Breakfast

Deva melenguh pelan sebelum membuka mata. Kala menoleh ke arah jam, Deva mendapati bahwa saat ini sudah hampir pukul lima. Seperti biasa, ia terbangun pada dini hari tanpa bantuan alarm. Sejenak, Deva menoleh ke arah suaminya. Arga masih terlelap dengan wajah damai di sisinya.

Memiringkan tubuhnya ke arah Arga, Deva lalu menggoyangkan pelan badan sang suami sambil berkata, “Mas Arga, hari ini kita udah ngantor lagi loh. Gak mau bangun sekarang?” gumamnya.

“Sekarang jam berapa?” tanya Arga masih dengan kedua mata yang terpejam, suaranya serak.

“Kurang lima belas menit lagi udah jam lima subuh, Mas.”

Arga mendengus pelan sebelum membuka matanya sejenak guna memandangi Deva, “Bangunin saya tiga puluh menit lagi, Dev.”

Deva mengangguk kecil, “Hari ini kamu mau milih baju sendiri apa aku aja yang milihin?” tanyanya.

“Kamu aja,” jawab Arga setengah mengantuk, suaranya pun sudah nyaris tidak didengar oleh Deva.

“Ya udah,” Deva mengusap pelan bahu suaminya sebelum bangkit, tidak lupa menarik selimut guna menghangatkan tubuh Arga yang kembali berlabuh ke alam mimpi.

Sembari merenggangkan otot-ototnya, Deva lantas melangkah ke walk in closet yang letaknya persis di sebelah kamarnya dan Arga. Hanya ada sebuah pintu geser berbahan kaca yang jadi sekatnya. Deva masuk ke sana, memilih pakaian untuk dirinya juga suaminya sebelum meraih setrika uap lalu menyetrikanya agar lebih rapih dan lembut lagi.

Seusai menyelesaikan setrikaan, Deva keluar dari walk in closet. Ia berjalan mengendap-endap kala melewati tempat tidur, tak lain agar Arga gak terbangun, hingga akhirnya keluar dari kamar. Kini Deva berjalan menuju dapur di lantai dasar rumah. Selain untuk menuruti hasratnya yang ingin membuat menu sarapan hari ini, Deva pun ingin melepas dahaga dengan meminum air dari kulkas.

“Mamah gak bisa pulang, Neng. Bulan lalu Mamah teh udah izin pulang juga sama Mas Arga, jadi gak enak kalau musti izin lagi.”

“Mamah transferin uang buat nebus obat nenek sama biaya rumah sakit gak apa ya, Neng?”

Langkah kaki Deva terhenti saat ia mendengar juga melihat sang asisten rumah tangga—Bi Yati—yang sedang menelpon di depan kulkas dan membelakangi Deva. Alhasil, si wanita paruh baya pun belum menyadari kehadirannya.

“Maafin Mamah ya, Neng.” Ucap Bi Yati lirih, “Sampein maaf dari Mamah juga buat nenek. Eneng jagain neneknya baik-baik ya?”

Raut wajah Deva lantas berubah menjadi sedu setelah mendengar percakapan Bi Yati dengan sosok yang Deva yakini adalah anaknya. Namun saat melihat Bi Yati kini kembali sibuk di depan pantri, Deva buru-buru menghampiri. Ia mengulas senyum, seolah tidak mengetahui apa-apa. Ia enggan membuat Bi Yati semakin sedih. Terlebih, sangat jelas jika wanita paruh baya itu kaget melihatnya tiba-tiba datang ke ruang dapur.

“Mas Deva,” sapa Bi Yati, “Ada yang bisa Bibi bantu?” tanyanya.

“Aku cuma mau ngambil minum kok, Bi. Haus banget,” kata Deva sambil berjalan ke arah kulkas, “Oh iya, Bi. Pagi ini aku bantuin Bi Yati bikin sarapan ya? Boleh?”

“Aduh, jangan, Mas Deva. Entar Mas Arga ngomel lagi loh,” tutur Bi Yati, “Mas Arga udah bilang gak mau Mas Deva capek-capek.”

