Surprise
Deva melirik Arga sesaat setelah suaminya itu memarkirkan mobil di halaman depan rumah. Arga lantas menoleh padanya sambil membuka seat belt, pun senyum yang tertahan di sudut bibirnya.
“Kok rumah gelap ya?”
Suara Bu Ririn yang duduk di jok belakang menginterupsi. Jelas si wanita paruh baya kebingungan mendapati lampu di ruang hall tidak menyala. Alhasil, Deva beralih membalikkan badan ke sang mertua diikuti anggukan.
Sejak pagi tadi, Arga, Deva juga Bu Ririn meninggalkan rumah guna bermain golf seperti biasa. Sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari libur kantor untuk menghabiskan quality time di lapangan golf dilanjutkan makan siang bersama. Setelahnya, Deva lantas mengajak sang mertua ke klinik kecantikan, melakukan spa dan massage sekaligus mengulur waktu agar mereka sampai di rumah tepat pada malam hari.
“Kita turun dulu,” ajak Bu Ririn.
Deva juga Arga mengangguk lalu turun dari mobil mengikuti sang Mama yang seketika memanggil Pak Irfan. Wanita paruh baya itu berbincang dengan si security.
“Bi Yati lagi keluar, Pak? Kok di dalam rumah gelap?” tanyanya.
Pak Irfan melirik Arga juga Deva sekilas lalu berdeham, “Iya, Bu.”
“Bi Yati ke mana ya? Jam segini belum pulang,” gumam Bu Ririn, “Dia nitip kunci rumah gak, Pak?”
“Pintunya gak kekunci,” kata Arga yang menghampiri teras duluan sambil memegang gagang pintu, sedang Bu Ririn, Deva juga Pak Irfan masih di depan mobilnya.
“Kita masuk sekarang, Ma. Entar biar aku yang ngomelin Bi Yati,” timpal Arga lalu membuka pintu.
“Ayo, Ma.” ajak Deva, “Pak Irfan makasih ya,” katanya pada sang security sebelum menuntun Bu Ririn untuk masuk ke rumah.
Sampai ketika Bu Ririn berdiri di depan pintu yang telah terbuka lebar, ia lantas melongo. Sebab lampu tumblr berwarna warm white memanjang di pinggiran hall menuju jalan ke ruang tamu.
“Kok ada ginian sih? Udah kayak pasar malam aja. Ck!” kata Arga.
“Kita liat ke dalam yuk, Ma?” ajak Deva dan dibalas anggukan oleh si wanita paruh baya yang masih terdiam dalam keterkejutannya.
Bu Ririn lalu bergelayut di lengan Deva. Ia melangkah beriringan bersama sang menantu di sisi kanannya, sedang Arga di kiri.
Tepat saat ketiganya telah tiba di ruang tamu, semua lampu lantas menyala. Namun bukan hanya Bu Ririn yang kaget melihat Bi Yati membawa kue ulang tahun ke arahnya, tapi juga Deva dan Arga. Pasalnya, sosok Luna ada di sana. Berjalan bersama Bi Yati sebelum menghampiri mereka bertiga.
Bu Ririn menghela napas, melirik Pak Agus yang berdiri di samping sakelar lampu. Sang supir hanya cengar-cengir. Bu Ririn kembali menatap Bi Yati juga Luna yang telah berdiri tepat di depannya.
“Siapa yang ngerencanain semua ini?” tanya Bu Ririn penasaran lalu melirik Luna, “Kamu, Lun?”
“Deva yang ngerencanain semua ini. Dia mau ngasih surprise buat Mama,” sahut Arga ketika Luna baru saja membuka mulut dan hendak bicara. Sorot mata Arga pada Luna saat ini amat datar, sementara Deva hanya terdiam.
“Tapi gak ada Luna di rencana Deva,” sengit Arga, “Ngapain kamu datang ke rumah saya?”
“Mas…” Deva menghela napas, “Kok gitu sih ngomongnya? Ini Mama belum niup lilinnya loh.”
Bu Ririn mengangguk setuju lalu memusatkan atensi pada Deva yang kembali bersuara, “Ma, ayo tiup lilinnya dulu. Make a wish.”
“Mama tiup sekarang ya.”
