Ex
Mesin mobil telah Arga matikan, ia pun sudah memastikan bahwa dompetnya tidak ketinggalan. Kini Arga amat siap untuk segera keluar sebelum mengajak Deva berbelanja, juga mencari makan. Namun ketika Arga menoleh ke Deva, keningnya lantas berkerut tidak suka. Pasalnya, Deva justru masih sibuk menatap gawainya.
Sementara itu, Deva yang semula menatap layar gawainya—hingga berkeluh kesah di akun private—karena tak sengaja melihat Nadia ketika Arga masih sibuk mencari area parkir tadi pun merenung. Deva kira hatinya telah sembuh. Deva pun mengira bahwa hatinya sudah ikhlas. Tapi melihat Nadia tersenyum lebar bersama sosok pria yang Deva yakini suami sang mantan membuat dadanya sesak.
“Kamu mau jalan apa main hp di sini sih?” suara Arga memecah hening sekaligus lamunan Deva.
Buru-buru Deva menoleh kepada suaminya, memaksakan senyum lalu menggeleng. “Gak kok, Mas.”
“Ya udah, ayo.”
Anggukan menjadi respon Deva, sedang Arga beralih membuka seat belt untuknya. Setelahnya, si pemilik lesung pipi pun bergegas keluar dari mobil diikuti Deva.
Ketika keduanya telah berdiri di samping mobil dan bersiap-siap untuk masuk ke dalam mall, Deva menunduk sejenak. Ia menatap tangan Arga di samping pahanya.
Perlahan, Deva meraih ibu jari sang suami, menggenggamnya seperti anak kecil yang takut jika saja ia akan tersesat. Arga yang melihat tingkah Deva pun lantas mendengus diikuti senyum tipis.
“Kalau kamu ngegenggam tangan saya kayak gini, saya jadi keinget pas kamu megang kontol—akh!”
“Mas Arga!” cubitan Deva pada lengan Arga sukses membuat suaminya itu memekik dan tak melanjutkan ucapan kotornya.
“Kenapa sih suka ngomong jorok gak tau tempat?” Deva mendesis.
“Ya terus kamu juga kenapa coba megang tangan saya kayak gini?” protes Arga sebelum mengubah posisi jemari mereka. Kini jemari Arga menyelinap di antara milik Deva lalu menggenggamnya erat.
“Gini kan bisa,” timpal Arga.
Senyum dikulum Deva, ia pun hanya manut saja ketika Arga mulai menuntunnya memasuki pusat perbelanjaan. Deva masih belum terbiasa menggenggam tangan Arga seperti ini di luar masa heat. Ia juga belum terbiasa mendapat atensi orang-orang yang melihatnya bersama Arga; seperti sekarang ini. Semuanya masih terlalu baru untuk Deva.
Tapi harus tetep dijalani kan?
Sementara Deva sibuk mencoba untuk terbiasa, Arga justru diam dan terlihat acuh tak acuh saja ketika melihat beberapa orang berbisik-bisik. Bahkan gak satu dua orang yang kini diam-diam mengambil fotonya juga Deva.
“Risih ya?”
Mata Deva berkedip cepat, “Ha?”
“Kamu kenapa sih suka budek gak tau tempat?” sindir Arga.
Deva mencebik, “Aku denger kok, Mas. Cuman aku kan gak ngerti kamu lagi bahas apa. Tiba-tiba aja nanya kayak gitu,” jelasnya.
Kekehan mengalun merdu dari celah bibir Arga. Ia kemudian mengangkat tangannya yang saling bertautan dengan milik Deva lalu mengecup punggung tangan suaminya itu sejenak.
Deva kaget, of course.
Entah sudah yang ke-berapa kali Arga membuatnya salah tingkah hari ini. Perlakuan dan tutur kata Arga selalu di luar ekspektasinya.
“Saya laper deh, Dev.”
“Kalau gitu kita makan aja dulu, Mas. Gimana?” saran Deva yang dibalas anggukan kecil oleh Arga.
“Cari Steak yuk,” ajak Arga.
Deva tersenyum, “Boleh.”
“Saya ada tempat makan Steak langganan kalau lagi jalan bareng Mama. Mau ke sana?” tanya Arga.
“Mau,” sahut Deva bersemangat.
