Smile

Arga menghampiri meja Deva setelah membalas chat-nya tadi. Ia berdiri di samping kursi Deva, satu tangannya terangkat lalu mengusap lembut rambut sang suami. Sedang Deva masih duduk bersandar di badan kursi sambil terdiam, lengannya Deva lipat di depan perut. Tidak sekali pun bola matanya melirik ke Arga.

“Ayo, katanya pengen ngewe.”

Pada akhirnya Deva mendongak, memandangi sang suami yang kini beralih membelai pelan pipi kanannya. Bibir Deva mencebik.

“Aku masih kesel sama Mas Arga.”

Arga menghela napasnya, “Kamu kesel kenapa sih, Dev? Semalem itu saya khawatir sama kamu loh. Saya gak mau kalau suami saya dikira udah gila sama dokter.”

“Tapi kan Mas Arga gak perlu ngomong yang kayak semalem, sampai bilang kalau kita gini aja udah aneh. Justru Mas Arga yang ngira aku orang gila,” jelas Deva dengan suara yang tetap tenang.

“Kan semalem saya udah minta maaf. Tapi kamu ngambeknya malah sampai sekarang. Kamu pengen saya ngapain lagi sih?”

Deva menepis tangan Arga dari wajahnya, “Mas Arga tau kalau aku masih ngambek, tapi kamu gak nyusulin aku ke toilet tadi.”

“Mas Arga juga ngebiarin aku makan siang sama Eren,” timpal Deva, “Kamu tuh minta maafnya kayak nggak sungguh-sungguh.”

“Nungguin ya?” ledek Arga.

“Nungguin apa?”

“Nunggu dimanja-manjain sama saya,” timpal Arga yang membuat bibir Deva kembali mencebik.

Persekian sekon kemudian, Deva justru dibuat kaget ketika Arga menarik pelan kepalanya hingga bersandar di perut sang Alpha. Arga memeluknya dari samping masih sambil berdiri. Setelahnya, sang CEO menunduk sesaat lalu mengecup puncak kepala Deva.

“Saya juga nungguin tau,” gumam Arga sambil menyandarkan dagu di atas kepala suaminya, “Saya pengen dengerin kamu ngomong kayak gini sejak pagi tadi, Deva.”

“Saya kan udah bilang, saya bakal selalu nungguin kamu terbuka sama saya,” timpal Arga, “Saya juga lagi berusaha buat belajar lebih terbuka sama kamu kok.”

“Meskipun saya tau kamu kalau lagi sensitif gini pengen dimanja-manja, tapi kalau kita berdua gak ngobrol, gimana kita bisa saling terbuka?” jelas Arga, Deva yang mendengarnya tiba-tiba gugup. Terlebih, Arga kembali memberi kecupan lembut di kepalanya.

“Jadi apapun yang kamu pengen, just tell me, Dev.” sambung Arga, “Bukan berarti saya ngelarang kamu ngambek, namanya mood kan gak bisa diatur. Apalagi kamu kalau heat sensitif banget. Tapi kasih tau saya ya? Ngobrol sama saya. Kamu suami saya loh, kita bisa komunikasiin soal apapun.”

Perlahan, Deva menyamankan posisi kepalanya di perut Arga. Kedua lengannya pun melingkar di pinggang suaminya, “Kemarin aku udah ngomong sama Mas Arga kalau aku mau ke dokter kandungan. Tapi respon kamu malah gitu, ngatain aku gila.”

Arga tersenyum, “Pulang kantor kita ke dokter kandungan. Oke?”

“Gak usah,” kata Deva sebelum mendongak, masih dengan dua lengannya yang memeluk Arga.

“Kalau aku pikir-pikir lagi, apa yang Mas Arga bilang semalem ada benarnya juga sih. Kita aja gak pernah bilang sama orang tua atau saudara kita soal Alpha Omega karena tau itu gak bakal masuk di akal mereka. Ini kita malah mau nanya ke dokter aku bisa hamil apa enggak,” Deva terkekeh pelan, “Aku kok gak kepikiran ya semalem, Mas? Mood aku emang rada gak jelas.”

