Monthiversary
Deva tersenyum puas sembari memandangi berbagai macam makanan kesukaan sang suami yang telah tersaji di atas meja. Mulai dari nasi kuning dengan beberapa lauk pauknya, salad, avocado toast, hingga smoothies. Setelah tadi bangun pada dini hari sedikit lebih cepat dari biasanya, Deva lantas mampu memasak lima menu sarapan sebelum jam tujuh pagi tanpa bantuan Bi Yati. He did well. Deva pun berharap Arga menyukainya.
Deva kemudian duduk di salah satu kursi, menanti kedatangan Mama mertua juga Arga yang masih menyisir rambut ketika ia ke kamar tadi. Deva merasa gak sabaran untuk menunjukkan apa yang ia persiapkan kepada Arga.
“Ya ampun,” Bu Ririn yang baru saja menghampiri meja makan berdecak kagum lalu duduk di kursi yang berseberangan kursi dengan Deva, “Kamu beneran masak semua ini sendiri, Dev?”
Deva—yang semalam memang telah memberitahu mertuanya—lantas mengangguk kecil diikuti senyum, “Iya, Ma. Deva bangun jam tiga subuh tadi. Agak takut semuanya gak beres sebelum jam tujuh,” curhat Deva lalu terkekeh.
Bu Ririn menatap sang menantu dengan senyum haru di bibirnya, “Menantu kesayangannya Mama emang hebat banget. Gak heran Arga bucin sama kamu, Dev.”
Deva berdeham, “Menurut Mama Mas Arga bucin sama Deva?”
“Iya. Jelas banget kalau Arga itu bucin sama kamu,” kata Bu Ririn lalu mendesis, “Tau gak sih, Dev. Semua mantan pacar Arga tuh gak pernah ada yang diperlakuin manis kayak yang Arga lakuin ke kamu di depan Mama,” katanya.
Bu Ririn menopang dagu dengan kedua tangannya, “Bahkan hal sederhana kayak nyendokin lauk ke piring, narikin kursi, atau bukain pintu mobil aja gak loh.”
“Mama sampai kaget waktu liat Arga nyanyi buat kamu di acara nikahan kalian waktu itu. Sama yang pas Arga nyuapin kamu nasi goreng,” Mama geleng-geleng, senyum di bibirnya kian lebar. “Mama gak nyangka Arga bisa ngelakuin hal-hal semacam itu.”
Mata Deva berkedip penasaran.
“Arga itu anaknya kaku, Dev. Dia agak sulit mengekspresikan rasa sayangnya ke orang lain. Bahkan ke Mama sendiri,” lanjut Bu Ririn, “Buat sekedar ngucapin kata sayang aja, Arga gak pernah loh.”
“Ke Mama?” mata Deva melotot.
Bu Ririn terkekeh, “Iya. Arga gak pernah bilang sayang ke Mama,” ia tersenyum tipis, “Tapi Mama tau kok kalau dia sayang Mama. Soalnya Arga takut banget Mama kenapa-kenapa, dia selalu jagain Mama sampai jatuhnya protektif.”
“Sama kayak yang Arga lakuin ke kamu. Mama udah liat sendiri gimana Arga ngawasin kamu dari CCTV pas dia ninggalin kamu di ruangan buat ke kantor Mama.”
Deva tersenyum kikuk sebelum melirik ke arah Arga yang telah berjalan menuju meja makan. Begitu pula Bu Ririn yang lantas bersemangat menyambut Arga.
“Lagi ada hajatan apa gimana?” Arga duduk di samping kiri Deva, “Kok makanannya banyak gini?”
Bu Ririn tersenyum, melirik Deva sejenak sebelum menatap Arga. “Ini semua Deva yang masak loh, Ga. Sendiri, gak dibantu Bi Yati. Soalnya spesial buat Mas suami.”
“Mamaaaa,” Deva memelas, sang mertua amat suka menggodanya.
Setelahnya, Deva menoleh pada sang suami. Namun senyum di bibir Deva perlahan luntur saat melihat raut wajah tak suka Arga.
“Kamu bangun jam berapa buat masak semua ini?” sengit Arga.
“Jam tiga tadi, Mas.”
Arga menghela napasnya kasar, “Kamu ngapain sih bangun jam segitu buat masak semua ini sendiri? Kenapa gak minta sama Bi Yati aja?” omelnya, “Semalem aja kamu kecapean, ini bukannya istirahat malah nambah-nambah capek doang buat masak banyak.”