“Gak kok, Bi. Lagian aku pengen nyoba masak buat suami. Kalau Mas Arga suka, besok-besok mau aku bekelin,” Deva tersenyum.

Bi Yati mengangguk pelan sambil terkekeh, “Terus Mas Deva mau masak apa nih buat Mas Arga?”

“Apa ya, Bi.” Deva berpikir sambil membuka pintu kulkas, “Kalau nasi goreng, Mas Arga suka gak?”

“Suka kok, Mas. Bibi juga sering bikin nasi goreng buat Mas Arga, tapi minyaknya harus dikit gitu.”

“Mm… Oke,” Deva mengangguk lalu menoleh ke arah kulkas, tapi yang kemudian terjadi, ia justru dibuat terbelalak, “Ya ampun, Bi! Ini pintu kulkas kok isinya susu semua?” tanyanya nyaris histeris.

Bi Yati cengar-cengir, “Semalem Mas Arga yang pesen, Mas. Tapi paketnya dateng pas Mas Arga sama Mas Deva udah di kamar, jadi Bibi yang masukin ke kulkas.”

“Emang Mas Arga pesen berapa banyak, Bi?” Deva geleng-geleng kepala, “Ampe satu pintu penuh.”

“Sebenernya Mas Arga pesen tiga kardus, Mas. Tapi karena kulkas khusus susu sama makanan buat Mas Deva belum dateng juga, jadi yang dikirim semalem baru satu.”

“Terus Bu Ririn bilang, semuanya aja dimasukin ke kulkas sampai kulkas barunya dateng,” jelasnya.

“Hah?” Deva semakin menganga, pasalnya Arga gak bilang apa-apa perihal susu, apalagi kulkas baru, “Ngapain Mas Arga beli kulkas lagi sih, Bi? Ini aja udah gede.”

“Masih gak cukup katanya, Mas.”

Menghela napasnya gusar, Deva kemudian mengambil satu botol susu kesukaannya itu sebelum menutup pintu kulkas. Ia masih gak habis pikir dengan suaminya. Deva akan meminta penjelasan Arga nanti, saat selesai memasak.

Selepas menenggak habis susu yang ia ambil dari kulkas, Deva mulai membantu Bi Yati untuk memotong bahan-bahan di atas meja pantri. Deva amat senang memasak sejak masih tinggal di rumah Ibu dulu, alhasil ia sama sekali tidak memiliki kendala dalam membuat nasi goreng. Saking terlalu menikmati aksinya di dapur, Deva nyaris lupa bahwa ia harus segera membangunkan Arga. Beruntung Bi Yati bertanya.

“Mas Deva hari ini udah masuk kantor gak?” tanya si paruh baya.

“Astaga. Iya, Bi. Sekarang udah jam berapa? Aku mau bangunin Mas Arga,” tutur Deva sambil mengaduk nasi goreng di wajan.

“Udah hampir jam setengah enam nih, Mas. Ya udah, biar Bibi yang lanjutin ya?” tawar Bi Yati.

“Oke, Bi. Kalau gitu aku ke kamar dulu ya. Ini nasi gorengnya juga sisa dipindahin ke piring kok.”

“Siap, Mas Deva.”

“Makasih ya, Bi.”

Deva lalu bergegas meninggalkan dapur. Ia sedikit berlari menaiki tangga hingga akhirnya sampai di kamarnya dan Arga. Membuka pintu, Deva menghela napasnya kala mendapati Arga masih pulas. Alhasil, ia duduk di tepi ranjang, tepat di samping Arga sebelum mengusap pelan bahu suaminya.

“Mas Arga, bangun. Udah tiga puluh menit nih,” kata Deva.

Arga hanya melenguh.

“Mas,” panggil Deva lagi, kali ini sambil menepuk-nepuk pelan pipi Arga, “Entar kita telat, Mas.”

“Mhm,” gumam Arga.

