Siomay Ayang

“Ini jangan lupa kamu forward ke Mas Heri juga ya besok, Nat.”

“Baik, Pak.”

Rayyan tersenyum tipis ke arah Nathan yang duduk di depannya.

“Oke, itu aja kok dari saya. Kamu boleh pulang sekarang,” katanya.

“Makasih, Pak Rayyan.”

Nathan pun bangkit dari kursi di depan meja Rayyan dan bersiap untuk kembali ke meja kerjanya. Guna merapikan barang-barang juga tasnya sebelum bergegas pulang. Sebab jarum jam sudah menunjuk ke angka lima sore. Tapi sebelum dia berbalik badan, Rayyan justru kembali bersuara.

“Oh iya, Nat. Entar malem bisa dateng kan ke opening warung saya sama Aya?” tanya Rayyan.

Nathan tersenyum sumringah diikuti anggukan, “Bisa kok, Pak.”

“Sip, jangan lupa bawa duit.”

“Ayang,” Athaya yang baru saja menghampiri meja suaminya seketika berdecak lalu menepuk pundak Nathan, “Nat, Rayyan cuma becanda. Jangan dianggap serius ya. Dia emang suka gitu.”

Nathan yang telah paham pun terkekeh pelan, “Iya, Kak Aya.”

“Udah, lu beres-beres meja gih. Terus pulang,” ucap Athaya.

“Oke, Kak. See you.”

See you.”

Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian berdiri di samping sang suami. Rayyan tersenyum lembut lalu meraih tangannya, menggenggamnya.

“Ayo pulang,” ajak Athaya.

Give me ten minutes,” tutur Rayyan, “Ya, sayang? Aku mau ngecek kerjaan dulu. Bentar kok.”

Pemilik lesung pipi itu kemudian berdiri dari kursinya. Melepas genggamannya dari pergelangan tangan Athaya guna mengambil kursi lain lalu meletakkannya tepat di samping kursi kerjanya.

“Kamu duduk di sini.”

Athaya hanya menggeleng pelan sebelum menyanggupi perintah suaminya. Dia duduk di kursi kerja Rayyan, sedang sosok yang juga atasannya itu mendaratkan bokong pada kursi lain yang dia ambil tadi. Setelahnya, Rayyan pun memusatkan pandangan ke arah MacBook di hadapannya. Gak peduli kalau orang-orang di dalam ruang divisi udah pergi, dan yang tersisa hanya mereka.

Sementara itu, Athaya yang gak henti-henti memandangi Rayyan lantas mengulas senyum tipis. Sebab Rayyan terlihat begitu serius dan berkonsentrasi pada pekerjaannya. Hal itu pula yang menjadi titik attractive dari sang suami—bagi Athaya. Pasalnya, Rayyan bisa menjadi sosok yang sangat serius bahkan ambisius ketika bekerja. Tapi juga bisa berubah menjadi jenaka saat berinteraksi dengan orang lain, terlebih saat bersama dirinya.

“Udah.”

Rayyan menghela napas lega lalu menoleh ke Athaya. Tapi saat itu juga dia mendapati Athaya justru sibuk menatap wajahnya lekat-lekat sambil tersenyum manis.

“Kenapa kamu liatin aku kayak gitu hm?” Rayyan lalu mencubit pelan dagu Athaya, “Sange ya?”

“Anjing lu,” gumam Athaya diikuti kekehan. Setelahnya, dia lantas memeluk Rayyan dari samping.

Rayyan pun tersenyum. Dia lalu mengecup puncak kepala sang pujaan hati sesaat lalu berkata,

“Pulang yuk. Kita musti siap-siap ke warung juga loh abis ini, Ya.”

“Mm,” Athaya lantas mendongak, menatap wajah Rayyan sejenak lalu mengecup bibir suaminya.

“Ayo,” katanya sebelum berdiri.

Tapi ketika Athaya hendak melangkah lebih dahulu guna meninggalkan meja suaminya, Rayyan justru menahannya.

“Kenap—anjing!”