“Ga,” tegur Bu Ririn, “Kamu kok malah ngomel gini? Deva pengen nyenengin kamu loh, dia masak makanan kesukaan kamu supaya kamu liat effort dia buat nyiapin monthiversary kalian. Hargai usaha Deva, apa susahnya sih?”
“Arga menghargai usaha dia, Ma. Tapi aku mikirin tubuhnya Deva, masak juga bikin capek. Aku gak mau dia sakit karena kecapean.”
Arga kembali menoleh ke Deva setelah tadi memusatkan atensi ke Bu Ririn sejenak “Walau pun bukan kamu yang masak, saya juga bakal seneng kalau kamu bilang yang nyuruh Bi Yati masak semua ini buat saya tuh kamu.”
“Jangan bikin diri kamu ribet deh buat nyenengin saya. Whatever you do to make me happy, I will always appreciate it.” timpalnya, “Tapi gak dengan bikin diri kamu sendiri capek, Dev. Kamu ngerti maksud saya kan?” tegas Arga.
Anggukan lemah menjadi respon Deva, sementara Bu Ririn yang melihat hal itu menatap menantu kesayangannya kasihan. Namun baru saja si wanita paruh baya hendak bersuara guna memberi pembelaannya, Arga tiba-tiba meraih tangan Deva di atas meja.
“Ini tangan kamu merah-merah gini kenapa?” Arga menautkan alisnya, sedang Bu Ririn yang mengira anak tunggalnya itu akan mengucap kata manis pada Deva lantas menghela napasnya.
Masih lanjut ngomel ternyata.
“Tadi gak sengaja kena cipratan minyak, Mas. Tapi ini udah gak perih kok,” Deva menarik tangan dari genggaman sang suami lalu tersenyum, “Aku ambilin kamu nasi kuning ya, Mas? Entar kita telat ke kantornya,” tuturnya.
“Tuh kan, kamu jadi ngelukain diri kamu sendiri karena masak.” decak Arga, “Udah diolesin salep luka belum?” tanyanya khawatir.
“Udah, Mas.” sahut Deva dengan suara lembut sambil menyendok nasi kuning ke piring Arga, “Mas Arga mau dada apa paha?” tanya Deva, ia menunjuk ayam goreng.
“Saya mau cherry.”
“Hah?” Deva bingung, begitu pun Bu Ririn yang tadinya menyimak.
“Kamu mau saya bawa ke dokter THT apa gimana sih?” kata Arga, “Ambilin saya cherry di kulkas.”
“Kenapa gak minta sama Bi Yati aja? Katanya mikirin badan Deva, jalan ke dapur juga bikin capek.” sindir Mama, Arga mendengus.
“Gak apa-apa, Ma.” Deva lantas menengahi, “Deva mau sekalian ngambil susu kok buat dibawa ke kantor,” katanya lalu melirik Arga.
“Kamu tunggu bentar ya, Mas.”
Deva bangkit dari kursi setelah mendengar gumaman Arga. Ia melenggang ke dapur sembari menunduk lesu. Deva tidak bisa menampik jika ada rasa kecewa di relung hatinya setelah melihat respon Arga. Tapi Deva tak ingin menyalahkan sang suami, sebab harapannya lah yang amat tinggi.
Mengambil wadah kotak berisi buah termasuk cherry juga susu dari kulkas, Deva lalu menggeser langkahnya ke pantri. Ia meraih piring, memindahkan beberapa buah cherry di sana dari wadah.
Namun di tengah kesibukannya itu, Deva justru dibuat terkejut. Pasalnya, sepasang lengan tiba-tiba melingkari pinggang Deva. Saat menoleh, ia pun mendapati bahwa Arga yang memeluknya dari belakang sambil mengecup pundaknya. Deva seketika gugup.
“Saya udah nyobain nasi kuning kamu,” Arga menyandarkan dagu di pundak Deva, “Rasanya mirip sama nasi kuning buatan Ibu.”
Deva menoleh, senyum merekah di bibirnya. “Kamu suka, Mas?”
Arga mengangguk lalu mengecup lembut pipi Deva, “Makasih ya.”
“Mm, aku seneng Mas Arga suka.”
Helaan napas Arga bebaskan dari hidungnya, “Kamu pengen apa?”
“Maksud Mas Arga?” tanya Deva.
“Hari ini kan monthiversary kita, jadi saya juga mau ngasih kamu sesuatu. Bilang aja kamu pengen apa atau pengen saya ngapain,” jelas Arga, Deva yang mendengar hal itu pun menuntun lengan si pemilik lesung pipi agar terlepas dari pinggangnya. Deva berbalik, kini ia berhadapan dengan Arga.