Saat sang suami membuka mata, Deva lantas tersenyum, terlebih ketika Arga merentangkan kedua tangan ke arahnya. Paham akan hal itu, Deva pun membungkuk. Deva memeluk sang suami yang masih berbaring terlentang di atas ranjang, membuat wajahnya tenggelam di ceruk leher Arga, sedang dada mereka menempel.

“Deva.”

“Iya, Mas?”

“Kamu gak mandi sejak kemarin ya?” Arga lalu mengendus tubuh Deva, “Kamu kok bau terasi sih?”

Deva terkekeh. Ia mengangkat kepalanya, menatap wajah Arga.

“Aku mandi, Mas. Tapi tadi aku abis masak, terus kata Bi Yati si Mama suka sambel terasi. Jadi ya udah, aku bikinin,” jelas Deva.

“Kamu kok ikutan masak segala?” Arga berdecak, “Saya kan udah bilang, kamu gak usah ngerjain apa-apa di rumah selain ngurus saya. Masa kamu gak paham?”

Menghela napasnya pelan, Deva kembali menenggelamkan wajah di ceruk leher Arga, “Aku paham kok, Mas. Tapi aku juga pengen masak buat kamu sama Mama, jadi aku bantu-bantu Bi Yati tadi.”

“Kan kalau kamu suka masakan aku, besok-besok aku bisa bikin bekel buat kamu. Biar kamu juga gak makan di luar tiap hari, jajan sembarangan,” timpal Deva, “Aku bisa jamin kebersihannya kalau aku yang masak di rumah, Mas.”

Tak merasakan pergerakan sang suami saat mereka berpelukan cukup lama, Deva pun bertanya, “Kamu gak tidur lagi kan, Mas?”

“Enggak,” gumam Arga.

“Ya udah. Sekarang kamu bangun ya, Mas?” Deva lalu melepaskan tautannya dengan Arga. Ia duduk di tepi tempat tidur diikuti sang suami yang juga telah bangkit.

“Minum air dulu,” Deva meraih segelas air di atas nakas sebelum menyodorkannya kepada Arga.

Selepas Arga menghabiskan air minumnya, Deva lantas berdiri. Pun sang suami yang kini bersiap melenggang ke kamar mandi.

“Mas, handuk kamu udah ada di kamar mandi ya,” tutur Deva sambil merapikan tempat tidur.

“Deva.”

“Mm?” Deva menoleh ke arah sang suami yang berdiri tepat di samping kanannya, “Apa, Mas?”

“Gak mau mandi bareng?”

“Enggak,” gumam Deva sebelum melanjutkan kegiatan merapikan tempat tidurnya, sementara Arga hanya terkekeh sembari berjalan ke kamar mandi. Deva pun diam-diam mengulum senyum hingga dirinya sendiri nyaris tidak sadar bahwa ia sedang tersipu malu.

***

“Ini nasi gorengnya kamu yang bikin?” tanya Arga yang kini telah duduk di kursi pada meja makan bersama Deva juga Bu Ririn yang berada di sisi seberang mereka.

“Iya, Mas.”

“Deva bisa masak?” tanya Mama.

Deva mengangguk, “Bisa, Ma.”

“Mama coba ya,” ucap si wanita paruh baya. Ia melahap sesendok nasi goreng di hadapannya, Deva pun seketika dibuat deg-degan menunggu respon sang mertua.

“Enak loh,” puji Bu Ririn, “Mama suka, rasanya pas di lidah Mama.”

Tersenyum sumringah, Deva lalu menoleh ke Arga yang duduk di sampingnya. “Mas, cobain juga.”

“Kalau rasanya gak enak di lidah saya, kamu yang harus habisin semua ini.” Arga menekankan.

Deva berdeham, “Tapi... Kalau rasanya enak, aku boleh minta sesuatu sama kamu gak, Mas?”

Arga yang tengah mengaduk nasi goreng di hadapannya pun lantas melirik Deva, “Emang kamu mau minta apa? Mobil? Uang belanja?”

“Aku bakal bilang kalau Mas Arga udah nyoba,” Deva cengengesan.