Senyum Arga tertahan di ujung bibirnya, “Kamu, kalau aja masih bocil, pasti gampang diculik deh.”
“Kok gitu?” alis Deva terangkat.
“Soalnya kamu bakal mau-mau aja kalau diajak,” dengus Arga.
“Tapi Mas Arga kan suami aku,” balas Deva, “Gak bakal nyulik.”
Arga menghentikan langkahnya yang otomatis diikuti oleh Deva. Namun ketika Arga menuntun ia untuk berbalik arah, Deva lantas melotot bersama rasa herannya.
“Mas Arga tuh mau bawa aku ke mana sebenernya?” tanya Deva.
Arga melirik Deva sekilas, “Diem. Saya mau nyulik kamu,” katanya.
Sontak Deva tertawa mendengar penuturan Arga. “Mana ada mau nyulik malah bilang kayak gini.”
“Tadi saya lupa jalan,” jujur Arga lalu ikut tertawa kecil bersama Deva yang kini tidak habis pikir.
Mereka pun kembali melanjutkan langkah hingga akhirnya sampai di depan sebuah restoran Steak.
“Deva!”
Baru saja Arga juga Deva hendak masuk, seseorang tiba-tiba saja memanggil nama Deva dari arah berlainan. Tanpa menoleh, Deva sebenarnya sudah tau sosok itu.
Arga lantas memerhatikan pria juga wanita yang menghampiri mereka tepat di depan restoran. Sedang Deva menarik napasnya dalam-dalam sebelum menoleh, mendapati Nadia bersama sang suami kini berdiri di hadapannya.
Kenapa harus ketemu sih? Batin Deva sambil menguatkan dirinya.
“Dev, lu apa kabar?” tanya Nadia.
Deva memaksakan senyum, “Gue baik,” katanya lalu melirik pria di samping Nadia, “Ini suami lu ya?”
“Iya,” Nadia bergelayut manja di lengan suaminya, “Mas, kenalin ini Deva. Temen aku,” tuturnya lalu kembali memandangi Deva.
“Dev, kenalin ini suami gue. Mas Fahri,” sambungnya yang dibalas anggukan kecil oleh Deva.
“Gue baru tau kemaren kalau lu abis nikah,” Nadia melirik Arga yang sedari tadi hanya terdiam dengan ekspresi tidak berarti.
“Gak punya TV ya?” celetuk Arga tiba-tiba yang membuat Nadia, Fahri dan tidak terkecuali Deva seketika tersentak, “HP ada?”
“Mas,” gumam Deva sebelum memberi tatapan gak enak ke Nadia dan suaminya, “Iya, Nad. Kenalin ini suami gue, Mas Arga.”
Deva mendongak, menatap Arga yang—sangat jelas—malas untuk sekedar basa-basi. Ia paham itu.
“Mas, kenalin ini Nadia.”
“Oh…” Arga kemudian menatap wajah Nadia lekat-lekat, “Jadi ini mantan kamu yang bikin kamu ditinggal nikah waktu itu, Dev?”
Deva meremas kuat tangan Arga yang masih bertautan dengan miliknya. Jujur saja Deva tidak menyangka bahwa Arga akan mengingat hal yang pernah Davis ucapkan waktu itu. Alhasil, kini Deva pun dibuat bingung harus memberi respon apa pada Fahri juga Nadia yang jelas terkejut.
“Udah selesai kan kenalannya?” Arga pun memecah keheningan, “Ayo, saya udah laper banget.”
“Nad, kalau gitu gue duluan ya.” pamit Deva sebab sang suami sudah menarik-narik lengannya.
Ketika Arga telah menuntunnya memasuki restoran dan mencari meja yang masih kosong, Deva seketika menghela napas pelan.
“Mas, kamu kok gitu sih tadi?”
“Saya kenapa lagi?” Arga balik bertanya sebelum menarik satu kursi untuk Deva setelah mereka sampai di sebuah meja kosong.
“Duduk,” titahnya, Deva tunduk. Sementara Arga mendaratkan bokong di sisi yang berlawanan.
“Ya kamu ngapain coba bilang kalau Nadia itu mantan aku di depan suaminya?” lanjut Deva.
“Terus salahnya di mana? Emang bener kan dia itu mantan kamu?”
