ACOC
Semerbak bau caffeine seketika menusuk lubang hidung Tyan saat langkah kakinya menuntun ia memasuki cafe bernuansa retro namun dipadukan dengan aksen modern di sudut berbeda. Nampak begitu banyak anak muda yang sekedar nongkrong, pun saling berbincang dengan kawan. Tidak sedikit pula para muda-mudi berkemeja rapi yang berkutat dengan laptop di meja.
“Pa!”
Tyan refleks menoleh saat suara anak sulungnya menggema. Ia pun refleks tersenyum lebar kala mendapati dua malaikatnya ada di sudut cafe yang tak jauh dari meja bartender. Marga; si sulung melambai-lambaikan tangannya. Sementara si bungsu justru asik menopang dagu, matanya fokus pada sosok pria di belakang meja barista, senyumnya amat lebar.
Melihat tingkah anak perempuan itu membuat Tyan tertawa kecil. Si Adek bener-bener lagi jatuh cinta kayaknya, batinnya lalu menghampiri meja buah hatinya.
“Adek lagi liat apa sih? Serius banget,” Tyan merenggut, “Papa sampai gak disapa pas dateng.”
Melirik Papanya, si bungsu lalu cengar-cengir. “Adek lagi liat Om ganteng. Pipinya bolong. Lucu.”
“Mana ada sih orang pipinya bolong,” celetuk Marga, “Itu namanya lesung pipi, Dek.”
“Adek kok gak punya lesung pipi sih, Pa?” Si bungsu meraba-raba pipinya, “Kalau adek punya kan, Adek bisa samaan sama Om itu.”
Tyan terkekeh, “Emang kenapa Adek mau samaan sama si Om? Adek kan udah lucu,” tuturnya.
“Tapi kalau Adek punya, pasti lebih lucu lagi. Adek mau bikin lesung pipi,” celoteh si bungsu.
“Lesung pipi itu gak bisa dibikin, Dek. Lesung pipi itu pemberian Tuhan,” jelas Tyan lalu mengusap kepala anak perempuannya itu, “Kita tuh harus bersyukur sama apa yang udah Tuhan kasih ke kita,” katanya lalu menunjuk mata si bungsu, “Warna mata, bentuk hidung, pipi, bibir, semuuuanya.”
Marsha; anak perempuannya itu mengangguk paham. Tyan yang melihat respon anaknya seketika mencubit gemas pipi si bungsu. Marsha memang masih berumur enam tahun, masih duduk di bangku taman kanak-kanak, tapi anak perempuannya itu bisa dengan mudah mengerti apa yang selalu ia ajarkan. Tumbuh kembang Marsha adalah hal yang selalu Tyan syukuri setiap hari.
“Oh iya, kata Kakak tadi, Adek gak mau pulang ya? Kenapa? Gara-gara Om ganteng itu?”
Marsha melipat lengan kecilnya di depan perut. Ia memanyunkan bibir, alisnya menukik, matanya memicing. Nampak jika ia kesal.
“Kakak ngadu sama Papa.”
“Ya iya Kakak ngadu, Papa udah nyariin Adek loh daritadi. Tapi gak mau pulang gara-gara liat Om ganteng,” Marga kemudian menjulurkan lidahnya mengejek.
“Tapi Kakak juga selalu liat-liat ke Kakak ganteng yang bawain jus Adek tadi,” Marsha menyela.
“Hm, ternyata anak-anak Papa dateng ke Cafe buat ngeliatin cowok ganteng ya.” Tyan melirik Marga yang refleks menghindari tatapannya. Anak sulungnya itu jelas salah tingkah, “Mau Papa panggilin cowok gantengnya?”
Marga memekik, “Gak!”
“Mau!” Marsha riang.
Tyan tergelak. Ia sudah terbiasa melihat perbedaan sifat Marga dan Marsha. Si sulung cenderung pemalu, sedangkan si bungsu justru sebaliknya. Marsha tidak akan pernah berhenti berceloteh meski dengan orang baru sekali pun. Namun bukan berarti anak sulungnya anti sosial, tapi Tyan paham kalau Marga hanya sedikit Introvert. Ketika Marga telah mengenal baik seseorang, maka ia pun akan banyak bicara.