Arga dan tak terkecuali Bu Ririn menatap Deva dengan raut wajah penasaran. Setelahnya, Arga pun mulai mencoba satu suap nasi goreng yang dibuat oleh Deva.

“Gimana, Mas?” tanya Deva.

Ada secarik harap di sorot mata Deva, Arga yang melihat sang suami pun geleng-geleng kepala dengan senyum yang tertahan.

“Kamu pengen minta apa?” tanya Arga lalu kembali memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya sambil menatap Deva.

“Jadi nasi gorengnya enak, Mas?”

Arga mengangkat pundak, “Gak enak sih sebenernya, tapi muka kamu minta dikasihani banget.”

Deva mencebik, sedang Bu Ririn yang melihat tingkah anak juga menantunya tersenyum tipis.

“Cepetan bilang sebelum saya berubah pikiran,” tegas Arga.

Deva mendesis, ia kemudian celingak-celinguk sejenak sebelum mencondongkan badan ke arah Arga. Sang suami yang semakin heran melihat tingkah Deva pun mengerutkan kening.

“Aku pengen Mas Arga ngasih Bi Yati izin buat pulang, boleh gak?” Deva memelas, “Tadi aku tuh gak sengaja dengerin Bi Yati nelpon. Ibunya kayaknya lagi sakit, terus minta Bi Yati pulang. Tapi Bi Yati gak bisa pulang karena dia gak enak kalau harus izin lagi, Mas.”

“Aku kasian dengernya. Aku gak bisa bayangin kalau Ibu aku yang sakit terus gak ada aku,” timpal Deva, “Boleh ya, Mas?” pintanya.

Arga menghela napas kasar. Deva pun refleks bungkam saat Arga tiba-tiba memanggil Bi Yati.

“Bi! Bi Yati!”

Bi Yati yang datang dari arah dapur pun menjawab, “Iya, Mas.”

“Ibunya Bi Yati masih sakit?”

“Waktu saya balik ke Jakarta, Ibu saya udah sehat, Mas Arga. Tapi kemarin masuk rumah sakit lagi.”

Arga berdecak, “Terus kenapa Bi Yati gak pulang? Durhaka banget jadi anak, Ibunya sakit malah gak dijengukin,” omel Arga, sedang Bi Yati hanya menunduk, “Siap-siap sana, abis ini saya beliin Bi Yati tiket kereta. Jangan balik ke sini kalau Ibu Bi Yati belum sembuh.”

“Mas,” Deva mengusap punggung tangan Arga di atas meja, “Jangan gitu dong ngomongnya, Mas.”

Bu Ririn mengangguk setuju lalu beralih menatap Bi Yati, “Bi, lain kali bilang ya kalau ada apa-apa? Bi Yati udah lama loh kerja di sini tapi kenapa masih aja sungkan?”

Mata Bi Yati berkaca-kaca, “Ibu sama Mas Arga udah selalu baik sama saya. Saya gak enak kalau dikit-dikit izin pulang lagi, Bu.”

“Udah. Siap-siap sana, Bi. Entar malah ketinggalan kereta,” tutur Arga sebelum kembali melahap nasi goreng buatan sang suami.

Bi Yati tersenyum dengan rasa haru, “Makasih banyak, Mas.”

“Mm,” Arga mengangguk.

Bi Yati lalu berpamitan kepada Bu Ririn, Arga juga Deva sebelum meninggalkan ruang makan itu. Deva yang sedari tadi diam-diam mengamati Arga lantas tidak bisa membendung senyum. Dibalik sikap Arga yang terkesan ketus dan galak nyatanya tersimpan hati yang lembut, pikir Deva.

“Enak banget ya, Mas?” ledek Deva saat melihat Arga sudah nyaris menghabiskan sepiring nasi goreng, “Mau nambah?”

Mengerling, Arga kemudian menyodorkan sesendok nasi goreng ke depan mulut Deva. Alhasil, Deva pun melahapnya sambil menahan tawa. Sedang Arga refleks tersenyum manis. Bu Ririn yang melihatnya pun ikut tersenyum sebelum beralih menatap wajah Deva lekat-lekat.