Surprise
Athaya melenguh saat merasa bahwa tubuhnya diangkat oleh seseorang. Dan ketika Athaya perlahan membuka mata, dia pun terkejut. Sebab sang suami lah yang menggendongnya saat ini—brydal. Membuatnya heran.
“Lu mau bawa gue ke mana, anjing?” tanya Athaya dengan suara yang masih serak. Sebab Rayyan membawanya keluar dari kamar lalu menuruni tangga.
Tapi suaminya itu justru hanya menahan senyum. Gak sekali pun membuka suara sampai mereka udah sampai di lantai dasar rumah. Athaya berdecak.
“Ayyan, kalau lu pengen main-main sama gue, jangan sekarang.”
Athaya menghela napas lalu menoleh ke arah pintu utama rumah yang telah terbuka lebar. Membuatnya semakin bingung.
Hingga saat dia dan Rayyan keluar dari rumah, Athaya seketika menautkan alis kala melihat Mami juga Papi berdiri di samping mobilnya. Kedua orang tuanya tersenyum melihatnya.
“Jelasin ke gue, ini ada apa?”
“Diem, gue lagi nyulik lu.”
Rayyan terkekeh lalu membawa Athaya untuk segera duduk di jok belakang mobil. Sebab Mami sudah membuka pintu mobilnya lebar-lebar sedari tadi. Tapi, lagi, Athaya masih belum mengerti.
“Pintu rumah udah dikunci kan, Mi?” tanya Papi yang duduk di belakang kemudi dan dibalas anggukan oleh sang istri.
“Kita mau ke mana sih, Pi?” tanya Athaya lalu menguap lebar, “Aku masih ngantuk, masih pake baju tidur gini juga,” ucapnya pasrah.
“Bukan kita. Tapi kamu sama suami kamu,” celetuk Mami lalu menoleh, tersenyum ke Athaya.
“Katanya dia mau bawa kamu lari,” sambungnya, “Iya kan, Yan?”
Rayyan mengacungkan jempol.
“Bawa lari ke mana coba?” Athaya mendesis lalu memukul pelan lengan atas suaminya itu.
“Kamu jangan diem aja dong, kita mau ke mana sih ini?” tanyanya.
Rayyan terkekeh. Dia kemudian mengusap lembut kepala Athaya lalu berkata, “Kita mau ke Bali.”
“Jangan becanda deh lu.”
Rayyan lalu menunjukkan tiket yang ada di ponselnya. Hal itu pun membuat Athaya menganga.
“Anjing! Kenapa lu gak bilang-bilang?” protes Athaya kesal.
“Lah kan gue baru aja bilang. Mami sama Papi denger kan?”
“Iya, denger kok.”
“Papi juga denger.”
“Ih! Mami, Papi,” Athaya lantas merengut, “Malah belain dia.”
“Ya kan aku bener,” ejek Rayyan.
“Tapi masa aku pake baju tidur ke bandara?” Athaya merengek.
“Gak apa-apa. Kamu pake baju tidur gini terus masih ada iler di pipi juga tetep cakep kok, Ya.”
“Serius aku ada iler?” Athaya lalu mengusap pipinya sendiri, panik.
Mami, Papi juga Rayyan lantas tertawa. Setelahnya, Rayyan pun membawa kepala Athaya untuk bersandar di bahunya. Memeluk pujaan hatinya itu dari samping.
“Maaf ya aku baru bisa bawa kamu bulan madu sekarang.”
“Aku gak tau harus seneng apa marah,” Athaya mendongak, “Kamu gak liat pakaian aku apa?”
“Ini namanya fashion, Ya.”
“Fashion pale lu,” sela Athaya.
Rayyan tertawa, “Aku udah bawain kamu baju ganti kok.”
“Entar aku anterin ke toilet dulu buat ganti baju,” katanya lalu mengecup puncak kepala Athaya.
Athaya mencebik lalu menatap ke arah Mami dan Papi yang sibuk menatap jalanan di depan mereka, “Jadi sekarang Mami sama Papi sekongkol sama Ayyan ya buat ngusilin aku kayak gini.”
“Baguuus,” sambungnya sarkas.
“Suami kamu tuh yang idenya selalu ada-ada aja,” tutur Mami.
“Tapi Mami juga iya-iya aja loh pas aku minta tolong kemarin?”
Mami memutar bola matanya lelah, “Udah ah, terserah. Yang jelas kalian harus happy-happy di sana. Manfaatin waktu yang ada.”
Athaya senyum, “Iya, Mi.”
Rayyan pun ikut bersuara, “Makasih banyak ya, Mi, Pi.”
***
Athaya menarik napasnya dalam-dalam saat dia dan Rayyan telah sampai di sebuah villa yang telah suaminya booking jauh-jauh hari. Dia kemudian berdiri di depan pintu geser yang berhadapan langsung dengan kolam renang. Menghirup udara segar sembari menikmati cahaya sang mentari yang telah menyingsing hingga rasa hangat menggelitik wajah.
Gak lama berselang, Athaya lantas dibuat tersenyum saat merasa bahwa Rayyan memeluk tubuhnya dari belakang. Sang suami lalu mengecup pundak kanannya sebelum bersuara.
“Kamu suka gak?”
“Suka banget,” jawab Athaya lalu menoleh, menatap wajah Rayyan.
“Makasih ya, sayang. Aku seneng banget,” ucapnya diikuti senyum.
“Aku juga seneng banget bisa ke sini lagi bareng kamu, sayang.”
Athaya lalu berbalik, beralih memeluk tengkuk Rayyan. Sedang sang suami refleks melingkarkan kedua lengan pada pinggangnya sambil tersenyum.
“Kamu pasti udah mikirin yang iya-iya kan?” Athaya terkekeh.
“Suudzon banget kamu, Yang.”
“Terus kenapa kamu natap aku kayak gitu?” sanggah Athaya lalu mengecup sekilas bibir Rayyan.
“Cepet bilang kamu mau apa,” timpalnya, “Mau liat aku meeting sama Kenan?” canda Athaya.
Rayyan seketika tertawa.
“Gak, Kenan masih tenang kok.”
Pemilik lesung pipi itu kemudian mengecup kening Athaya sesaat sebelum kembali menatap lamat wajah rupawan suaminya itu.
“Aya.”
Athaya mengangkat alis, “Mm?”
“Aku gak bakal bosen buat selalu bilang terima kasih sama kamu.”
“Hari ini, besok, lusa dan hari-hari berikutnya sampai ajal menjemput, aku bakal selalu bilang terima kasih sama kamu.”
Athaya tersenyum; menyimak.
“Karena kamu itu sumber kebahagiaan aku. Aku selalu bahagia bahkan ketika ngeliat kamu berdiri kayak gini doang.”
Rayyan mengusap kedua pipi Athaya dengan ibu jarinya.
“I love you, Athaya.”
Athaya mengangguk, “Aku juga bakal selalu berterima kasih sama kamu, Yan. Makasih banyak karena udah jadi bagian dari diri aku. Makasih juga udah mau ngelewatin banyak hal sama aku.”
“I love you, Rayyan. I really do.”
Kedua anak manusia itu pun sama-sama tersenyum lalu berbagi dekapan hangat. Seolah dari sana pula mereka mendapat energi lebih untuk memulai hari. Sederhana, namun amat berarti.
Segala rasa sakit, perjuangan, juga air mata kini telah menjadi kenangan manis yang gak akan terulang lagi. Perjalanan panjang Athaya dan Rayyan akhirnya membawa mereka sampai ke titik bahagia yang sekaligus menjadi jawaban—mengapa mereka dipertemukan kembali.