Shut
“Dev? Deva!”
“Iya, Mas!”
Arga menghela napas lega kala mendengar sahutan Deva dari dalam toilet. Sebab, saat mereka baru sampai di kantor tadi, sang suami tiba-tiba merasa mulas. Alhasil, sembari Deva bergegas ke toilet, Arga lantas menunggu sambil mengirim pesan ke Nua. Namun hingga Arga telah selesai membaca pesan Nua yang amat panjang pun, Deva tak kunjung kembali ke ruang kerja mereka.
“Kamu kok lama banget sih? Ck! Ketiduran ya kamu?” decak Arga.
“Bentar, Mas! Aku cuci tangan!”
Arga melipat lengannya sambil menunggu Deva. Sampai tidak lama berselang, suaminya itu pun datang. Deva membuka pintu toilet sambil tersenyum.
“Kamu nih ya, udah bikin kaget gara-gara mimpi buruk pas kita di basement tadi. Terus sekarang kamu lama banget di toilet,” omel Arga, “Ngapain sih kamu, Dev?”
“Aku mules, Mas. Jadi daripada tadi aku bolak-balik, mending aku nunggu sampai mulesnya agak reda,” jelas Deva pada Arga.
“Ya tapi kamu kabarin saya dong, kan saya jadi mikir yang enggak-enggak tadi. Gimana sih,” kening Arga berkerut kesal, namun raut khawatir tidak bisa bersembunyi di wajahnya. Deva yang melihat hal itu pun hanya terkekeh kecil.
“Mas, handphone aku kan ada di meja. Gimana aku bisa ngabarin kamu?” Deva mengusap lembut bahu Arga, “Maaf ya udah bikin kamu kepikiran tadi,” katanya.
Persekian detik berikutnya, Deva lantas dibuat kaget. Sebab Arga tiba-tiba memeluknya, Deva pun bisa merasakan bagaimana sang suami menghela napas panjang.
“Sekarang gimana?” suara Arga memelan, bahkan amat lembut dari sebelumnya, “Masih mules banget perut kamu?” tanyanya.
Bibir Deva pun membentuk garis tipis, sementara satu tangannya mengusap punggung lebar Arga.
“Mas Arga, aku tuh mules bukan karena lagi heat. Gak nyiksa kok.”
“Emang yang bilang kalau kamu lagi heat siapa sih?” Decak Arga, “Saya kan tau kamu lagi heat apa gak, saya nyium feromon kamu.”
Deva mengangkat alisnya, “Terus kenapa kamu meluk aku sambil nanya aku masih mules apa gak?”
“Emang suami kamu gak boleh ya meluk kamu sambil nanyain keadaan kamu?” Arga menyela, “Bolehnya pas lagi heat doang?”
Deva tersenyum, “Gak kok, Mas.”
“Terus gimana? Masih mules apa kita ke klinik kantor aja abis ini?”
“Gak, Mas. Udah mendingan nih,” Deva kemudian menarik dirinya dari pelukan Arga, “Kayaknya ini gara-gara aku ikut makan sambel bareng Mama di rumah tadi deh, Mas. Aku makannya kebanyakan.”
Deva tertawa ringan, tapi tanpa ia duga, Arga tiba-tiba menyentil pelan keningnya. Membuat Deva refleks mendesis lalu mengusap titik yang jadi sasaran Arga tadi.
“Kamu sih, udah tau perut kamu gak kuat malah ikut-ikutan aja.”
Deva merenggut, tapi setelahnya ia mengulas senyum mengejek.
“Itu juga cinta tau, Mas.”
Mata Arga memicing, “Kok malah jadi cinta sih? Saya nggak mau ya dengerin kuliah umum lagi, Dev.”
“Ya emang cinta kok. Walau pun perut aku gak terlalu kuat, tapi aku seneng kalau makan sambel. Kalau udah bikin sakit, aku bakal berhenti. Sama halnya kayak kopi yang aku ceritain semalem, Mas.”
Arga mendengus, “Mulai lagi deh kamu. Ayo, kita balik ke ruangan sekarang. Kerjaan saya banyak.”
“Ayo,” Deva mengangguk setuju.