“Mas Arga serius?”
“Iya,” jawab Arga, “Mau apa?”
Deva tersenyum, “Aku mau Mas Arga masak buat entar malem.”
“Ngaco kamu,” Arga berkacak pinggang, “Saya gak bisa masak. Mau makan arang? Gak kan?”
Kekehan merdu Deva seketika menggema, “Ya udah deh, aku bantuin. Kita masak bareng terus makan malam berdua. Romantis tau, Mas. Gimana? Mas mau ya?”
“Gak. Ck!” decak Arga, “Hari ini kamu gak boleh capek-capek.”
“Aku gak capek kok, Mas.”
“Gak capek, gak capek,” dengus Arga, “Kemarin aja kamu ngotot loh bantuin saya sampai ikutan lembur, Dev. Liat tuh, mata kamu keliatan capek. Mana tadi pake bangun jam tiga segala,” omelnya.
“Pokoknya di kantor nanti kamu istirahat aja di rest room, pulang kantor juga saya gak izinin kamu ke dapur atau beres-beres,” kata Arga, “Biar saya telpon katering langganan Mama buat nyiapin makan malam kita,” timpalnya.
Deva menjatuhkan pundak lesu, “Terus aku ngapain ke kantor sih kalau gak ngapa-ngapain, Mas?”
Arga yang sedang meraih gawai dari sakunya pun melirik Deva sekilas, “Ya nemenin saya lah.”
Deva pun hanya geleng-geleng kepala sambil menyimak Arga yang kini berbicara di telepon.
“Siapin makanan paling enak di taman rumah saya entar malem, buat dua orang. Saya mau tema makan malam paling romantis.”
Deva menahan senyum sambil memicingkan mata mengejek.
“Emang makan malam paling romantis itu gimana sih, Mas?” tanya Deva saat sang suami telah selesai berbicara via telepon.
“Gak tau,” sahut Arga sembari memasukkan gawai di sakunya, “Saya gak romantis, tapi kamu kan pengen yang romantis. Ck!”
Deva terkekeh, meraih piring berisi cherry dari meja pantri lalu menyodorkannya ke Arga.
“Nih. Mas Arga bawa ke meja terus lanjutin sarapannya gih.”
“Makan.”
Deva lantas menautkan kedua alisnya bingung, “Kamu nyuruh aku makan cherry ini, Mas?”
“Mm,” gumam Arga.
“Loh, kan Mas Arga yang pengen cherry tadi. Kenapa jadi aku yang makan?” protes Deva dengan nada suara yang tetap lembut.
“Saya bilang makan, Deva.”
Penekanan di suara Arga—entah kenapa—membuat Deva merasa tidak mampu lagi membantah. Alhasil, Deva meraih satu buah cherry, melahapnya perlahan sambil menatap Arga bingung.
Persekian sekon kemudian, Deva dibuat terbelalak. Pasalnya, sang suami tiba-tiba menarik pelan tengkuknya dengan dua tangan. Dan dalam sekejap mata, Arga lantas melumat lembut bibirnya.
Arga memberi jilatan kecil di permukaan bibir Deva hingga sang empu refleks membuka mulut. Saat itu pula sang Alpha melahap rakus isi mulut Deva, termasuk cherry yang baru Deva gigit sekali hingga terbelah dua.
Deva mengeratkan cengkeraman tangannya di piring yang masih ia pegang meski saat ini sekujur tubuhnya terasa lemas. Terlebih saat Arga menyesap lidahnya, ia pun bisa merasakan manis buah cherry yang kini mereka nikmati bersama dalam ciuman mesra.
Setelah buah cherry dalam mulut Arga habis tak tersisa, ia lantas menyudahi ciumannya dengan si Omega. Arga beralih menatap wajah Deva sambil mengulum bibir bawahnya sejenak. Senyum Arga pun tertahan kala melihat pipi suaminya telah memerah.
“Manis,” Arga menyeringai tipis.
“Mas Arga jorok,” balas Deva lalu buru-buru mengambil susunya di pantri. Setelahnya, ia berjalan tergesa-gesa meninggalkan Arga sambil mengulum senyumnya.
Sementara itu, Bu Ririn juga Bi Yati yang sedari tadi mengintip tidak jauh dari dapur—karena penasaran kenapa Arga tiba-tiba pergi—pun panik. Kedua wanita paruh baya itu kemudian berlari berhamburan ke ruang makan ketika Deva telah nyaris tiba di tempat persembunyian mereka.