Bu Ririn meniup lilin di atas kue yang dibawa oleh Bi Yati sebelum kembali menatap menantunya.
“Happy birthday, Ma.” ucap Deva.
“Makasih banyak ya, sayang.” Bu Ririn memeluk erat Deva, “Ulang tahun Mama hari ini tuh rasanya lengkap karena ada kamu, Dev.”
Deva tersenyum lega, “Iya, Ma.”
Bu Ririn kemudian melepaskan dekapannya dari Deva, beralih menerima pelukan sang anak semata wayang yang juga ingin mendapatkan kehangatannya.
“Happy birthday ya, Ma.”
“Makasih, sayang.” Bu Ririn lalu menjauhkan tubuhnya dari Arga guna menatap wajah sang anak.
“Akhirnya doa Mama tahun lalu terkabul ya, Ga. Kamu bisa nikah sebelum ulang tahun Mama lagi.”
Arga mengangguk, “Mm.”
“Bi Yati, Pak Agus, Luna, kalian juga. Makasih banyak ya udah bantu Deva nyiapin semua ini.”
Bi Yati, Pak Agus juga Luna pun mengangguk sambil tersenyum.
“Bi, makan malamnya udah siap kan?” tanya Deva pada Bi Yati.
“Udah, Mas. Sesuai sama yang Mas Deva minta,” jawab Bi Yati.
“Kalau gitu Bi Yati ke belakang duluan gih,” titah Deva yang seketika dipatuhi oleh Bi Yati.
“Saya juga pamit ke belakang ya, Mas, Bu.” ucap Pak Agus yang dibalas anggukan oleh Deva.
Deva mengusap bahu si wanita paruh baya, “Mama ganti baju ya, dandan yang cantik juga. Makan malam nanti spesial buat Mama.”
“Oke,” Bu Ririn membelai pipi kiri Deva lalu menoleh ke Luna, “Lun, kamu ikut makan sama kita ya.”
“Kenapa Mama malah ngajak dia sih?” sela Arga dengan nada kesal sebelum menatap Luna nyalang, “Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi. Kamu ngapain datang ke rumah saya, Lun?” tanyanya.
“Aku bawain kado sama kue buat Mama kamu, Arga.” sahut Luna.
Mulut Arga setengah terbuka. Ia menatap Luna dengan raut tidak percaya lalu menggeleng pelan.
“Besok bisa loh di kantor. Kamu ngerti waktu private orang gak?”
“Arga, udah. Ck!” Bu Ririn lantas menengahi, “Kok jadi ribut sih? Mama tuh cuma pengen seneng-seneng hari ini, pengen tenang. Bukan dengerin kamu ngomel.”
“Bener kata Mama, Mas.” timpal Deva, “Mba Luna, ikut makan di sini aja ya? Mama kan lagi ulang tahun. Makin rame makin bagus.”
Arga berdecak kesal mendengar penuturan Deva, sedang Bu Ririn justru memberi anggukan setuju.
“Lun, kamu tunggu di belakang ya? Tante, Deva sama Arga mau ganti baju dulu,” kata Bu Ririn, “Ga, kamu sama Deva juga ganti baju gih. Mama udah laper nih.”
“Iya, Ma.” kata Deva lalu meraih lengan kanan Arga, “Ayo, Mas.”
“Kamu duluan aja, Dev. Saya mau ngobrol bentar sama dia,” balas Arga lalu kembali menatap Luna.
Deva sedikit ragu meninggalkan Arga bersama Luna, namun saat suaminya itu mengangkat dagu; memberi instruksi agar ia pergi, Deva hanya mampu menuruti. Ia menyusul Mama yang telah pergi dari ruang tamu lebih dulu tadi.
“Kali ini kamu pengen apa dari Mama saya?” sergah Arga tanpa basa-basi, “Jadi manager belum cukup juga? Pengen ke C-level?”
Kepala Luna menggeleng tidak percaya, “Sampai kapan sih kamu bakal nganggap aku gini, Arga?”
“Aku datang ke sini karena aku tuh selalu ingat kebaikan Mama kamu ke aku,” katanya, “Aku gak ada maksud apa-apa selain itu.”
“Dan atas dasar apa kamu berani datang ke sini?” Arga menyela.