“Ya udah. Papa bakal panggilin Om gantengnya adek ke sini. Tapi abis ketemu Om ganteng, adek udah harus pulang ya?” Bujuk Tyan, “Udah hampir siang gini. Adek kan capek abis dari sekolah, jadi musti istirahat. Ya?”
“Iya, Papa.”
Marsha meletakkan tangannya di atas meja. Jemarinya pun saling bertaut, sedang badannya sedikit bergoyang, ia senyam-senyum.
“Pa,” gumam Marga, “Emang Papa udah bilang ke Barista itu ya buat dateng ke meja kita?”
“No, ini Papa baru mau manggil.”
“But… He’s walking here.”
“Kak Tyan?”
Tersentak, Tyan mendongak. Ia menatap heran ke arah barista yang kini telah berdiri tepat di sampingnya. Satu tangan lelaki itu sedang membawa secangkir kopi. Jangan tanyakan Marsha, ia sibuk menatap si Om ganteng.
“Kamu kenal saya?” tanya Tyan.
Pria berlesung pipi itu lantas tersenyum sambil mengangguk.
“Aku Jeva, Kak. Adik kelas Kak Tyan sejak SMP sampai SMA.”
Mulut Tyan menganga. Rasa tak percaya pun sempat melanda. Tapi ia kemudian berpikir bahwa time flies and people change. Jadi wajar jika Jeva yang ia lihat di depan matanya saat ini berbeda.
Bahkan sangat berbeda.
“Kakak inget?” Jeva memastikan.
“Ya Tuhan, Jeva. It’s been so long,” Tyan tersenyum pada Jeva, “Aku inget. Mana mungkin aku bisa lupa sama orang yang nolong aku pas kekunci di perpus sih?”
Jeva tersenyum diikuti kekehan merdu, “Aku boleh duduk gak?”
“Boleh. Boleh banget,” kata Tyan.
Marga yang sedari tadi sesekali memerhatikan adiknya lantas geleng-geleng kepala melihat senyum Marsha semakin lebar. Bahkan adiknya itu tak jarang menyampirkan poni di telinga.
“Kamu gak berubah ya, Kak. Gini-gini aja. Awet muda. Pas kamu masuk cafe tadi aku tuh langsung sadar kalau itu kamu.”
Penuturan Jeva membuat Tyan mendesis, “Bisa aja kamu. Tapi maaf ya aku tadi gak ngenalin kamu, Jev. Sekarang kamu udah tinggi banget, mana kekar gini.”
“Udah gak gendut juga kan, Kak?” Jeva terkekeh, sementara Tyan refleks menghela napas sambil menatap mata Jeva lekat-lekat.
“Mm,” gumam Tyan, “Kamu pasti lebih sehat ya sekarang. Keliatan banget kamu rajin olahraga, Je.”
Jeva tersenyum. Ya, Tyan tetap sama. Bukan hanya tentang rupa tapi juga kelembutan hatinya. Ia akan selalu menjaga perasaan lawan bicaranya, termasuk Jeva.
Jika orang lain—apalagi teman SMA—yang bertemu dengannya, si pemilik lesung pipi akan selalu disambut dengan pertanyaan,
“Sekarang lo udah kurus ya?”
“Kok lo bisa se-kurus ini?”
Lalu setelahnya akan disambung dengan kalimat, “Padahal dulu lo gendut banget, Je. Sekarang lo udah ganteng, body lu bagus.”
Dan masih banyak lainnya.
Tapi Tyan tidak. Tyan justru tak mau menyebutnya gendut. Tyan memilih mengutarakan aspek kesehatannya, seolah enggan menyinggung hal yang jelas Tyan ketahui menjadi bahan olok-olokan orang lain semasa SMA.
“Kamu udah lama jadi barista di sini?” tanya Tyan, Jeva senyum.
“Baru hari ini, Kak.”
Tyan mengangguk, “Lulus SMA dulu kamu kuliah di mana, Je?”
“Di Jogja, Kak. Aku baru Minggu kemaren balik ke sini lagi tau.”
“Pantes kamu nih gak ada kabar. Reuni Akbar kemaren kamu juga gak dateng. Ternyata kamu udah jadi orang Jogja toh,” tutur Tyan.
“Istri kamu orang Jogja ya, Je?” sambung Tyan dengan tanya.
