Reason
Kedua alis Arga bertaut gelisah saat merasakan wajahnya diterpa sesuatu. Ketika membuka mata, pemandangan yang Arga dapati justru langit malam nan kelam bersama satu persatu tetesan air hujan. Sadar jika saat ini dirinya sedang berbaring terlentang di atas hamparan rumput taman, jantung Arga berdegup kencang.
Ingatan Arga kini terhenti pada momen dimana ia dan Deva asik makan malam berdua di taman.
Terus kenapa dia berakhir kayak gini? Di mana Deva sekarang?
Arga seketika gak bisa mengingat apa-apa. Sebab Deva lah satu-satunya yang ia pikirkan saat ini.
Bangkit dari posisinya, Arga lalu terduduk sejenak, memandangi kedua kakinya yang telanjang. Ia pun menunduk, menatap kemeja putihnya yang dipenuhi dengan noda merah mirip bercak darah.
Napas Arga seketika memburu. Ia kemudian berdiri, bergegas mencari sang suami dengan pikiran yang mendadak kacau.
“Dev!”
“Deva!”
“Deva kamu di mana?”
Arga terus berteriak sembari mengelilingi taman yang kini terasa lebih luas. Ia amat panik.
Sampai tidak lama berselang, langkah Arga pun terhenti saat kedua bola matanya menangkap keberadaan Deva. Namun yang membuat kedua tungkai Arga seketika lemas adalah kala ia mendapati Deva terbaring lemah dengan bekas tusukan di bagian dada sebelah kirinya. Membuat baju yang kini Deva kenakan lantas berlumuran darah segar.
“Deva!”
Arga pun histeris sebelum berlari menghampiri sang suami. Ia lalu duduk bersimpuh di samping kiri Deva, menutup bekas tusukan di dada Omeganya itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lainnya membelai pipi Deva yang amat dingin. Deva tersenyum.
“Siapa yang ngelakuin ini sama kamu?” Arga nyaris berteriak bersama tangis yang berusaha ia tahan. Namun saat sadar bahwa Deva sudah kesulitan bernapas, bibir Arga lantas bergetar hebat.
“Saya bawa kamu ke rumah sakit sekarang ya? Kamu kuat, Deva. Kamu bakal baik-baik aja,” kata Arga sambil berusaha untuk menggendong Deva, namun sang Omega justru menggeleng pelan.
“Deva, saya mohon…”
“Mungkin udah waktunya aku harus pergi,” gumam Deva lirih, “Tapi aku janji kok, di kehidupan berikutnya nanti, aku akan selalu nyari kamu. Kita pasti ketemu.”
“Gak!” tangis Arga mulai pecah, “Kamu ngomong apa sih, Deva? Kamu gak boleh pergi sekarang.”
Deva meraih tangan Arga yang sedari tadi membelai pipinya. Ia menggenggamnya masih dengan senyum manis di bibir tipisnya.
“Jaga diri kamu baik-baik. Tolong jangan pernah membunuh orang lain lagi,” timpal Deva, “Meskipun alasan kamu membunuh untuk melindungi orang kecil seperti aku, tetap aja itu salah. Akan ada konsekuensi yang kamu terima.”
“Dan itu berlaku juga buat aku,” Deva menarik napasnya yang kini telah semakin sulit diproses oleh paru-parunya, “Tiap konsekuensi yang kamu terima pasti akan aku rasakan juga, karena takdir kita udah terikat. Kamu Alpha aku.”
Arga bingung, “Deva, saya sama sekali gak pernah bunuh orang.”
Deva tersenyum, “Kamu bisa janji juga kan sama aku? Tolong janji buat gak mengulangi kesalahan yang sama lagi di kehidupan kita selanjutnya nanti,” pintanya lirih.
“Kamu juga harus janji… Untuk nunggu aku,” lanjut Deva sembari berusaha mengaitkan kelingking dengan milik Arga. Sang Alpha membalasnya diikuti anggukan.
Dan tepat setelah Arga memberi respon sebagai tanda setuju atas permintaan Deva, Omeganya itu lantas menutup matanya dengan tenang. Namun sang Alpha yang melihat hal itu seketika tercekat.
“Dev! Deva!” Arga menggoyang-goyangkan tubuh ringkih Deva, “Bangun, jangan tinggalin saya.”
Arga kemudian menoleh ke arah lain lalu berteriak, “Tolooong!”
“Deva!”
Arga kembali menatap presensi sang Omega dengan tangis yang kian menjadi, pun rintik hujan yang juga turun semakin deras.
“Jangan pergi, Dev. Saya mohon.”
Arga terisak kencang sebelum membungkuk, memeluk erat tubuh Deva lalu menyandarkan kepalanya di atas dada rata sang Omega. Tak lama berselang, Arga lantas terkejut melihat sepasang kaki berdiri tak jauh darinya dan Deva. Alhasil ia kembali bangkit, duduk tegak hingga mendapati bahwa Nua-lah sosok yang kini sedang menatapnya lekat-lekat.