“Sekarang hari libur, kamu gak ada privillege apa-apa untuk datang ke rumah saya gitu aja.” katanya, “Apalagi hanya dengan alasan kamu mengingat kebaikan Mama. Make it make sense, Lun.”
“Kamu bukan siapa-siapa saya atau Mama saya di luar urusan pekerjaan, so know your limits.”
Arga lalu memicingkan matanya, “Kamu nanya sampai kapan saya bakal nganggap kamu gini kan?”
Luna menatap Arga lekat-lekat.
“Jawabannya sampai kamu pergi dari hidup saya dan Mama saya.”
“Aku gak akan pergi sebelum kamu percaya kalau aku gak pernah ada niat apa-apa sama kamu dari awal,” gigih Luna.
“Buat apa?” Arga berusaha untuk tidak meneriaki Luna, “Sampai kapan pun, saya udah gak mau ada urusan apa-apa lagi sama orang seperti kamu. Paham?”
“Ga, kamu pikir aku—”
“Cukup!” Potong Arga, “Saya gak mau denger apa-apa lagi dari mulut kamu,” tuturnya sebelum menunjuk tepat di wajah Luna.
“Seharusnya kamu itu bersyukur karena saya nggak pernah ngasih tau Mama saya tentang apa yang udah kamu lakuin dulu,” timpal Arga, “Jadi kamu masih cukup punya muka buat pergi baik-baik dari hidup saya dan Mama saya. Bukan karena malu,” jelasnya.
“Tapi pada dasarnya kamu tuh emang gak pernah tau diri dan gak punya malu, Lun.” tegasnya sebelum melenggang pergi dari ruang tamu. Meninggalkan sang mantan sekertaris seorang diri.
“Ini kayaknya makanan kesukaan Mama semua deh,” kata Bu Ririn sambil memandangi meja makan dengan berbagai macam menu.
“Kalian suka juga gak nih? Jangan sampai abis ini Mama doang loh yang menikmati, kalian enggak.”
“Deva suka kok, Ma. Selera kita sama,” Deva tersenyum, “Itu juga ada ayam bakar sama gurame asam manis, Mas Arga suka.”
Bu Ririn memberi jempol kepada Deva lalu kembali menatap menu di atas meja, “Ada otak-otak juga ternyata. Luna suka banget kan?”
Luna yang duduk di samping Bu Ririn mengangguk, “Iya, Tante.”
“Ya udah. Yuk, kita makan.”
Deva menatap Bu Ririn juga Luna bergantian sebelum melirik sang suami. Wajah Arga tertekuk, jelas jika suasana hatinya sedang tidak baik. Alhasil, Deva pun mengusap pelan paha Arga. Membuat sang suami refleks menoleh padanya.
“Senyum,” Deva menggerakkan bibir tipisnya tanpa bersuara.
Arga mendengus, mulai melahap makanan di hadapannya. Sedang Deva yang mendapati Luna diam sambil memandangi Arga lantas berdeham pelan lalu bersuara.
“Mba Luna, kok gak makan?”
“Kamu makan aja, Dev.” Luna tersenyum tipis. Ia kemudian melirik Bu Ririn lalu mendesis.
“Tante, Luna izin pulang ya?”
Bu Ririn tersentak, “Loh, kok pulang? Kamu belum makan.”
“Tadi adik aku ngabarin, katanya lagi nungguin di lobi apartemen.” katanya, “Maaf ya Luna gak bisa ikut makan malam sama Tante.”
“Padahal bisa pergi dari tadi aja,” gumam sang CEO yang membuat Deva lantas menyikut lengannya.
Luna lalu menghela napas, “Aku belum ngucapin selamat ulang tahun buat Tante di depan tadi.”
Bu Ririn tersenyum, sedang Luna kembali bersuara. “Selamat ulang tahun ya, Tante. Apapun harapan dan doa Tante tahun ini semoga terwujud, aku bakal ikut aminin.”
“Makasih ya, Lun.” Bu Ririn mengusap bahu Luna, “Terus kamu pulangnya bareng siapa?”
“Aku naik taksi, Tante.”
“Kalau gitu Tante minta Pak Agus aja buat nganterin kamu pulang.”
Luna menggeleng, “Gak apa-apa kok, Tan. Aku pulang sendiri aja.”
“Ya udah, tapi kamu hati-hati ya.”
