Hilang
Senyum tak henti-henti terukir di bibir Deva kala ia melihat wajah bahagia sang kakak yang telah berdiri di atas panggung resepsi bersama Dimas. Namun Deva pun tidak bisa menampik rasa haru yang menyambangi dadanya, sebab Davis yang selama ini masih menganggap dirinya adik kecil sudah memilih jalan hidupnya sendiri bersama sosok yang ia cintai. Itu artinya Davis sudah harus bisa membagi kasih dan sayang yang akan ia curahkan kepada suami, orang tua, juga Deva sendiri. Kini Davis telah memasuki fase hidup baru, dan Deva ikut bangga untuk itu. Ia bangga Davis sudah sampai ke titik sakral mahligai pernikahan.
Cukup puas memandangi Davis, Deva kemudian beralih menatap satu persatu tamu yang tidak pernah berhenti berdatangan. Hingga saat matanya menangkap figur Arga berjalan ke arahnya, Deva seketika menahan napas. Sebab seperti dugaannya Minggu lalu, heat-nya akan datang tepat di hari pernikahan Davis. Dan benar saja, sejak semalam Deva disiksa oleh nyeri di perutnya. Lalu kini, Arga justru mendekat. Sudah pasti sensasi aneh akan mereka rasakan lagi setelah ini.
“Tadi saya baru di depan pintu aja tapi udah bisa nyium feromon kamu,” bisik Arga setelah ia tiba di hadapan Deva, “Sejak kapan?”
“Semalem, Pak.”
“Sakit perut lagi?” tanya Arga.
Deva mengangguk, “Masih bisa saya tahan,” katanya lalu celingak celinguk, “Bapak ke sini sendiri?”
“Ya tadi kamu liatnya saya sama siapa?” balas Arga, “Pake nanya.”
“Kan kali aja Bapak bawa temen terus ditinggal buat makan gitu.”
Arga mendengus, “Gak. Ngapain juga bawa temen ke sini. Lagian temen saya gak ada yang kenal sama Abang kamu,” tuturnya.
“Udah, saya mau ngucapin selamat dulu ke dia. Abis ini kita ngomong sama Ibu Bapak kamu.”
“Baik, Pak.”
Deva mempersilakan Arga untuk naik ke atas panggung resepsi. Ia kemudian tersenyum tipis saat melihat mata Davis memicing ke arah Arga. Namun pada akhirnya Davis menjabat tangan Arga juga.
Menghela napas, kini Deva tidak perlu khawatir akan ada cekcok antara Arga juga kakaknya di atas sana. Alhasil, ia beralih menyapa tamu lain seperti sebelumnya. Namun saat netra Deva sibuk menyusuri tempat di mana tamu mengambil jamuan, ia seketika melotot. Pasalnya, ia mendapati sosok orang gila; tepatnya orang aneh yang selama ini ia dan Arga cari. Nampak sosok itu sedang asik melahap sate lilit, sesekali menggoyang-goyangkan bahu. Ia begitu menikmati makanannya.
Tanpa membuang waktu, Deva seketika melangkah tergesa-gesa guna menghampiri orang gila itu. Tapi sebelum Deva sampai di tempat tujuan, seseorang tiba-tiba saja menabraknya. Saat itu pula Deva bisa mencium aroma cairan yang baru saja tumpah dan membasahi jas baru yang dibeli oleh Davis untuknya.
Deva ketumpahan kuah bakso.
Sementara itu, Arga yang masih berada di atas panggung resepsi seketika menoleh, ia mendengar suara gaduh tadi. Matanya lantas melotot kala mendapati Deva di sana. Apes lagi dia, batinnya lalu bergegas turun dari panggung. Davis pun diam-diam mengamati Arga yang menghampiri adiknya.
Sesampainya di hadapan Deva, Arga menatap pria yang ia duga menabrak Deva tadi dengan alis menukik tajam, “Anda ini ya, punya mata tapi gak dipake.”
“Pak, saya yang salah. Saya yang gak liat jalan,” Deva menengahi lalu menoleh ke pria yang masih menatapnya khawatir, “Saya gak apa-apa kok, Mas. Silakan Mas ambil lagi ya. Saya minta maaf.”
“Saya juga minta maaf ya.”
“Maaf, maaf,” Arga mengomel, tapi Deva buru-buru menarik lengan Arga agar berbalik ke arahnya; berhadapan dengannya.
“Kamu juga,” omelan Arga beralih ke Deva, “Dulu awal masuk kerja ketumpahan kopi, sekarang kuah bakso. Besok-besok apa lagi sih?”
“Pak, udah. Ada hal penting yang harus kita lakuin sekarang,” kata Deva dengan napas memburu.
“Oke,” kata Arga, “Mana Ibu sama Bapak kamu?” tanyanya, namun Deva justru menggeleng tegas.
“Enggak. Bukan itu. Ada yang lain,” kata Deva lalu menoleh ke tempat di mana orang gila tadi berdiri. Namun nihil, sosok aneh itu sudah menghilang dari sana.
“Kamu itu lagi ngomong sama saya, kenapa malah ngeliat ke sana?” protes Arga, “Ada apa?”
“Pak,” Deva mencengkeram erat lengan sang CEO yang masih ia pegang, “Saya liat orang gila itu.”
“Maksud kamu orang yang…”
“Iya. Dia,” Deva menghela napas gusar, “Tadi saya liat orang gila itu makan sate lilit di sana. Mau saya samperin, tapi malah nabrak orang. Terus sekarang saya gak tau orang gila itu ke mana, Pak.”
“Kita musti cari orang itu. Dia pasti masih di sekitar sini,” kata Deva, “Kita harus ketemu dia.”
Arga memijat keningnya sejenak, “Kamu liat dia pakai baju apa?”
“Dia pakai jas merah, Pak.”
“Oke,” Arga menunjuk jas Deva dengan dagu, “Buka jas kamu.”
“Maaf, Pak?”
“Saya bilang buka jas kamu,” titah Arga yang membuat Deva lantas melepas jasnya. Namun ia dibuat heran ketika Arga ikut membuka jas yang atasannya itu kenakan.
“Kamu pake ini dulu,” kata Arga seraya menyodorkan jasnya, “Biar saya aja yang nyari orang gila itu. Kamu tetep di sini.”
“Tapi, Pak—”
“Tapi apa lagi sih, Deva? Kamu kebiasaan deh,” Arga berdecak, “Kakak kamu lagi nikah loh. Apa kata orang kalau kamu malah keliaran buat nyari orang gila?”
Deva mengangguk, “Baik, Pak.”
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Arga pun berbalik. Melenggang pergi meninggalkan Deva yang masih menggenggam jas Arga. Setelahnya Deva pun menoleh ke arah panggung resepsi, saat itu pula tatapannya bertemu Davis.