Belum sempat Athaya bertanya; kenapa Rayyan mencengkeram pergelangan tangannya, namun dia justru sudah lebih dahulu dibuat berteriak. Sebab sang suami tiba-tiba mengangkat tubuhnya hingga terduduk di atas meja. Rayyan lalu berdiri di antara kedua pahanya, terkekeh.

Give me five minutes.”

“Buat apa lagi?” tanya Athaya dengan raut wajah pasrahnya.

“Aku pengen nyium kamu,” balas Rayyan sambil melingkarkan lengannya di pinggang Athaya.

Tersenyum mengejek, Athaya kemudian menarik tengkuk suaminya itu. Menyatukan kedua bilah bibir mereka hingga saling melumat lembut, penuh afeksi.

“Astaghfirullah!”

Baik itu Athaya maupun Rayyan buru-buru menghentikan aksi mereka saat mendengar pekikan dari arah pintu. Mereka lantas menoleh, melotot mendapati Nathan tengah berdiri di sana.

Cengar-cengir, Nathan menelan ludahnya lalu berkata, “Maaf saya mengganggu, Kak. Pak Rayyan.”

“Loh? Lu ngapain balik lagi ke kantor, Nat?” tanya Athaya lalu turun dari meja kerja sang suami. Rayyan pun berdeham, bersikap seolah gak terjadi apa-apa tadi.

“Ini, Kak. Aku mau ngambil kunci motor sama helm,” jawab Nathan yang membuat Athaya juga Rayyan menautkan alis heran.

“Jadi lu darimana aja tadi? Kirain udah pulang,” timpal Rayyan.

Nathan mengusap tengkuknya.

“Saya lupa kalau bawa motor ke kantor, Pak. Baru inget pas udah di gojek tadi. Jadi ya udah saya balik lagi,” Nathan cengengesan.

“Ya Allah, Nathaaan.”

***

“Gimana? Siomay Ayang enak kan?” tanya Rayyan ke sahabat juga rekan kerjanya yang telah duduk bersama di sebuah meja; awalnya dua, tapi dijadikan satu agar memanjang hingga cukup untuk delapan orang. Sudah termasuk dirinya dan Athaya

Di meja itu ada, Yasa, Danar, Janu, Dina, Heri, juga Nathan.

“Iya, enak banget. Apalagi siomay gratis. Beuh!” sahut Yasa hingga yang lainnya seketika tertawa.

“Gue gak bilang kalo itu gratis ya,” balas Rayyan lalu terkekeh.

“Tapi rame juga ya warung lu,” kata Janu, “Baru buka aja udah banyak yang ngantri noh. Pake tuyul jenis apa sih?” candanya.

“Lu belum pernah liat tuyul gue?” balas Rayyan lalu mengeluarkan handphone dari saku celananya.

Athaya yang sedari tadi asik melahap siomay pun seketika ikut penasaran melihat Rayyan.

“Nih,” Rayyan menunjukkan layar handphone ke arah Janu, “Tuyul paling gemes dan lucu se-dunia.”

“Bentar! Hahaha! Ini siapa?”

“Gue mau liat juga dong.”

“Liat coba, liat!” Danar ikutan.

“Liat apa sih mereka?” tanya Dina kepada Athaya yang cuma bisa mengangkat pundak—gak tau.

“Woi? Ini Aya?” Yasa tergelak.

Athaya seketika melotot. Dia lalu menatap sang suami sebelum merebut handphone-nya. Saat itu pula dia seketika mendesis kesal sebelum memukul brutal tubuh Rayyan. Sebab foto yang terpampang di sana—bahkan menjadi lockscreen Rayyan, gak lain adalah foto semasa kecilnya.

Saat kepala Athaya masih botak.

“Ih! Lucu banget,” Dina yang juga udah melihat foto kecil Athaya terkekeh, “Aya cakep sejak kecil.”

“Emang lucu kan, Mba? Gemes.”

Dina pun mengangguk. Sedang Rayyan mencubit pipi Athaya.