Mulut Arga setengah terbuka, ia menatap Deva dengan raut wajah tak percaya. “Bener ya kata Eren, kamu antara tenang sama bego.”

Deva menghela napas, “Semalem kamu ngatain aku gila, sekarang aku dibilang bego. Mas Arga tuh minta maafnya ikhlas gak sih?” suara Deva masih amat lembut.

Arga mengulum senyum sebelum kembali menuntun kepala Deva agar bersandar di perut berotot yang ia punya. Arga mengecup kepala Deva—lagi, sedang kedua lengannya memeluk erat bahu sang suami yang kini terdiam.

“Kamu kenapa gak marah sih?”

Deva tersenyum lalu semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Arga, “Kamu kenapa pengen banget liat aku marah coba, Mas? Aneh-aneh aja.”

“Soalnya saya gak pernah liat kamu marah,” sahut Arga, “Kalau kamu ngambek juga gak sampai ngomel yang kayak gimana gitu.”

“Mas Arga aneh,” gumam Deva.

“Sekarang kamu loh yang ngatain saya,” cibir Arga lalu berdecak.

Deva terkekeh. Setelahnya, Arga dan Deva justru terjebak dalam hening yang tiba-tiba datang. Masih dengan posisi berpelukan dimana Arga berdiri, sementara Deva tetap setia duduk di kursi.

“Mas,” Deva memecah hening.

“Hm?”

“Kamu beneran pengen ngewe?” Deva menelan ludah, “Di sini?”

“Ya kamu kalau nanya saya mau apa gak, saya pasti mau. Daritadi feromon kamu udah bikin kontol saya sesak tau nggak?” jujurnya.

“Tapi yang sekarang lagi heat itu kan kamu, kalau kamu pengen banget ya ayo. Kalau gak juga gak usah, saya gak apa-apa. Tunggu aja sampai kamu pengen banget. Biar nanti kita sama-sama enak.”

Arga kemudian berpikir sejenak, “Tapi kalau misal kamu pengen sekarang, kita musti beli kondom sama lubricant dulu. Saya gak bawa persiapan nih,” timpalnya.

Deva berdeham, menarik dirinya dari pelukan Arga lalu melirik sekilas ke arah suaminya. “Ya udah, Mas Arga beli dulu gih. Di HG Market ada kayaknya, Mas.”

“Kok jadi saya sih?” protes Arga, “Ketahuan dong kalau saya lagi pengen ewein kamu di kantor. Terus nanti malah jadi gosip kalau saya ngaceng everytime.”

“Gak ah,” lanjut Arga.

“Ya terus kamu mau belinya gimana, Mas?” Deva menghela napas, “Perut aku nyeri banget, aku gak bisa jalan ke HG Market.”

“Saya mau minta dibeliin sama Eren,” jawab Arga santai, sedang Deva refleks menganga lebar.

“Kok jadi Eren sih, Mas? Yang ada aku malah diledekin sama dia,” kata Deva sedikit merengek.

“Ya bagus kalau cuma Eren yang ngeledekin, dia sahabat kamu. Daripada diledekin se-kantor? Mau?” Arga mengeluarkan gawai dari sakunya, “Kalau saya nyuruh OB, paling bakal kesebar juga tuh besok. Eren gak gitu,” timpalnya.

Saat Arga mulai sibuk mengetik sesuatu di gawainya, Deva justru menatap wajah sang CEO lamat.

“Aku perhatiin, Mas Arga percaya banget ya sama Eren.” kata Deva.

“Percaya gimana maksudnya?” tatapan Arga masih di gawainya.

“Kayak, berkas yang seharusnya dibawa sama atasan Eren, kamu ngebolehin Eren yang bawa. Tapi giliran karyawan lain sampai Mba Luna, mantan sekertaris sendiri, gak boleh.” terang Deva, “Terus sekarang, soal ginian pun kamu percayain ke Eren, Mas.” katanya.