Arga lantas meraih tangan Deva, menggenggamnya erat sambil menuntun suaminya itu berjalan ke arah ruang kerja mereka. Saat Arga juga Deva akhirnya sampai di tempat tujuan, mereka justru dibuat kaget. Pasalnya, ada Luna yang sedang duduk di sofa yang tidak jauh dari meja kerja Arga.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Arga dengan nada sengitnya.
Luna bangkit dari sofa, berjalan menghampiri Arga bersama Deva yang berdiri bersisian dan masih sambil berpegangan tangan erat.
“Ga, maaf ya tadi aku langsung duduk di sofa. Soalnya pas aku masuk, gak ada orang. Padahal pintu gak kekunci,” jelas Luna.
“Saya nanya, ngapain kamu di sini, Luna?” ulang Arga penuh penekanan, “Gak usah basa-basi.”
“Mas,” Deva bergumam sambil meremas pelan tangan Arga, “Jangan gitu ngomongnya.”
Luna berdeham, “Pak Bian gak sempet hadir buat minta tanda tangan sekaligus meeting sama kamu hari ini karena ada urusan mendadak, Ga. Jadi beliau nunjuk aku buat nge-wakilin dia hari ini.”
“Emang saya pernah bilang kalau saya setuju atasan kamu diwakili sama kamu?” sengit Arga, “Kamu bahkan langsung masuk gitu aja loh di ruangan saya. Mana sopan santun kamu sebagai bawahan?”
“Aku udah ngabarin Sekertaris kamu sebelum datang ke sini, tapi karena gak ada balasan dan waktu janjian atasan aku sama kamu udah keburu telat, jadi aku inisiatif buat datang.” sahut Luna, “Tadi aku juga ngabarin kamu.”
“Jadi kamu nyalahin saya sama Deva sekarang? Iya?” sela Arga.
Luna menggeleng pelan, “Aku gak bilang gitu, Ga. Aku—”
“Cukup!” Potong Arga sebelum menunjuk ke arah pintu, “Kamu keluar sekarang! Bilang sama atasan kamu buat re-schedule meeting sama saya,” tegasnya.
“Berkas yang kamu bawa itu gak akan saya tanda tangani kalau bukan atasan kamu yang datang langsung ke ruang kerja saya.”
“Dan ingat ya, Luna. Saya gak pernah mau liat kamu masuk ke ruangan saya lagi,” timpal Arga.
Luna menunduk sejenak guna mengambil napas pelan sebelum kembali menatap wajah Arga.
“Aku minta maaf kalau apa yang udah aku lakuin tadi gak sopan,” tuturnya, “Aku bakal jadiin hal ini introspeksi buat ke depannya...”
“Tapi kalau kamu berkenan, aku berharap besar kamu mau ngasih tanda tangan ke berkas yang aku bawa. Berkas ini udah harus aku terusin ke Bu Ririn hari ini, Ga. Dan Bu Ririn perlu ngasih report ini ke pemegang saham lainnya.”
Mulut Arga setengah terbuka, sedang sorot matanya menatap wajah Luna dengan tak percaya.
“Kamu masih kayak dulu ya, Lun.” Arga tersenyum miring, “Gigih, tapi gak punya hati sama otak.”
“Mas Arga.”
Arga begitu juga Luna seketika menoleh ke Deva yang memberi sedikit penekanan di suaranya.
“Mba Luna udah minta maaf, apa salahnya kamu ngasih dia satu kesempatan hari ini?” katanya.
“Mba Luna itu mantan sekertaris kamu loh, Mas. Kenapa sih kamu sekeras ini juga sama orang yang udah pernah kerja buat kamu?” timpal Deva, namun Arga justru melepas tautan jemari mereka.
Arga kembali menoleh ke Luna, “Kenapa kamu masih di situ sih?” suaranya dingin, “Kamu tuli? Gak denger saya bilang apa? Keluar!”
Deva menghela napasnya kasar, “Mba Luna, berkasnya taroh aja di meja Mas Arga ya. Entar saya kabarin kalau udah selesai, Mba.”
Luna melirik Arga, memastikan jika amarah sang CEO tak akan semakin meletup-letup kalau ia menuruti titah Deva. Tapi Arga justru bergegas ke kursinya, ia duduk di sana dengan wajah yang sangat datar dan dingin.