“Nua, tolong selamatin Deva.”
Nua menggeleng pelan, “Tugas gue cuma mengawasi lo berdua sampai kalian terikat kembali.”
“Dan yang bisa selamatin Deva bukan gue, tapi lo, Arga.” lanjut Nua lalu berbalik, meninggalkan Arga yang hanya bisa menangis histeris. Namun saat Arga ingin membungkuk dan memeluk figur sang Omega, napasnya tiba-tiba sesak. Sebab, tubuh Deva justru melebur menjadi ribuan kupu-kupu putih yang beterbangan bersama hujan badai luar biasa.
“Deva!”
Napas Arga kian sesak hingga ia terengah-terengah. Namun yang matanya tangkap saat ini bukan lagi langit malam ataupun kupu-kupu putih di tengah hujan badai melainkan cahaya remang lampu kamarnya dan Deva. Ketika Arga menoleh ke nakas, ia pun melihat jam digital menampilkan angka dua dini hari. Arga kemudian lantas mengingat bahwa ia dan Deva memang langsung masuk ke kamar setelah makan malam.
Ternyata itu cuma mimpi, tapi kenapa terasa nyata? Batinnya.
Perlahan, Arga mengusap kedua pipinya yang terasa basah hingga mendapati dirinya benar-benar menangis karena mimpinya tadi. Setelahnya Arga menoleh ke arah kanannya, menghela napas saat mendapati sang Omega masih terlelap dengan damai di sisinya.
Urgensi Arga pun menuntunnya untuk segera memeluk Deva. Didekapnya tubuh sang Omega dari samping, sedang bibir Arga refleks mengecup puncak kepala Deva sambil memejamkan mata.
Sementara itu, Deva yang tiba-tiba sesak akibat pelukan erat Arga lantas terusik dari tidurnya. Ia membuka mata, mendapati satu lengan Arga menyambangi dadanya. Saat itu pula wangi feromon sang Alpha menyentuh indera penciumannya. Arga rut.
Deva lalu mendongak, “Mas?”
“Saya bangunin kamu ya?” balas Arga sambil memandangi Deva.
Melihat mata sembab suaminya membuat Deva refleks membelai pipi Arga, “Kamu kenapa, Mas?”
“Saya abis mimpi.”
“Pantes,” Deva menghela napas, “Kamu lagi rut, Mas. Nua pernah bilang kan sama kamu, kalau kita bakalan mimpi pas heat atau rut setelah mating?” tanyanya lalu dibalas anggukan oleh Arga.
“Mimpinya buruk banget ya, Mas?” Deva menebak, “Mata kamu sembab. Abis nangis?”
Lagi. Arga mengangguk lemah.
“Aku ambilin minum dulu ya?” kata Deva lalu hendak bangkit, namun sang Alpha semakin mengeratkan pelukannya.
“Jangan pergi, Deva.”
“Bentar aja ya, Mas? Aku ambil minum buat kamu. Sekalian aku mau pipis,” Deva cengar-cengir.
“Saya temenin,” kini Arga yang lebih dahulu bangkit, membuat Deva menganga sambil melotot.
“Mas Arga pengen ngewe di kamar mandi? Sekarang?”
Arga berdecak, “Saya kan bilang mau nemenin kamu, bukan itu.”
“Tapi kamar mandi deket banget loh, Mas. Ngapain ditemenin?”
“Bisa gak sih, kamu kalau saya bilangin responnya gak pakai tapi mulu? Ck!” decak Arga.
“Ayo, saya temenin kamu pipis. Abis ini saya mau ngobrol sama kamu,” timpalnya lalu meraih tangan Deva, menggenggamnya erat sebelum menuntun sang Omega berjalan ke kamar mandi.
Deva pun hanya menurut saja. Ia pikir, wajar jika tingkah suaminya aneh seperti sekarang. Arga rut.
“Menurut kamu maksud mimpi saya apa, Dev?” tanya sang Alpha setelah menceritakan semua isi mimpinya tadi kepada suaminya.
Deva yang masih kehabisan kata pun mengusap pelan bahu Arga. Posisi mereka yang berbaring menyamping sambil berhadapan memudahkan Deva mengamati wajah Arga, juga menenangkan sang suami yang nampak takut.
“Mas, kalau dipikir-pikir, mimpi kita kayak… Terhubung gak sih?” Deva angkat bicara, “Aku ngeliat kamu bunuh orang, terus aku juga liat kamu nolongin aku di mimpi yang lain. Sementara di mimpi kamu, aku nyebutin itu.”
Arga mengangguk setuju, “Mm.”
“Mas, jangan-jangan ini maksud Nua kalau—cuma kita yang tau alasan kita jadi Alpha Omega?” Deva mendesis pelan, “Mungkin, di kehidupan sebelumnya, aku sama kamu hidup kayak di mimpi kita. Kamu sama aku sepasang Alpha sama Omega dari dulu. Terus sekarang, kita ketemu lagi di kehidupan yang baru buat nepatin janji kita di masa lalu itu.”
