyumpahin saya?” Arga menyela dengan tampang kesal.
Pria di hadapannya pun hanya geleng-geleng kepala sebelum berkata, “Dulu, Alpha memotong leher orang lain. Sekarang, Alpha memotong ucapan orang lain.”
“Alpha, Alpha,” Arga mengomel, “Udah stress ya anda? Pergi atau saya panggil satpam sekarang!”
“Kamu hanya akan bisa menikah dengan Omega, Alpha. Kamu gak akan pernah berhasil memiliki pasangan kecuali kamu menikah dengan Omega kamu sendiri…”
“Omega yang sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan sehidup dan semati kamu,” ia menimpali sebelum melenggang pergi dari hadapan Arga yang kini melongo.
“Dasar orang gila.”
“Saya, Pak?”
“Astaga!”
Arga tersentak saat suara lain kembali menyentuh gendang telinganya. Tapi untuk yang satu ini sudah tidak asing lagi. Ia tau kalau sosok yang menyeletuk itu adalah Eren. Berbalik, Arga pun menghela napas saat mendapati Eren berdiri di depan lift sambil cengar-cengir. Setelahnya sang bawahan pun menghampirinya.
“Pak Arga kok berdiri di sini?”
“Tadi saya ketemu sama orang gila,” Arga mengangkat pundak, ia bergidik. “Kayaknya dia stress gara-gara gak lulus CPNS jadi guru Fisika. Masa saya dipanggil Alpha terus katanya saya cuma bisa nikah sama Omega? Sinting.”
Eren mengulum bibirnya. Sebisa mungkin Eren menahan tawanya agar tidak terbebas. Tapi Arga yang menyadari itu mendelik.
“Kenapa? Kamu mau ngetawain saya?” Arga berang, “Mana sini proposalnya. Saya udah telat.”
“Ini, Pak.”
Setelah meraih berkas proposal yang disodorkan Eren, sang CEO lantas melanjutkan langkah ke ruang kerjanya. Suasana hatinya mendadak buruk karena ucapan orang gila tadi. Apalagi memang benar kalau kehidupan asmara Arga gak pernah berjalan mulus.
Masa lu tersinggung gara-gara omongan orang gila sih, Ga?
Arga menarik napasnya dalam-dalam sebelum duduk di kursi. Tangannya pun bergerak pelan, menyentuh kotak bekal yang ada di mejanya. Ini pasti nasi kuning yang Deva bilang, batin Arga. Ia kemudian bersandar pada badan kursi sambil memejamkan mata. Sampai ketika Arga mendengar derap langkah mendekat, ia pun membuka mata; dan hal pertama yang Arga dapati adalah Deva. Sekertarisnya itu datang dengan membawa kopi di tangan kanan, sedang tangan kirinya membawa kantongan. Namun melihat noda yang amat besar di kemeja putih Deva—di bagian perut—membuat Arga memicingkan mata heran.
“Kamu abis merayap di mana?” Arga menunjuk baju Deva, “Dekil banget baju kamu. Niat kerja gak sih? Ini hari pertama kamu loh.”
Deva tau dia bakal diomelin lagi. Dia pun udah siap untuk itu. Tapi setelah kesialan yang ia alami di cafetaria tadi, Deva benar-benar ingin berteriak saja saat ini. Dada Deva sudah sesak, ia lantas ingin menyerah saja rasanya. Tapi saat mengingat kembali tujuan awal mengapa ia bekerja di Hardiyata Group, Deva pun mencoba untuk mengontrol emosinya lagi. Sabar.
“Malah diem. Sakit gigi kamu?”
Deva berdeham pelan, “Gak kok, Pak. Sebelumnya saya mau minta maaf karena masuk ke ruangan Pak Arga dengan baju dekil gini.”
“Di Cafetaria tadi saya ditabrak sama orang, Pak. Saya udah mikir mau ke store buat beli baju, tapi saya bawain kopi Bapak dulu biar gak dingin. Kalau Pak Arga—”
“Udah, udah,” Arga mengibaskan tangannya, “Ini udah jam berapa. Entar saya malah telat meeting.”