“Gak apa-apa, Mba. Ini juga tanggung jawab saya,” Deva kembali meyakinkan. Luna pun mengangguk lalu meletakkan berkas di atas meja sang CEO.
“Kalau gitu aku permisi ya, Dev.” ucap Luna, “Maaf ngerepotin.”
“Iya, Mba Luna. Saya juga minta maaf ya,” Deva melirik suaminya sekilas, “Sekalian mewakili suami saya. Maaf kalau ada kata kurang mengenakkan dari Mas Arga.”
Selepas keluarnya Luna dari ruang kerja mereka, Deva lantas berdiri di depan meja Arga. Ia menatap sang suami yang kini telah menyibukkan diri dengan layar MacBook di hadapannya.
“Mas, bisa gak sih sekali aja kamu ngomong tanpa bikin diri kamu tuh terkesan kejam di hadapan orang lain?” Deva buka suara.
“Kamu gak mikir apa kalau yang kamu ke ucapin ke Mba Luna tadi bisa bikin dia sakit hati?” timpalnya, “Apalagi dia itu cewek, Mas. Cewek lebih pake perasaan daripada logikanya.”
Arga akhirnya menggulirkan bola matanya ke Deva. Namun masih dengan ekspresi tak bersahabat.
“Jadi kamu pengen saya diam?”
Deva membuang muka sejenak sambil menarik napas sebelum kembali menatap wajah Arga.
“Mas, aku gak bilang supaya kamu diam. Aku cuma—”
“Jawaban dari pertanyaan saya tadi cuma iya atau nggak, Deva.”
Deva menahan napas, Arga ikut menekankan suara seperti yang ia lakukan tadi sambil memotong ucapannya. Sorot bola mata sang suami pun semakin berapi-api.
“Iya,” jawab Deva, “Aku pengen kamu diem sebentar aja kalau emang kamu gak bisa ngomong yang baik-baik sama orang lain.”
Tangan Deva mendadak beku kala Arga bangkit dari kursinya. Ludah pun ditelan Deva sekuat tenaga ketika suaminya perlahan mendekatinya, memandanginya dengan rahang yang mengeras.
Ketika Arga telah berdiri tepat di hadapannya, kedua tangan Deva mengepal di samping paha. Deva tiba-tiba gugup. Aura dominan sang Alpha mengintimidasinya.
Persekian sekon berselang, Deva pun dibuat kaget saat Arga tiba-tiba menarik kuat pinggangnya dengan satu lengan. Setelahnya, Arga meraup bibir Deva dengan amat rakus, menciumi titik itu seolah tidak ada lagi hari esok.
“Mmh! Mas—hh!”
Deva meronta, namun kekuatan Arga lebih besar darinya. Alhasil, Deva pun pasrah saat suaminya itu tak henti-henti menghisap bibirnya, sesekali menggigitnya.
Sampai saat Arga mengangkat tubuh Deva hingga terduduk di atas meja, Deva refleks memeluk tengkuk Arga. Membuat ciuman panas mereka semakin intens. Decak lidah bersahut-sahutan, mereka saling melumat, menjilat hingga menghisap masih dengan amarah yang menjadi perantara.
Namun saat merasa jika pasokan oksigen perlahan menipis, Arga lantas menyudahi ciuman itu. Ia beralih menatap wajah Deva yang hanya berjarak persekian senti darinya. Napas suaminya tersengal-sengal, matanya sayu.
“Saya gak akan pernah diam…” bisik Arga di depan bibir Deva, “Except your lips on mine, Deva.”
Tepat setelah Deva mendengar penuturan Arga, ia lalu menarik tengkuk suaminya. Deva kembali mempertemukan belahan bibir mereka hingga saling melumat. Kali ini Deva yang memimpinnya.
Arga pun tidak menolak. Setiap lumatan, hisapan hingga gigitan Deva ia balas. Membuat ciuman mereka semakin liar hingga baju dan rambut mereka acak-acakan. Sebab Deva sesekali meremas rambut juga kemejanya, begitu juga sebaliknya. Mereka kacau.
“Kenapa kamu berhenti?” Arga mengatur deru napasnya ketika Deva menyudahi ciuman mereka, “Udah capek bikin saya diam?”