Arga menghentikan gerak jemari di layar handphone-nya sebelum menaruh benda itu di atas meja. Beralih memandangi Deva lamat, “Kamu cemburu sama si Eren?”

Deva tersentak. Detak jantung di balik dadanya seakan berhenti sesaat ketika mendengar tanya yang terucap dari bibir Arga. Ia lalu menggeleng cepat, “Enggak.”

“Aku tuh cuma penasaran aja apa yang bikin Mas Arga se-percaya itu sama Eren,” timpal Deva lalu menghindari tatapan serius Arga.

“Saya percaya sama Eren karena dia apa adanya, kalau dia bilang A ya beneran A. Ngerti kan kamu?”

Deva mengangguk, jemarinya ia mainkan di atas paha sambil mengulum bibir sejenak sebelum bertanya, “Menurut Mas Arga… Aku apa adanya juga nggak?”

Arga menatap Deva lekat-lekat, pun Deva yang telah mendongak guna mengamati respon sang suami. Sampai saat Arga beralih menangkup wajahnya dengan kedua tangan, Deva pun gugup. Terlebih, ketika Arga perlahan membungkuk lalu menurunkan pandangan ke bibirnya. Alhasil, Deva lantas memejamkan mata.

Arga menciumi bibir Deva, amat lembut dan penuh kehati-hatian hingga Deva refleks tersenyum di sela-sela pagutan mereka. Pun Arga yang merasa jika Omeganya itu amat menyukai lumatan yang ia berikan. Cukup lama saling melumat, Arga lantas menyudahi ciuman mereka. Beralih menatap wajah Deva dalam jarak minim.

“Saya percaya sama kamu sedari awal, Deva.” bisik Arga bersama raut kesungguhan di wajahnya.

Kedua tungkai Deva lemas. Jika saja saat ini dia sedang berdiri, Deva yakin kini ia telah terjatuh. Penuturan Arga membuat degup jantungnya kembali menggila.

Arga paham apa yang dia ingin tau, pikir Deva. Arga pun seolah bisa merasakan apa yang tadi ia pikirkan. Deva dibuat tertegun.

Sementara itu, Arga melepaskan tautan jemarinya dengan wajah Deva. Arga kembali menegakkan badan lalu memasukkan gawai di saku celananya sambil menatap wajah Deva yang telah memerah.

“Mas Arga udah ngabarin Eren?” tanya Deva guna menghindari topik yang sebelumnya agar tak dibahas kembali oleh sang suami.

“Gak,” jawab Arga.

Deva heran, “Loh? Kenapa?”

“Saya aja yang beli,” kata Arga.

“Kok malah jadi kamu, Mas?”

Arga mendengus pelan, “Tadi kan kamu nyuruh saya yang beli di HGM. Kamu ini gimana sih? Bikin pusing aja kalau lagi heat.”

“Tapi katanya Mas Arga gak mau kalau digosipin ngaceng mulu,” balas Deva, Arga menggeleng.

“Udah, kamu tunggu saya di sini. Saya ke HG Market dulu,” tutur Arga, “Nanti saya bisa bilang ke orang di sana kalau itu tuh buat persediaan kita di rumah. Jadi gak bakal diledekin kayak yang kamu takutin,” katanya sebelum melenggang pergi dari ruangan.

Deva lantas tersenyum lembut sambil memandangi punggung Arga hingga menghilang di balik pintu. Setelahnya ia pun kembali bersandar di kursi, menunduk dan menatap tangan kanannya dimana Deva bisa mengamati cincin kawin yang tersemat di jari manisnya. Perlahan, Deva mengusap lembut cincin kawin itu dengan ibu jari tangan kiri, masih dengan senyum di bibir. Setelahnya, Deva mengalihkan pandangan ke arah gawai di atas meja, meraihnya lalu mencari sesuatu di sana sampai dapat.