Sang CEO lalu menunjuk kursi di hadapannya dengan dagu, “Kamu duduk di situ. Coba makan nasi kuning yang kamu bawa duluan.”
“Baik, Pak.”
Deva mengikuti perintah Arga. Ia duduk di hadapan atasannya itu sambil mengulas senyum. Deva kemudian meminta izin ke Arga.
“Saya izin buka kotak bekalnya ya, Pak.” katanya yang dibalas dengan anggukan oleh Arga.
Deva pun mulai menyendok nasi kuning buatan Ibunya. Meski di rumah tadi ia sudah memakan satu piring, namun jika Ibu yang memasak, Deva gak akan pernah merasa kenyang. Arga bakal rugi kalau gak nyoba masakan Ibunya, pikir Deva sambil mengunyah.
“Ibu saya bikin nasi kuning ini supaya saya sama Abang saya gak sarapan sembarangan di luar,” Deva bercerita setelah ia menelan nasi kuning yang tadi dikunyahnya, “Padahal Ibu saya musti ke sekolah jam tujuh pagi. Tapi karena Ibu gak mau anaknya salah makan, Ibu sampai bangun subuh buat bikin nasi kuning ini.”
“Jadi Pak Arga gak perlu khawatir bakal sakit perut,” ia menimpali.
Entah kenapa perasaan aneh itu timbul kembali. Deva lega setelah ia berceloteh ke sang atasan. Ia pun sudah siap jika setelah ini ia harus menerima protes Arga lagi.
“Ibu kamu guru?”
Deva lantas kaget akan respon Arga yang di luar ekspektasinya.
“Iya, Pak. Guru SMA.”
Deva kemudian menatap kotak bekal di hadapannya sejenak sebelum kembali memandangi Arga, “Bapak gak mau nyobain?”
“Coba kamu makan sesendok lagi,” titah Arga yang kembali diindahkan oleh sang bawahan.
Melihat Deva begitu menikmati nasi kuning itu membuat Arga refleks menelan ludah. Terlebih ketika Deva melahap perkedel kentang beserta sambelnya.
“Kamu laper apa doyan sih?”
Deva terbatuk saat mendengar pertanyaan Arga, sedang sang CEO lantas meraih satu botol air mineral yang ada di atas meja. Sudah pasti Deva yang membawa air mineral itu, pikirnya. Arga kemudian membuka tutup botol yang kini ia genggam sebelum menyodorkannya kepada Deva.
“Minum.”
“Gak apa-apa, Pak. Buat Pak Arga aja,” ucap Deva sambil menepuk dadanya, “Saya juga ada minum sendiri kok, Pak.” Ia menimpali.
“Ya udah,” gumam Arga sebelum mengambil kembali air mineral tadi lalu menenggaknya sambil memerhatikan Deva. Sekertaris barunya itu sedikit membungkuk guna meraih kantongan yang ia letakkan di bawah meja Arga.
Persekian sekon berikutnya, Arga kemudian dibuat menahan tawa. Pasalnya, Deva justru menenggak susu kotak full cream yang ia ketahui adalah varian plain.
“Kamu umur berapa sih, Deva?”
“Dua puluh enam tahun, Pak.” Jawab Deva setelah meminum susu kesukaannya, “Jadi gimana, Pak? Bapak mau makan nasi—”
Ucapan Deva bahkan belum selesai, tapi Arga sudah lebih dulu meraih kotak bekalnya. Deva yang paham akan hal itu pun seketika tersenyum lega.
“Kalau gitu saya ke dapur dulu ya, Pak. Saya ambilin sendok lain buat Pak Arga,” pamit Deva yang dibalas anggukan oleh atasannya.
Pandangan Arga pun gak pernah lepas dari figur Deva hingga sang bawahan hilang dari tangkapan matanya. Entah kenapa ia selalu merasa bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya. Tapi jika Arga ingat lagi, benar kata Deva tempo hari; mereka gak pernah bertemu. Namun sesuatu di balik dadanya justru selalu memberi respon aneh ketika Deva berada di sekitarnya. Arga merasa jika Deva seperti orang yang tidak asing. Orang yang telah lama gak pernah ia jumpai hingga timbul rasa haru kala mereka bertemu.
Deva, sebenarnya kamu siapa?