Deva tidak menjawab. Namun ia refleks memeluk erat tubuh Arga yang berada di depannya. Masih dengan posisinya yang duduk di atas meja, sementara sang suami berdiri di antara kedua pahanya.
“Mas, aku juga takut kamu diapa-apain orang.” gumam Deva lirih.
“Kamu sendiri kan yang bilang sama aku, kalau kita gak pernah tau niat orang gimana? Berbuat baik ke orang lain aja, kita masih bisa dijahatin. Apalagi kalau kita bikin mereka sakit hati, Mas?”
Arga memejamkan matanya, ia kemudian menunduk sebelum mengecup lembut pundak Deva.
“Kalau pun mereka gak ada niat jahatin kamu, bakal ada ganjaran yang entah hari ini atau besok bakal kamu terima kalau nyakitin orang lain, Mas. Aku percaya itu.”
“Kamu pernah denger gak kalau doa orang-orang yang tersakiti itu cepet diijabah, Mas?” katanya.
“Apalagi tadi aku mimpi buruk soal kamu. Aku kepikiran, Mas. Gimana kalau ternyata mimpi yang tadi pertanda gak baik?”
Deva lalu ikut mengecup pundak suaminya sejenak, “Kamu ngerti maksud aku kan, Mas? Aku cuma pengen jagain kamu. Itu aja kok.”
“Aku gak minta kamu buat diam atau gak jadi diri kamu sendiri, tapi kalau udah berlebihan kayak yang tadi aku tuh khawatir, Mas.”
Arga tersenyum tipis, “Kenapa kamu harus takut sih? Bukannya bagus kalau nanti saya gak ada?”
“Gak ada yang ngomelin kamu, gak ada yang ngeledekin kamu. Terus nih ya, kalau besok-besok saya meninggal, semua yang saya punya bakal jadi milik kamu tau.”
Arga tersentak, Deva tiba-tiba mendorong tubuhnya hingga pelukan mereka terlepas. Saat itu pula Arga mendapati Deva memberinya tatapan sedu, lebih tepatnya sorot mata kecewa.
“Jadi selama ini kamu mikir aku cuma mengharapkan apa yang kamu punya, Mas?” lirih Deva, “Kamu ngira kalau aku nunggu waktu sampai kamu pergi? Iya?”
“Atau kamu lagi nge-tes aku?” Deva tersenyum miring, “Kamu punya pikiran kayak gitu ke aku?”
Arga mengulum senyum sambil meraih tangan Deva. Menghirup pergelangan Omeganya itu lalu melirik wajah Deva yang telah membuang pandangan darinya.
“Pantes kamu sensitif gini,” Arga meledek, “Saya udah bisa nyium wangi feromon kamu nih. Minggu depan pasti makin sensitif lagi.”
Deva menarik tangannya dari Arga tanpa menoleh pada sang suami, “Minggir, Mas. Aku mau balik ke meja kerja aku sekarang.”
“Kamu ngambek?” Arga justru makin menghalangi tubuh Deva agar tidak turun dari meja. Arga mengunci pergerakan suaminya itu dengan meletakkan kedua tangan di samping tubuh Deva.
“Saya cuma bercanda, Deva.”
Deva akhirnya menoleh ke Arga, namun matanya berkaca-kaca.
“Tapi candaan kamu tadi sama sekali gak lucu, Mas.” katanya.
“Iya, saya minta maaf.”
Deva kesal pada dirinya yang selalu saja mudah luluh ketika Arga telah mengucap kata maaf seperti sekarang. Terlebih suara Arga begitu lembut bagai sutera. Belum lagi ibu jari sang Alpha yang kini mengusap pipi kirinya.
“Kamu gak usah ke meja kamu dulu, saya mau ngasih kerjaan.”
Deva memerhatikan Arga yang kini sibuk menyeret satu kursi agar berdekatan dengan kursi kerjanya. Setelahnya, sang CEO pun duduk di sana. Sementara Deva masih ada di atas meja.
“Kamu kok masih di situ?” Decak Arga, “Cepet duduk di sini, Deva.”
“Iya, Mas.”
Deva menurut. Ia duduk di kursi yang bersebelahan dengan Arga, namun suaminya itu justru sibuk memandanginya. Deva pun bisa merasakan jika sang CEO hendak mengatakan sesuatu. Tapi Arga malah kelihatan berpikir. Aneh.