Luna mengangguk, ia tersenyum tipis lalu melirik Arga juga Deva.
“Aku pamit ya.”
“Hati-hati, Mba.”
Luna lantas meninggalkan ruang makan, sementara Bu Ririn, Arga juga Deva melanjutkan makan malam mereka hingga selesai. Arga yang kemudian kenyang lebih dahulu pun meminta izin pada Bu Ririn dan Deva untuk masuk ke kamarnya. Deva juga Bu Ririn menyetujui, sebab raut wajah Arga sudah nampak lelah.
Di ruang makan hanya tersisa Deva dan Bu Ririn, keduanya masih berusaha menghabiskan makanan di piring. Masih sambil menyelipkan obrolan hangatnya.
“Oh iya, Ma.”
Topik lain pun dibuka oleh Deva.
“Mama deket banget sama Mba Luna ya,” tutur Deva bukan lagi pertanyaan, namun pernyataan.
“Mba Luna beliin Mama kue yang Mama suka, terus Mama juga tau kalau Mba Luna suka otak-otak.”
“Kalau bukan karena Mba Luna, Deva kayaknya belum tau kalau Mama juga suka kue jenis itu,” timpal Deva diakhiri senyum.
Bu Ririn yang mendengar hal itu pun terdiam sejenak. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut.
Tidak jauh berbeda dengan Bu Ririn, Deva pun tersentak ketika si wanita paruh baya bangkit dari posisinya. Bu Ririn menghampiri Deva, duduk di kursi bekas Arga tadi sebelum menarik menantu kesayangannya itu ke peluknya.
“Sayang, Deva, dengerin Mama.” Bu Ririn mengusap kepala Deva, “Mama ngerti perasaan kamu.”
“Wajar kok kalau kamu mikir, ini Mama kenapa masih deket sama Luna?” timpalnya, “Tapi gimana pun deketnya Mama sama Luna, menantu Mama itu kamu, Deva.”
Deva sesungguhnya tidak paham arah pembicaraan Bu Ririn, tapi ia setia menyimak dengan serius.
“Kamu yang setiap hari ketemu sama Mama, jadi kamu juga yang paling tau Mama.” Bu Ririn lalu memandangi Deva, “Bagi Mama, Luna itu cuma orang baik yang pernah selalu ada buat Arga...”
“Jadi Mama menjaga silaturahmi sama Luna,” sambung Bu Ririn, “Mama mengesampingkan kalau Luna itu mantan pacarnya Arga.”
Deva menahan napas. Jantung di balik dadanya pun seakan tidak lagi berfungsi semestinya sesaat.
“Jadi Mba Luna mantan pacarnya Mas Arga ya, Ma?” tanya Deva.
Bu Ririn lantas tersentak, “Loh?Emang Arga gak pernah cerita ke kamu soal dia sama Luna, Dev?”
Deva menggeleng, “Gak pernah.”
Sejenak Bu Ririn terdiam. Tangan si wanita paruh baya pun meraih jemari Deva; menggenggamnya.
“Dev, Mama minta maaf.” kata Bu Ririn, “Seharusnya kamu tau ini dari Arga, tapi Mama malah…”
“Ma, gak apa-apa.” Deva melukis senyum, meski tak lagi semanis biasanya. “Mama kan gak tau.”
“Abis ini biar Mama yang ngasih tau Arga supaya cerita ke kamu.”
“Biar Deva aja, Ma. Kalau pun Mas Arga gak mau ngasih tau kan, seenggaknya aku denger sendiri alasannya apa.” katanya.
Bu Ririn mengangguk, namun sorot matanya semakin sedu. Membuat Deva yang mendapati hal itu menghela napas pelan.
“Ma,” Deva menatap lurus netra sang mertua, “Deva emang lagi gak baik-baik aja sekarang. Deva kaget karena selama ini gak tau soal Mas Arga sama Mba Luna.”
“Tapi Deva mau denger alasan Mas Arga kok, Ma.” jelas Deva, “Sama kayak aku denger alasan Mama deket sama Mba Luna.”
Bu Ririn tidak mengatakan apa-apa lagi sebelum memeluk Deva. Sementara suami sekaligus sang Omega dari Arga itu seketika memejamkan kedua matanya.