“Ck!” Decak Deva, “Tapi kan gak harus di depan suaminya, Mas.”
“Aku gak enak tau,” timpal Deva, “Pasti Nadia mau jaga perasaan suaminya, makanya tadi dia gak bilang kalau aku ini mantannya.”
Arga mendengus pelan, “Dikira makanan apa, ada rasa gak enak.”
“Mas, aku gak bercanda.”
“Ya udah, iya. Maaf,” pasrah Arga.
Pelayan pun menghampiri meja mereka. Memberikan buku menu yang seketika Arga buka lebar di tengah-tengah meja agar Deva bisa ikut melihat dan memilih.
“Ini steak yang suka saya makan sama Mama,” kata Arga sambil menunjuk salah satu menu.
“Mas pengen makan yang itu?”
Arga mengangguk, “Mm. Kamu sendiri mau makan yang mana?”
“Samain aja deh kayak yang Mas Arga pesen,” Deva senyum tipis, “Aku mau tau selera kamu sama Mama kayak gimana,” katanya.
“Kayak kamu,” celetuk Arga.
Alis Deva bertaut kaget, “Hah?”
Pelayan yang setia berdiri di sisi meja Arga dan Deva tersenyum. Namun hal itu nyatanya tidak luput dari pandangan sang CEO.
“Kenapa, Mba? Lucu ya? Suami saya cakep-cakep tapi bolot?”
Deva mencubit lengan Arga, “Aku denger ya, Mas. Aku cuma kaget.”
Arga tersenyum mengejek lalu memberitahu pesanannya juga Deva pada sang pelayan. Sedang Deva yang tak sengaja melirik ke meja lain seketika mendapati Nadia dan suaminya pun sibuk memilih menu. Posisi duduknya persis menghadap ke arah sang mantan, Nadia nampak sangat bahagia bersama Fahri. Senyum yang dulu selalu Deva lihat tiap hari kini terukir untuk orang lain.
“Kamu mau makan sama saya apa pengen pindah duduk ke sana?” tanya Arga yang kini tengah menatap Deva lamat.
Deva tersentak lalu buru-buru mengalihkan pandangannya ke Arga. Ia pun baru sadar jika si pelayan yang tadi berada di sisi meja mereka telah pergi. Deva kemudian menggeleng pelan.
“Maaf, Mas. Tadi aku kepikiran sama sesuatu aja,” tutur Deva.
“Kepikiran sama mantan kamu?”
Deva menautkan jemarinya yang tiba-tiba dingin di bawah meja.
“Gak kok, Mas. Aku cuma…” Deva menarik napasnya dalam-dalam, “Aku cuma mikir, ketemu sama Nadia ini nasib sial aku juga apa enggak ya?” ia tertawa hambar.
“Kemarin-kemarin aku kayaknya udah tenang, gak kepikiran lagi soal nasib sial aku yang ditinggal nikah sama Nadia,” curhat Deva, “Tapi hari ini aku justru ketemu lagi sama dia bareng suaminya.”
“Jadi maksud kamu, saya cuma bikin nasib kamu makin sial?” balas Arga, “Kan saya yang tadi ngajakin kamu makan ke sini.”
Kepala Deva menggeleng cepat, “Gak gitu, Mas. Maaf kalau aku udah bikin kamu tersinggung.”
Napas Deva pun tertahan di atas diafragma ketika Arga tiba-tiba membuang pandangannya ke arah lain sejenak. Arga terdiam.
“Mas Arga, maaf…” lirih Deva.
“Apa kamu gak bisa menganggap saya keberuntungan kamu, Dev?”
Kini giliran Deva yang bungkam. Terlebih saat sang suami kembali menatap wajahnya lekat-lekat.
“Kalau aja hari ini kamu ketemu sama dia yang bareng suaminya sementara kamu lagi sendiri, ya mungkin ini emang nasib sial…” lanjut Arga, “Bukan gak mungkin Nadia bakal ngasih kamu tatapan kasihan karena dia udah bahagia sama suaminya, tapi kamu justru ngasih kesan belum move on.”
“Sekarang kamu lagi jalan bareng saya loh,” Arga menimpali, “Kamu udah punya saya di sini, Deva.”