“Kenapa, Mas?” tanya Deva.
“Saya pengen kopi.”
Deva menghela napas pelan lalu geleng-geleng kepala, “Mas Arga udah minum kopi loh sebelum berangkat ke kantor tadi. Entar perut kamu perih, Mas. Minum yang lain aja dulu ya?” sarannya.
“Aku bikinin jus mau?” tanyanya.
Arga menggeleng, “Saya gak suka jus. Perut saya baik-baik aja kok. Gak kayak perut kamu, lemah.”
“Iya, sekarang masih baik-baik aja. Tapi nanti gimana, Mas? Gak baik tau minum terlalu banyak kopi apalagi pagi-pagi gini,” Deva kemudian berpikir sejenak, “Mas Arga mau nyobain susu aku gak?”
Mulut Arga menganga, matanya pun melotot dengan tawa yang ia tahan. Raut wajahnya amat usil.
“Hah? Susu kamu?” Pandangan Arga kemudian turun ke arah dada Deva, membuat sang empu refleks memukul pelan bahunya.
“Ih, Mas Arga! Maksud aku tuh susu full cream yang aku bawa.”
“Hahahaha!”
Sejenak Deva tertegun ketika Arga tertawa lepas. Bahkan suaminya itu sampai mendongak sambil bersandar di badan kursi. Lesung pipi Arga pun semakin curam, Deva senang melihatnya. Meski sebenarnya Deva tau jika Arga kini tengah mengusilinya, tapi ia tidak keberatan untuk itu.
Setelah tawa Arga mulai reda, Deva pun tersenyum tipis. “Aku suka liat lesung pipi kamu, Mas.”
Arga menatap Deva lekat-lekat. Setelahnya ia tersenyum lebar, membuat lesung pipinya kembali nampak. Namun yang membuat Deva heran, Arga justru tiba-tiba mendekatkan pipi ke arahnya.
“Mas,” Deva terkekeh, “Aku bisa liat lesung pipi kamu tanpa harus sedeket ini juga kok,” tuturnya.
“Katanya kamu suka,” balas Arga, “Kamu gak cuma bisa liat, tapi kamu boleh ngelakuin apapun sama lesung pipi saya. It’s your privillege,” Arga menimpali.
Senyum Deva tertahan, “Kalau aku colok pake pulpen boleh?”
Tawa merdu Deva pun refleks mengalun saat raut wajah Arga berubah menjadi datar. Namun ia buru-buru mengusap bahu sang suami sambil berkata, “Aku cuma bercanda, Mas. Jangan ngambek.”
“Saya gak ngambekan,” cibir Arga, “Gak kayak seseorang.”
“Aku maksudnya?” tanya Deva.
Arga hanya tersenyum. Namun persekian sekon kemudian, ia menurunkan pandangan ke arah bibir Deva. Sementara Deva yang menyadari bahwa Arga perlahan mengikis jarak wajah mereka pun diam-diam menelan ludah. Mata Deva refleks terpejam ketika ia bisa merasakan hembusan napas hangat suaminya. Namun seperti dejavu, baik itu Arga juga Deva lantas mengalihkan atensinya ke arah gawai Arga yang berdering.
Saat itu pula Deva menyadari jika sang suami menggunakan foto di hari pernikahan mereka sebagai lock screen. Deva pun berdeham ketika Arga justru membisukan panggilan yang baru saja masuk.
“Kok gak diangkat, Mas?”
Atensi Arga kembali sepenuhnya pada suaminya, “Saya lagi sibuk.”
Jemari Deva di atas pahanya pun mendadak dingin ketika Arga kembali mendekatkan wajahnya seperti tadi. Sampai saat Deva merasa jika sang suami nyaris menciuminya, matanya terpejam.
“Saya juga bahagia nikah sama kamu, Deva.” ucap Arga di depan bibir Deva yang membuat sang empu kembali membuka mata.
Pada saat itu juga Arga tiba-tiba mengecup lalu melumat lembut bibir suaminya. Sementara mata Deva hanya berkedip terkejut sebelum akhirnya ia membalas pagutan yang Arga beri padanya.