“Kamu nyebelin ah.”

Athaya mengerucutkan bibirnya lalu kembali melahap siomay di depannya dengan gak berselera.

“Hayolooo, Aya ngambek.”

Rayyan berdecak lalu menoyor kepala Danar. Setelahnya, dia kembali menatap wajah Athaya. Sementara satu tangannya lantas menggenggam jemari Athaya yang berada di bawah meja.

“Aku salah ya?” bisik Rayyan.

Tapi bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Athaya seketika berdiri. Dia menatap sekilas ke arah teman-temannya di meja lalu berkata, “Gue izin ke toilet bentar ya. Kalian kalo mau nambah bilang aja ke pelayan.”

Setelahnya Athaya pun berlalu. Sementara Rayyan buru-buru mengejar suaminya itu. Dia lalu menahan lengan Athaya sebelum menariknya ke arah rest room bagi karyawan warung siomay.

“Sayang,” panggil Rayyan.

Athaya mendengus lalu melepas cengkeraman jemari Rayyan di lengannya, “Kamu ngapain sih nunjukin foto kecil aku, Yan?”

“Pengen aku dipanggil botak juga sama mereka semua?” timpalnya.

“Gak gitu, sayang. Aku cuma mau becandain kamu, sekalian biar mereka liat kalau kamu lucu pas masih kecil dulu,” balas Rayyan.

“Lucunya ya yang bener-bener lucu gemesin, bukan ngeledek.”

Rayyan meraih kedua tangan Athaya, menggenggamnya erat.

“Tapi kalau becandaan aku tadi kelewatan, aku minta maaf. Aku gak bermaksud bikin kamu gak nyaman, Ya. Maafin aku, sayang.”

Athaya menghela napas gusar.

“Aku gak suka, Yan.”

“Aku pengen kamu doang yang manggil aku botak. Aku juga pengen kamu doang yang tau kenapa kamu manggil aku gitu.”

“Kamu tau gak sih betapa spesial panggilan itu buat aku, Yan? Apalagi sejak tau alasan kenapa kamu manggil aku botak dulu.”

“Kayaknya aku yang berlebihan,” Athaya lalu menghindari tatapan Rayyan, “Tapi aku beneran gak mau ada yang ngeledekin aku ‘botak’ selain kamu. Itu panggilan sayang kamu buat aku, Rayyan.”

Menipiskan bibirnya, Rayyan pun tersenyum tipis lalu membawa Athaya ke dalam dekapannya. Dia kemudian mengusap belakang kepala sang pujaan hati sejenak sebelum mengecup pundaknya.

“Gak bakal ada yang manggil kamu botak selain aku,” Rayyan beralih mengecup puncak kepala Athaya, “Entar aku marahin kalau ada yang manggil kamu kek gitu.”

Melepaskan dekapannya, Rayyan lalu membingkai wajah Athaya.

“Maafin aku ya? Kamu boleh mukul aku sampe pu—anjing!”

Rayyan seketika memekik saat Athaya tiba-tiba meninju pelan perutnya. Bahkan sebelum dia menyelesaikan ucapannya tadi. Sementara itu, Athaya hanya terkekeh pelan lalu kembali memeluk erat tubuh suaminya.

“Iya, aku maafin.”

Rayyan pun tersenyum lalu berbisik rendah di samping telinga Athaya, “I love you.”

“Love you more,” balas Athaya.

Tapi gak lama berselang, Athaya seketika penasaran akan satu hal. Dia pun kembali menatap wajah Rayyan, masih dengan lengan sang suami melingkari pinggang.

“Tapi kamu dapet foto kecil aku yang tadi dari mana sih, Yang?”

“Dari Mami,” Rayyan terkekeh, “Mami nunjukin foto kecil kamu yang ada di album, jadi ya udah aku foto terus jadiin lockscreen.”

“Bucin,” ejek Athaya.

“Iya, aku emang bucin.”

Athaya senyum, “Aku juga bucin.”

Mereka sama-sama tertawa sebelum kembali berpelukan.