Deva menipiskan bibirnya. Arga ada benarnya juga. Jika tak ada Arga, mungkin ia akan nampak menyedihkan di depan Nadia, pikirnya lalu tersenyum lembut.
“Iya juga ya, Mas. Emang akunya aja deh yang suka overthinking soal nasib sial aku,” kata Deva.
Arga menghela napas, merogoh sakunya lalu meraih handphone.
“Mama nge-chat nih, saya bales dulu gak apa-apa kan?” izinnya dan dibalas anggukan oleh Deva.
Sampai tak lama berselang, Steak yang dipesan Arga dan Deva pun datang. Bersamaan dengan Arga yang kembali memasukkan gawai ke dalam saku celananya setelah membalas chat dari sang Mama.
“Cepet banget ya, Mas.”
“Iya lah,” sahut Arga, “Kan yang mesen saya, tamu VVIP mereka.”
“Iya deh, aku percaya.”
“Kamu ngeledekin saya lagi?”
Deva terkekeh, “Enggak, Mas.”
“Ya udah, makan.”
Arga dan Deva mulai memotong steak di hadapan mereka. Namun baru saja Deva hendak melahap potongan daging di piringnya, ia justru terdistraksi oleh tawa sang mantan dari meja seberangnya.
Nadia tertawa saat Fahri sedang mengikat rambutnya memakai sebuah sumpit. Kilas balik kisah antara dirinya dengan Nadia pun seketika menyambangi pikiran Deva. Ia masih ingat bagaimana dirinya mengikat rambut Nadia di warung bakso kala itu. Manis.
Kini Nadia kembali mendapat perlakuan serupa, tapi tak lagi dengan orang yang sama. Sebab posisi Deva telah tergantikan.
Tanpa sadar ekspresi wajah Deva mendadak sedu, atensinya masih tertuju kepada mantannya itu. Membuat Arga yang menyadari tingkahnya lantas meletakkan pisau juga garpu di atas piring. Menimbulkan bunyi yang cukup keras hingga Deva menatapnya.
“Kita pulang sekarang.”
Deva terbelalak, “Loh, Mas. Kok pulang? Kamu belum makan loh.”
Sorot mata Arga begitu dingin. Bahkan Deva bisa merasakan betapa tak ramah dan kacaunya suasana hati sang suami saat ini.
“Saya tau kamu lagi sedih,” tutur Arga, “Dan saya gak mau ngerasa jadi orang yang kesannya maksa kamu buat ada di sini sama saya.”
Arga lalu hendak berdiri, namun Deva buru-buru menggenggam tangannya. Deva menahan Arga untuk tetap duduk di depannya.
“Mas, aku minta maaf.”
Perlahan Deva mengusap lembut punggung tangan Arga dengan ibu jarinya, “Kamu gak maksa aku buat ada di sini kok,” bujuk Deva, “Aku pengen makan sama kamu.”
“Kita makan sekarang ya? Tadi kamu bilang kalau kamu udah laper banget, Mas. Entar kamu malah sakit kalau telat makan,” tutur Deva lalu meraih garpunya yang telah dimahkotai daging, “Aku suapin kamu deh. Mau ya?”
Deva menyodorkan daging itu ke arah mulut Arga, sementara satu tangannya masih menggenggam erat jemari suaminya di atas meja mereka. Senyum Deva kemudian merekah ketika Arga menerima dan melahap daging darinya itu.
“Lagi gak?” tanya Deva.
Arga pun menggeleng, “Saya bisa makan sendiri. Kamu makan tuh.”
Deva menghela napas lega. Arga masih kelihatan bete, tapi Deva bersyukur Arga mengurungkan niatnya untuk pulang. Deva pun lantas merasa bersalah sekarang.
Dev, Mas Arga suami lu.
Jangan kayak gini lagi, Deva.
Deva lalu mengingatkan dirinya sendiri sambil memotong steak. Namun tak lama berselang, Arga justru tiba-tiba merebut piring Deva. Menukarnya dengan piring yang daging steaknya telah Arga potong-potong menjadi kecil.
“Kamu makan yang itu aja,” kata Arga, Deva mengangguk paham.
“Makasih ya, Mas.”
“Mm,” gumam Arga tanpa melirik sedikit pun ke arah suaminya.