Jeva tertawa ringan, “Aku belum nikah, Kak. Kemarin itu aku gak ada kesempatan buat pulang aja pas reuni. Makanya aku skip.”
Mendengar penuturan Jeva jujur saja membuat Tyan sedikit kaget. Pasalnya, beda umurnya dengan si pemilik lesung pipi hanya dua tahun, dan sekarang Tyan sendiri berusia tiga puluh dua tahun. Itu artinya umur Arga sudah cukup matang untuk menikah, pikirnya.
Tapi pilihan hidup setiap orang memang berbeda-beda. Begitu juga lingkungan di sekitarnya. Ada yang dituntut buat nikah pas dapet gelar Sarjana, bahkan ada pula yang justru tidak terpaku pada hal itu. Dan mungkin Jeva menjadi salah satu di antaranya.
“Mereka apanya Kak Tyan?”
Tyan tersadar dari lamunannya, mendapati Jeva menatap Marga juga Marsha yang menatapnya.
“Ah iya, aku jadi lupa ngenalin.” Tyan meraih tangan Marga di atas meja, anak sulungnya itu duduk di seberangnya, “Ini anak pertama aku, namanya Marga. Kalau yang di sampingnya itu, Marsha. Dia anak bungsu aku.”
Jeva mengangguk kecil sambil tersenyum ke arah Marga juga Marsha yang tak pernah berhenti memandanginya. Lucu, batinnya.
“Kak, Dek, ini Om Jeva. Temen Papa waktu sekolah dulu,” lanjut Tyan memperkenalkan Jeva.
Marga tersenyum tipis. Sedang Marsha menjulurkan tangan kecil nan lentiknya ke arah Jeva yang duduk tepat di hadapannya.
“Halo, Om.”
“Halo, Marsha.”
Jeva meraih uluran tangan anak perempuan itu sambil terkekeh, “Kamu umur berapa sekarang?”
“Enam tahun, Om. Marsha udah sekolah. Udah banyak teman.”
“Anak Papa lagi caper,” gumam Marga pada Tyan yang refleks mencubit lengan si sulung usil.
“Wah, berarti Marsha kayak Papa dulu dong. Banyak temennya.”
“Iya! Soalnya Papa Marsha cantik kayak Marsha. Iya kan, Om?”
Memijat keningnya, Tyan hanya bisa pasrah mendengar ocehan anak bungsunya sambil menahan tawa. Marsha emang ada-ada aja.
Sementara itu, Jeva melirik Tyan sejenak lalu kembali menatap si anak perempuan di depannya, “Iya. Papa sama Marsha cantik.”
Marsha cengengesan.
Tyan pun geleng-geleng kepala lalu beralih memandangi Marga. Tapi anak sulungnya itu justru sedang sibuk memandangi objek di belakangnya—yang entah apa. Tyan pun mengikuti pandangan Marga, mendapati jika anak lelaki kesayangannya itu memusatkan atensi ke arah pelayan cafe yang berjalan mendekati meja mereka.
“Pak Bos.”
Tyan tersentak saat pelayan yang ia dan Marga perhatikan berdiri di samping mejanya, memangil Jeva dengan sebutan, “Pak Bos.”
Jadi Jeva pemilik cafe ini dong?
“Kenapa, Can?” tanya Jeva.
“Ada yang mau ketemu sama Pak Bos di lantai dua,” kata si pelayan.
“Ya udah. Abis ini saya ke sana.”
Jeva beralih memandangi wajah Tyan, “Kak, kamu cobain kopi yang aku bikin ya? Aku mau ke atas dulu. Entar aku balik lagi.”
Berdiri, Jeva kemudian hendak melangkah menjauhi meja Tyan. Namun ia justru mengurungkan niat sejenak saat teringat akan sesuatu. Ia pun tersenyum tipis sebelum menyodorkan gawainya kepada lelaki yang lebih tua.
“Aku mau minta kontak Kak Tyan. Boleh ya?” pintanya, “Kali aja Kak Tyan buru-buru terus urusan aku di atas belum kelar.”
“Boleh kok, Je. Sini.”
Dan, Ya. Marsha kegirangan. Pun Marga yang bisa memandangi si pelayan manis di samping meja mereka dengan begitu leluasa.