“Terus konsekuensi yang aku bilang di mimpi kamu…” Deva membekap mulutnya sendiri sesaat, “Bisa jadi itu yang bikin nasib aku sama nasib percintaan kamu sial sebelum kita ketemu.”
“Kamu ngebunuh orang di masa lalu, jadi kita dapat konsekuensi gitu di kehidupan sekarang,” kata Deva, “Si Nua juga pernah bilang sama kamu, di mimpi kita selain ada alasan pasti ada pelajaran…”
“Jadi alasan lain kenapa kita bisa hidup sebagai Alpha dan Omega kayak sekarang, di luar nepatin janji kita dulu, ya supaya kita bisa memperbaiki kesalahan itu, Mas.”
“Maksud kamu supaya saya gak ngebunuh lagi?” Arga berdecak, “Lagian siapa juga sih yang mau ngebunuh orang? Ngaco deh.”
Deva menggeleng pelan diikuti senyum tipis, “Mas, ngebunuh orang lain tuh definisinya gak cuma dengan motong leher.”
“Bisa aja kita ngebunuh mental orang karena ucapan kita atau perbuatan kita loh,” lanjut Deva.
“Sekarang kamu nge-roasting saya? Iya?” sela Arga, sementara Deva tersenyum tipis sembari mengusap lembut pipi suaminya.
“Itu kan pengandaian aku, Mas. Tapi yang jelas, pelajaran dari mimpi kamu tadi bener-bener ada,” tutur Deva lembut, “Setiap perbuatan gak baik bakalan ada konsekuensinya, jadi mau itu aku atau pun kamu gak boleh jahatin orang. Karena konsekuensinya bakal kita terima sama-sama.”
“In short, everything you do will affect me, gitu juga sebaliknya.”
Arga menghela napas, “Dev.”
“Mm?”
“Coba tepuk pipi saya deh?”
Deva heran, “Kenapa, Mas?”
“Tepuk aja, yang keras.”
Satu tepukan keras lantas Deva daratkan pada pipi suaminya sesuai perintah Arga. Namun ia seketika panik melihat Alphanya itu memekik sebelum mendesis.
“Kamu ini gimana sih? Saya kan minta ditepuk, bukan ditampar,” protes Arga sambil mengusap pipinya, “Mana sakit banget lagi.”
“Kan tadi Mas Arga bilang yang kenceng,” Deva lalu mengecup bekas tepukannya tadi, “Maaf.”
Arga menyeringai, “Modus.”
“Kok modus sih?” rengek Deva.
“Biar kamu nyium pipi saya kan?” ledek Arga yang membuat Deva mencubit pelan pinggangnya.
“Mas Arga ish! Aku gak gitu ya. Lagian kamu kenapa minta aku nepuk pipi kamu segala coba?”
“Soalnya saya ngerasa semua ini kayak mimpi,” sahut Arga, “Gak masuk akal banget jalan hidup kita. Saya masih sulit percaya.”
Deva menghela napas, “Setuju sih, Mas. Aku malah mikir kalau apa yang kita alami gak jauh beda sama cerita fiksi,” katanya lalu menatap serius pada Arga, “Mas, apa jangan-jangan kita emang lagi ada di dunia fiksi yang ditulis sama seseorang ya?” tanya Deva.
“Jadi kita sebenarnya bukan manusia beneran,” timpalnya.
Kini giliran Arga yang menepuk pipi Deva hingga sang empu meringis, “Kamu ya. Kebanyakan nonton series sama drama Korea bareng Mama jadi gini nih, halu.”
Kedua anak manusia itu tertawa ringan sembari berbagi dekapan.
“Mas, aku jadi penasaran deh. Di masa lalu…” Deva mendongak ke Arga, menatapnya lamat. “Kamu cinta sama aku gak ya kira-kira?”
Mata Arga memicing tidak suka, “Kenapa malah bahas cinta sih?”
“Ya aku penasaran aja kamu dulu kayak gimana,” Deva terkekeh, “Soalnya di kehidupan sekarang kamu gak mau percaya cinta.”
Arga hanya mendengus sebagai respon, sedang Deva berdeham.
“Mas, aku boleh nanya gak?”
“Apa?” balas Arga.
“Kamu kenapa gak mau percaya cinta?” raut wajah Deva serius.
“Karena cinta itu gak ada.”
“Ada,” tegas Deva, “Aku yakin kamu tau kalau cinta itu ada. Kamu cuma gak mau percaya.”
Arga menatap netra legam sang suami bersama senyum miring.
“Karena saat saya percaya cinta, hati saya akan terluka.” kata Arga lalu menarik selimut, menutupi tubuhnya dan Deva, “Udah, gak usah bahas hal gak penting lagi.”
“Saya ngantuk,” timpalnya lalu mengecup kening Deva, “Bobo.”
Deva masih memandangi wajah sang suami meski Arga kini telah menutup mata. Helaan napas lalu Deva bebaskan sebelum berbisik.
“Sleep tight, Mas Arga.”