Sulky 🔞

“Gimana? Udah seneng abis makan pecak gurame Ibu?”

Deva tersenyum tipis saat Arga menghampirinya yang sedang duduk meluruskan kaki sambil bersandar di kepala ranjang. Arga ikut mendaratkan bokong tepat di sisi kanannya, suaminya itu lalu mengusap lembut paha Deva sebelum meraih jemarinya lalu mengecup punggung tangannya.

“Udah, Mas. Makasih ya.”

“Kok malah bilang makasih ke saya? Kan yang bawain pecak gurame Abang kamu,” kata Arga.

Deva tersenyum lembut, “Tapi kamu yang udah minta ke Bang Davis buat bawain aku pecak.”

“Mm,” gumam Arga, “Perut kamu gimana? Masih nyeri banget ya?”

Deva menggeleng, “Gak, soalnya kamu lagi megang tangan aku.”

Arga menghela napas, sementara satu tangannya menuntun kepala Deva agar bersandar di bahunya.

“Kamu ngaceng, Mas.”

Arga nyaris tersendak ludahnya sendiri. Buru-buru ia menutup gundukan celananya dengan bantal, membuat Deva terkekeh.

“Kamu gak usah salfok deh. Ck!” decak Arga, “Saya ngaceng gini karena feromon kamu kuat tau.”

Mendongak, Deva kemudian mengecup rahang Arga sesaat. Setelahnya Deva lantas bangkit, memindahkan bantal dari bagian selatan Arga ke samping paha si pemilik lesung pipi. Deva duduk di atas pangkuan suaminya lalu melingkarkan lengan di tengkuk Arga. Sang CEO refleks memeluk pinggang ramping Deva. Senyum menghiasi bibir Arga ketika sang suami mengecup ringan pipinya.

“Kamu pengen di atas?”

“Iya, Mas.” kata Deva malu-malu, “Tapi kalau nanti aku udah capek gantian ya, Mas?” pintanya yang dibalas anggukan oleh suaminya.

Perlahan Arga menuntun Deva untuk membuka bajunya hingga suaminya itu berakhir shirtless. Setelahnya, Arga dengan sigap memanjakan kedua puting Deva. Sementara itu Deva mendongak, sesekali menarik rambut Arga guna menyalurkan kenikmatan yang ia terima di titik sensitifnya.

“Mas.”

“Mhm?” gumam Arga yang masih sibuk menjilat, menggigit bahkan menghisap puting Deva. Sedang tangannya sesekali meremas alat kelamin Deva yang masih dibalut celana pendek berwarna hitam. Terlebih suaminya itu juga kerap menggoyangkan pinggul gelisah, membuat penisnya kian tegang.

“Kamu pernah baca gak kalau Omega bisa hamil?” tanya Deva.

Arga menghentikan aksinya lalu mendongak, menatap Deva yang memandangi wajahnya sambil tersenyum. “Pernah. Kenapa?”

“Mas, gimana kalau ternyata aku bisa hamil juga?” Deva menatap bola mata Arga lekat-lekat, “Aku penasaran deh, Mas. Kalau kamu gimana?” tanyanya pada Arga.

“Dev, kamu inget kan kata si Nua sama kita? Gak usah berpatokan sama cerita kuno,” sahut Arga.

“Tapi bisa aja loh, Mas. Lagipula tadi aku juga udah nanya ke Nua, terus kata dia, aku cek aja sama dokter kandungan.” jelas Deva.

“Jadi kamu mau dateng ke dokter kandungan terus nanya kamu bisa hamil apa gak?” tanya Arga.

Deva mengangguk, “Mas Arga temenin aku ke dokter ya?”

“Gak,” Arga mendengus, “Yang bener aja kamu, Dev. Kalau kita ke dokter kandungan, bisa-bisa kita bakal diarahin ke spesialis kejiwaan. Disangka orang gila.”

“Mana ada coba laki-laki bisa hamil? Kamu jangan bikin diri kamu dianggap aneh sama orang lain deh,” Arga menimpali, “Kita kayak gini aja udah aneh banget.”

Raut wajah Deva lantas berubah menjadi sedu, “Ya udah kalau emang Mas Arga gak mau. Kan langsung bilang aja bisa, Mas. kenapa harus ngomel?” katanya.

“Siapa yang ngomel sih, Dev? Saya cuma ngasih tau kamu,” balas Arga, namun setelahnya ia dibuat heran saat Deva tiba-tiba turun dari pangkuannya. Deva lalu mengambil bajunya sebelum memakainya lagi seperti semula.

“Deva, saya gak ngomel.”

Arga tau, Deva lagi ngambek. Dan saat sedang heat seperti saat ini, Deva memang lah begitu sensitif.

“Katanya kamu mau di atas, kok malah rebahan?” Arga mencoba membujuk Deva yang kini telah berbaring menyamping sambil membelakanginya, “Gak jadi?”

Tak kunjung mendapat jawaban dari Deva, Arga lantas menghela napas panjang. Arga kemudian mengusap lembut rambut sang suami, tapi Deva tiba-tiba saja menepis tangannya dengan mata yang telah terpejam amat rapat.

“Jangan lama ngambeknya,” kata Arga lalu mengecup pipi Deva.

Arga—pada akhirnya—pun ikut berbaring di samping Deva. Ia lalu menyentuh punggung Deva dengan telunjuknya, sebab Arga yakin perut Deva sedang nyeri. Nampak dari posisi sang suami yang meringkuk dengan kedua lengan berada di perut. Namun karena Deva tak ingin disentuh, mau tak mau Arga hanya mampu menyentuh Deva seperti saat ini.

“Saya minta maaf.”


“Mas, bangun.”

Arga refleks membuka mata saat merasa bahunya diusap lembut; seperti biasa. Ia lalu tersenyum sumringah kala mendapati Deva sedang duduk di tepi ranjang.

Udah gak ngambek nih, batinnya.

Bangkit dari posisinya, Arga lalu merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. Sudah sangat siap menerima pelukan pagi harinya. Namun Arga dibuat heran ketika Deva hanya memeluknya dalam waktu beberapa detik saja, tidak seperti biasanya. Saat itu pula ia paham jika Deva masih ngambek.

Tapi entah kenapa Arga justru melihat sikap Deva sangat lucu. Sebab meskipun Deva seolah enggan berbicara dengannya, suaminya itu tetap menjalankan rutinitas pagi mereka seperti biasa. Deva membangunkannya, memeluknya, juga menyiapkan pakaian untuk dipakai ke kantor.

“Handuk saya udah ada di kamar mandi?” Arga mencoba membuat suasana cair, sedang Deva masih sibuk memakai dasinya sendiri.

“Iya,” singkat Deva.

“Kamu pengen ke dokter hari ini?” Arga lalu menghampiri Deva yang berdiri di depan meja rias.

“Gak usah,” sahut Deva sebelum berjalan menghindari Arga yang baru saja hendak memeluk erat tubuhnya dari belakang, “Aku duluan ke ruang makan, Mas.”

Arga pun hanya geleng-geleng kepala ketika Deva keluar kamar. Usahanya harus lebih ekstra lagi.